Riuh rendah di tengah publik menjelang tahun politik begitu kentara. Berita tentang survey elektabilitas capres, deklarasi partai, safari dan strategi koalisi para tokoh politik, hingga relawan-relawan yang mulai menggalang atensi bertebaran di berbagai media. Kita begitu mendamba hadirnya pemimpin-pemimpin yang berkomitmen menuntaskan janji kemerdekaan, khususnya yang dikandung sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, spirit keadilan yang dipertontonkan para pemangku kuasa selama ini begitu lemah, tak semeriah gairah kontestasi kekuasaan semacam tadi. Kata adil hanya ditebalkan sebagai slogan di baliho-baliho kampanye semata, tidak mewujud dalam perilaku nyata.
Negeri kita, diakui atau tidak, penuh dengan praktik jahat dan intrik oknum-oknum yang hanya peduli kepentingan pribadi semata. Melalui ulasannya dalam harian Kompas (15/12/2022), Sukidi, seorang intelektual Muhammadiyah, menyatakan keprihatinannya, bahwa negeri ini telah sejak lama dan hingga kini masih dikepung oleh para mafia serta bandit kelas kakap. Mereka mengkhianati cita-cita mulia pendiri bangsa yang berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, praktik dan jaringan mafia yang terungkap ke publik barulah percikan kecil dari situasi darurat republik yang sebetulnya dicengkeram oleh beragam kekuatan jahat dan merusak.
Politik merupakan suatu kekuatan besar yang memiliki fungsi kuasa dan pengaturan masyarakat. Sebuah kendaraan untuk mencapai posisi puncak kendali struktural dalam suatu komunitas, yakni pemimpin. Sebuah ilustrasi jelas yang menggambarkan besarnya tanggung jawab praksis seorang penguasa terhadap orang-orang yang ada di bawah kuasanya. Ia akan diganjar kebaikan besar selagi bertindak adil, begitu pula ia bakal menerima keburukan balasan yang tak kalah dahsyat apabila tidak memimpin secara adil. Demikian banyak teks agama yang menekankan keharusan sikap adil penguasa.
Adil menjadi syarat yang tak bisa ditawar seorang pemimpin untuk menjalankan pengelolaan kehidupan umat manusia. Kesejahteraan dan harmoni sosial mustahil terwujud tanpa realisasi praktik keadilan. Persoalan kepemimpinan mengandung tanggung jawab ganda, secara vertikal kepada Tuhan dan secara horizontal terhadap sesama manusia. Menyangkut hubungan kita dengan Allah, memanglah ampunan-Nya sangat dekat. Dia Maha Pemaaf atas kesalahan hamba-Nya. Namun ketahuilah, mengenai kezaliman-kezaliman kita terhadap orang lain adalah perkara yang rumit. Belum tentu ia rela dan mau memaafkan kita di kehidupan akhirat kelak. Tidak ada sekiranya manusia yang mau menjadi terdakwa yang dituntut di pengadilan akhirat nanti.
Kekuasaan ibarat pedang bermata dua. Dapat menjadi sarana mewujudkan kemaslahatan umum sekaligus perangkat efektif untuk menindas orang lain. Besarnya nilai dan bahaya kekuasaan disebutkan Rasulullah SAW melalui sabdanya yang berbunyi, Tindakan adil seorang penguasa satu hari saja lebih disukai oleh Allah daripada beribadah selama tujuh puluh tahun. Secara sederhana riwayat ini kian menguatkan bahwa tindakan yang menyangkut hajat hidup orang lain mengandung konsekuensi sekaligus nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan urusan ibadah personal.
Dalam al-Quran surat al-Maidah [5]: 8 pun disuratkan secara jelas perintah untuk adil, “Dan berlaku adillah, karena keadilan lebih dekat dengan takwa”. Imam al-Ghazali dalam kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk yang diterjemahkan dengan judul Adab Berpolitik: Nasihat dan Hikayat untuk Pemimpin dan Penguasa mengatakan, bahwa bertakwa yakni menjalankan kewajiban dan larangan-Nya merupakan cabang dari keimanan. Secara lebih luas, takwa bisa dimaknai sebagai upaya menjalin hubungan baik dengan Allah yang menghasilkan hubungan baik terhadap sesama manusia. Mencegah kezaliman serta berlaku adil terhadap rakyat adalah ekspresi takwa. Dengan kata lain, tindakan adil adalah bagian dari aktualisasi kesadaran iman.
Di lain riwayat disebutkan tentang betapa pemimpin yang adil akan menuai keberuntungan besar yang dianugerahkan Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah di bawah naungan-Nya pada hari tidak ada naungan lain kecuali naungan-Nya, yakni (antara lain) seorang pemimpin yang adil dan jujur, seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Tuhannya…” Nabi SAW pun menambahkan di lain riwayat, Manusia yang paling dicintai Allah dan paling dekat dengan-Nya adalah seorang penguasa yang adil. Sementara manusia yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh dari-Nya adalah seorang penguasa yang zalim.
Apabila dicermati, ganjaran agung yang tercatat dalam naskah-naskah agama bagi pemimpin adil hampir selalu dibarengi dengan peringatan keras bagi pemimpin yang berlaku sebaliknya. Imam al-Ghazali mengingatkan tentang dasar keadilan yang mesti dipahami dalam upaya menjadi penguasa yang adil. Terlebih dahulu harus ia mengenal nilai dari kekuasaan berikut risiko dan bahayanya. Ini adalah pondasi untuk mengatur agar kepemimpinan tidak salah langkah. Kekuasaan adalah di antara nikmat Allah yang Maha Agung. Kenapa disebut nikmat? Karena sebetulnya kekuasaan memberi jalan luas menuju karunia besar Allah jika ditunaikan dengan penuh keadilan dan kejujuran.
Kita sekalian berharap besar, proses demokrasi kini dan seterusnya dapat melahirkan pemimpin yang adil, murni, dan autentik. Pesta demokrasi bukan hanya menjadi rutinitas artifisial lima tahunan yang hampa makna, nilai, dan cita-cita jujur serta mulai bagi bangsa kita. Tanpa pemimpin yang adil, tanpa keadilan hukum, ekonomi, sosial dan politik, maka tatanan damai serta kemakmuran masyarakat adalah omong kosong. Semoga kita menjadi bangsa yang mau terus berbenah. Wallahu a’lam. []