Gus Dur, Bertoleransi dengan Melindungi

KhazanahGus Dur, Bertoleransi dengan Melindungi

Pada 30 Januari hingga 05 Februari 2023, di Ketandan, Yogyakarta, berlangsung Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) ke-18, dalam rangka mengisi perayaan Imlek. Pekan budaya ini sangat dinanti-nanti tidak hanya oleh mereka dari etnis Tionghoa, namun masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Di sela-sela meriahnya perayaan Imlek, kita tentu terkenang sesosok Bapak Tionghoa, yaitu KH. Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur. Ia disebut sebagai Bapak Tionghoa, sebab keberpihakannya kepada masyarakat Tionghoa dalam memperjuangkan hak kebebasan mengekspresikan budaya di ruang publik.

Dalam sejarahnya, di masa Orde Baru, hak ekspresi budaya masyarakat Tionghoa terpasung oleh Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Pembatasan Kegiatan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Ah, jangankan hak beragama, kala itu, orang Tionghoa belum dianggap sebagai “penduduk asli” Indonesia. Umumnya, mereka hanya dianggap sebagai “warga keturunan” yang dipandang pendatang.

Gus Dur merupakan tokoh kunci dalam meluruskan kekeliruan pandangan mengenai orang Tionghoa yang selalu dianggap “warga keturunan”. Dalam bukunya berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Gus Dur menegaskan bahwa orang Tionghoa adalah penduduk asli Indonesia, layaknya di Indonesia ada orang Papua, orang Aceh, orang Sunda, dan lainnya. Kalaupun ada ikatan mereka dengan tanah leluhurnya, itu tidak lain hanya sesuatu yang bersifat kultural dan historis, serta tidak menghapuskan fakta bahwa mereka juga adalah warga negara Indonesia.

Saat menjadi Presiden, keseriusan Gus Dur dalam dalam memperjuangan kemerdekaan ekspresi budaya dan agama masyarakat Tionghoa semakin terbukti. Ia mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun 2000 yang memberi kebebasan kepada etnis Tionghoa dalam menjalankan kepercayaan dan kebudayaan mereka. Lebih lanjut, melalui Keppres No. 9 Tahun 2001, Gus Dur juga resmi menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.

Hingga hari ini, mungkin masih ada yang bertanya-tanya, kenapa Gus Dur kekeh membela orang Tionghoa? Padahal, umumnya, mereka adalah non-Muslim, sedangkan Gus Dur sendiri merupakan seorang ulama dan kiai.

Keberpihakan Gus Dur terhadap suara-suara minoritas, salah satu sumbernya berangkat dari Islam ‘yang dia pahami’, yang luas dan inklusif. Tidak seperti kebanyakan orang yang memahami Islam sebatas pada ekspresi keimanan bagi sesama Muslim. Gusdur mengekpresikan Islam sebagai agama yang menyebarkan kasih untuk semua manusia, baik Muslim maupun non-Muslim.

Baca Juga  Pancasila Ngga Lumpuh Guys!

Dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Gus Dur menulis bahwa menurutnya ekspresi Islam tidak hanya untuk pengamalan formal bagi sesama Muslim, melainkan keberislaman juga harus menjadi bagian dari upaya membela kemanusiaan secara umum.

Dalam tulisannya yang lain, Islamku, Islam Anda, Islam Kita , Gus Dur menjelaskan, “Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk kaum non-Muslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang berbunyi: ‘Tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung tali persuadaraan dengan sesama umat manusia (wa ma arsalnaka illa ramatan li al-alamin)’ (Q.S. al-Anbiya [21]: 107). Ini, jika para ahli tafsir mengartikan kata ‘al-alamin’ dengan umat manusia belaka, dan bukan semua makhluk yang ada di dunia ini. Indah, pengertian tentang Islam sebagai pelindung itu, bukan?”

Jadi, satu hal penting yang diajarkan Gus Dur, bahwa rahmat atau kasih Islam tidak terjebak pada lingkaran sempit untuk sesama Muslim, namun cinta kasih Islam sejatinya melewati sekat-sekat keummatan hingga kepada non-Muslim. Pandangan keberagamaan yang demikian, membuat hati Gus Dur menjadi sangat luas untuk menampung semua pemeluk agama dalam kelapangan hatinya.

Dengan demikian tidak heran jika Gus Dur dapat merajut hubungan yang baik dengan non-Muslim, seperti dengan etnis Tionghoa yang umumnya non-Muslim, dan bahkan menjadi sosok yang konsisten membela mereka. Sampai saat ini, kalangan Tionghoa terus memberikan penghormatan mendalam terhadap sosok Gus Dur, salah satunya dengan membuatkan sinci spesial di Altar Utama Gedung Rasa Dharma di kawasan Pecinan Kota Semarang, yang bertuliskan nama K.H. Abdurrahman Wahid dengan tinta emas. Sebuah papan arwah untuk mendoakan mendiang Gus Dur.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.