Menata Cara Pandang terhadap Bencana Alam

KolomMenata Cara Pandang terhadap Bencana Alam

Hampir tiap bencana alam yang melanda Tanah Air selalu disusul dengan anggapan bahwa itu merupakan azab Tuhan karena dosa maksiat yang diperbuat manusia. Gempa Cianjur (21/11/2022) yang terbilang destruktif, di mana mengakibatkan ratusan orang tewas dan terluka serta rusaknya ribuan bangunan juga tak luput ditafsirkan sebagai azab. Bukan hanya tidak menunjukkan empati dan menyakiti korban, pandangan semacam itu melalaikan kita dari upaya obyektif-rasional untuk memitigasi berbagai bencana alam yang mungkin terjadi.

Bukan satu dua kali Indonesia tertimpa bencana alam. Kondisi geografis negeri kita yang memiliki banyak gunung berapi, dilewati berbagai lempeng tektonik, memiliki wilayah lautan yang luas memang menyimpan potensi bencana alam yang beragam. Sebut saja gempa bumi Yogyakarta, tsunami Aceh, erupsi gunung Merapi, erupsi gunung Semeru, likuefaksi di Palu merupakan deretan bencana alam yang pernah terjadi di Indonesia. Fakta alam dan serangkaian bencana tersebut adalah alarm agar kita merestorasi cara pandang guna memikirkan persoalan yang lebih penting terkait mitigasi bencana ketimbang terus merepetisi tafsiran azab saat musibah alam terjadi.

Letusan gunung berapi, gempa bumi, hingga tsunami adalah bagian dari siklus alam yang dapat dikaji dan dimitigasi melalui kerja-kerja ilmu pengetahuan. Skema mitigasi yang tepat dapat meminimalisir kerugian materil maupun korban jiwa ketika bencana alam tiba. Jepang dikenal sebagai negara dengan kemampuan terbaik dalam mitigasi bencana alam. Unggul dalam pencegahan maupun respons penanganan bencana. Seperti halnya Indonesia, Jepang merupakan negara yang rawan bencana. Negeri Sakura tersebut berada di kawasan Cincin Api Pasifik, yakni gugusan gunung berapi di Samudera Pasifik, yang menyebabkan negara ini kerap mengalami gempa bumi, tsunami, serta gunung meletus.

Kenyataan geografis yang tak terbantahkan tadi membuat Jepang benar-benar sadar, tanggap dan antisipatif terhadap bencana. Di sana, semua bangunan yang akan dibangun harus tahan gempa dan dijamin tidak rusak dalam jangka waktu tertentu. Pemerintah setempat memberlakukan aturan ketat dalam hal konstruksi bangunan. Kesadaran mengenai seluk beluk bencana alam dan cara mengatasinya juga ditanamkan sejak dini melalui pendidikan di sekolah. Murid-murid dilatih menyelamatkan diri saat menghadapi gempa bumi misalnya. Tak hanya itu, ponsel pintar di Jepang pun dilengkapi dengan sistem peringatan tsunami dan gempa. Tiap rumah juga diperintahkan untuk selalu memiliki ransel darurat berisi kebutuhan dasar seperti selimut, obat-obatan, senter, radio, masker, sejumlah makanan, hingga toilet portabel untuk bertahan hidup selama sekitar tiga sampai tujuh hari. 

Dulu masyarakat Jepang tak lepas dari mitologisasi bencana. Mereka mempercayai bahwa gempa disebabkan oleh gerak ikan lele raksasa atau namazu yang hidup dalam perut bumi sebagai hukuman para dewa terhadap perilaku manusia. Hingga kemudian Jepang terpengaruh era Pencerahan Barat yang mengusung rasionalisasi pengetahuan. Mereka yang sebelumnya memandang gempa secara mitologis pun lalu menyadari bahwa gempa bumi adalah bagian dari siklus alam yang bisa disikapi dan dimitigasi dengan kebijakan berbasis rasionalitas ilmu pengetahuan.

Persaingan antara keyakinan dan ilmu pengetahuan yang dipicu oleh fenomena alam gempa pun pernah terjadi ketika abad pertengahan. Melansir dari harian Kompas (7/12/2022), bahwa pada 1 November 1755, Kota Lisabon, Portugal pernah diguncang gempa dengan kekuatan kira-kira mencapai magnitudo 8,5. Gempa besar yang bertepatan dengan peringatan Hari Raya Orang Kudus (All Saints’ Day) itu meruntuhkan bangunan-bangunan yang disusul kebakaran dahsyat dan tsunami yang meluluhlantakkan kota tersebut. Sekitar ⅕ penduduk Lisabon tewas akibat bencana itu. 

Baca Juga  Menebus Rindu dengan Silaturahmi

Para pemuka agama di Eropa mengklaim bahwa tsunami dan gempa itu adalah hukuman atas berbagai dosa masyarakat. Menolak keras dogma agama semacam itu, Voltaire, seorang filsuf Perancis, pun menegaskan bahwa gempa mengikuti hukum alam, bukan disebabkan tindakan manusia. Spirit rasionalitas untuk memahami fenomena alam pun menyebar di Eropa hingga kemudian lahir Zaman Pencerahan (enlightment).

Menaruh pemahaman dasar yang benar tentang bencana alam adalah kunci utama untuk merangkai kebijakan mitigasi yang tepat sasaran. Penting untuk menghindari tafsiran keagamaan yang bersifat menghakimi karena hanya akan memperumit keadaan. Bencana alam dan ayat Tuhan harus dipahami secara proporsional. Artinya, dalam hal penanggulangan konkret bencana alam dibutuhkan dimensi ilmu pengetahuan dan rasionalitas. Sementara ayat-ayat agama tentang bencana menempati dimensi spiritual yang menjadi suntikan moral bagi perilaku umat manusia. Menurut penulis, ayat-ayat dalam teks agama adalah bahan untuk refleksi personal. Kalaupun didakwahkan di muka umum harus disampaikan secara santun dan penuh empati kepada siapapun, bukan dengan nada menuduh dan dalam kondisi sedang kacau pasca tragedi.

Bencana alam dapat menimpa siapa saja termasuk kalangan saleh sekalipun. Jika bencana alam adalah azab karena maksiat para pendosa, maka logikanya orang yang tak bersalah tidak akan terdampak bencana. Bukan kapasitas kita menghakimi suatu bencana sebagai azab dari Tuhan kepada masyarakat atau suatu wilayah tertentu. Allah menghadirkan musibah dan bencana adalah agar kita berpikir. Memikirkan bagaimana cara menanggulanginya, bagaimana meminimalisir dampak merusaknya. Di lain sisi, musibah secara umum adalah bahasa cinta Tuhan, mengingatkan agar perilaku kita senantiasa selaras dengan tata moral ketuhanan yang tidak merusak tatanan.

Melibatkan dimensi spiritual-religius dalam menyikapi bencana tidaklah salah, apalagi religiusitas memang hal yang sangat melekat dengan budaya masyarakat kita. Namun, harus diperhatikan jangan sampai menimbulkan tafsir yang menyakiti, destruktif, dan tidak konstruktif. Bagaimanapun religiusitas dan spiritualitas memiliki dampak positif, meski kadang membuat perilaku tak sehat yakni kepalang pasrah akan takdir. Masyarakat kita misalnya, tergolong cukup tangguh secara mental saat menghadapi bencana. Seperti liputan harian Kompas (7/12/2022) yang menceritakan pengalaman penyintas bencana likuefaksi Palu bernama Alif Diwan. “Kalau saya tidak punya iman, pasti akan terus stres. Tetapi, saya harus ikhlas dan melihat ke depan. Apalagi, sekarang saya menjadi kepala keluarga bagi dua adik. Prioritas sekarang harus cepat selesai kuliah”, ungkap Alif.

Pada kesimpulannya, bencana alam mesti dipotret dengan pendekatan yang berimbang antara rasionalitas dengan religiusitas. Pemerintah dan para pemangku kebijakan harus peka dan tanggap untuk membentuk sistem mitigasi bencana berdasar kondisi obyektif negeri kita. Serentak dengan itu, para agamawan harus mengedepankan tafsir konstruktif dan peka kemanusiaan atas ayat-ayat yang menyangkut musibah. Tak perlu menunggu guncangan-guncangan susulan untuk memahami bahwa gempa adalah bagian dari mekanisme alam atau sunnatullah yang dapat didekati secara ilmiah dan dilakukan mitigasi atasnya. Azab atau hukuman sesungguhnya adalah ketika kita tidak mau berpikir mengambil pelajaran dari bencana yang telah lalu. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.