Medis vs Mitos Sunat Perempuan

KhazanahMedis vs Mitos Sunat Perempuan

Di penghujung tahun lalu, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengeluarkan fatwa larangan praktik pemotongan atau perlukaan genitalia perempuan (P2GP), yang umumnya dipraktekkan sebagai sunat perempuan. Sebelumnya, Lembaga Fatwa Mesir pada tahun 2007 juga mengeluarkan fatwa serupa. Studi mendalam yang mematahkan argumentasi teknis yuridis sunat perempuan dalam hukum Islam, juga telah banyak dirilis dalam dekade balakangan. Salah satu yang cukup menarik adalah makalah berjudul De-linking Female Genital Mutilation/Cutting from Islam (2008).

Meskipun praktik sunat perempuan sudah banyak sekali dibantah secara agama dan medis, ada beberapa mitos yang berkembang mengelilingi budaya ini, sehingga praktik P2GP masih sulit diakhiri. Di beberapa daerah di Indonesia, khitan, khifadh, atau sunat perempuan dipercaya sebagai praktik untuk mensucikan bayi perempuan yang baru lahir. 

Kepercayaan ini sebagian besar berasal dari gagasan bahwa alat kelamin wanita itu ‘kotor’, sehingga anak perempuan menyimpan ‘najis’ pada kemaluannya yang harus dibuang dengan melukainya. Lebih lanjut, menyunat kelamin bayi perempuan juga dipercaya dapat menurunkan nafsu perempuan, dengan begitu sang anak akan tumbuh sebagai perempuan yang dapat menjaga kesuciannya hingga menikah. 

Kepercayaan semacam ini terdengar seperti toa yang begitu keras menyuarakan ada kekeliruan tuhan dalam menciptakan perempuan, sehingga manusia berhak mengoreksi kelaminnya saat dilahirkan. Padahal Allah berfirman, Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tiin: 4). Bagaimana mungkin kita merasa bahwa organ alami perempuan itu belum pas, harus diperbaiki, dan perlu dikurangi?

Nabi SAW bersabda setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci, mengapa kita menganggap perempuan terlahir dengan membawa kotoran yang harus dibuang? bahkan ketika dia belum melakukan kesalahan sama sekali. Agama memuliakan manusia dengan mensakralkan tubuh manusia, dan mengharamkan segala tindakan menyakiti fisik. Maka dari itu, amat tidak masuk akal jika memuliakan perempuan dengan praktik-praktik budaya yang justru melukainya.

Mitos di seputar sunat perempuan tidak lain merupakan manifestasi dari ketidaksetaraan dan diskriminasi perempuan, yang terjadi sejak bayi. Tidak ada fakta ilmiah yang mendukung sunat perempuan bermanfaat untuk mensucikan atau mengurangi nafsu perempuan. Yang ada hanyalah catatan panjang bahwa tindakan itu mengganggu organ dan fungsi alami dari organ reproduksi perempuan, serta berdampak negatif pada kesehatan dan kesejahteraan perempuan jangka panjang.

Baca Juga  Sunan Kalijaga, Wali Pelindung Jawa

Berbeda dari sunat laki-laki yang didukung secara syar’i serta terbukti berdampak positif bagi kesehatan dan kebersihan organ reproduksi laki-laki, sunat perempuan justru budaya berbahaya yang harus dicegah. Kelamin laki-laki dan perempuan jelas sekali berbeda, sehingga perlakuannya tidak mungkin sama. Pada perempuan, sunat tidak ada manfaatnya, praktik ini merupakan kekerasan yang bersifat kultural atau tradisional, dan bukan praktik medis meskipun dilakukan dengan fasilitas atau tenaga kesehatan. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Permenkes Nomor 6 Tahun Tahun 2014, menegaskan bahwa sunat perempuantidak bermanfaat apapun bagi kesehatan.

World Health Organization (WHO) melalui laman resminya Sexual and Reproductive Health and Research (SRH), merinci berbagai masalah kesehatan dan dampak negatif sunat perempuan, yang mengganggu fungsi alami tubuh anak perempuan dan wanita. Tidak kurang dari 20 potensi berbahaya dari sunat perempuan telah terjadi pada anak perempuan di berbagai belahan dunia.

Di luar risiko langsung berupa pendarahan hebat, sunat perempuan dapat menyebabkan trauma dan rasa sakit berkepanjangan. Termasuk masalah saluran kemih dan vagina, jaringan parut dan keloid, masalah seksual seperti rasa sakit saat berhubungan, peningkatan risiko komplikasi persalinan, dan masalah psikologis seperti depresi, kecemasan, gangguan stres pasca-trauma, dan rendahnya kepercayaan diri perempuan. 

Penelitian tentang komplikasi kesehatan terkait praktik P2GP di Gambia, menemukan bahwa 34,3% perempuan mengalami masalah kesehatan akibat P2GP. Bahkan saat dilakukan dalam jenis tindakan tipe I yang paling ringan sekalipun, sunat masih menimbulkan komplikasi pada 1 dari 5 anak perempuan. Banyak studi serupa yang semakin memperkuat gerakan global dalam mengakhiri praktik P2GP.

Singkatnya, sunat perempuan hanyalah mitos yang tidak selayaknya dilestarikan. P2GP adalah objektifikasi seksual wanita, sangat literal, bertujuan untuk menghilangkan hak keutuhan organ reproduktif mereka. Sunat perempuan bukanlah praktik yang harus dipandang sebagai praktik dalam memuliakan perempuan. Jika kita benar-benar ingin memuliakan perempuan, hal itu mestinya dilakukan dengan upaya untuk menegakkan hak-hak perempuan, membuat sistem untuk melindunginya dari kekerasan, memperpanjang masa sekolah anak perempuan, dan mendukung pemberdayaan kaum perempuan. Bukan dengan memotong atau melukai kelamin perempuan.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.