Meretas Jalan Bahagia dengan Nilai Ketuhanan

KhazanahMeretas Jalan Bahagia dengan Nilai Ketuhanan

Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan hanya kepada-Nya lah kita akan kembali. Kalimat istirja’ yang biasa terucap ketika mendengar kabar duka tersebut merupakan kerangka spiritual sekaligus filosofis yang memberikan kita makna serta tujuan hidup yang baik, benar, dan kokoh. Hidup bukan lingkaran tak berujung, namun hidup berpangkal dan berakhir pada Tuhan. Meyakini bahwa kita bukan pemilik diri kita dan kelak akan berpulang pada Yang Punya, merupakan sandaran diri yang meringankan sekaligus menjaga kesadaran manusia dalam perjalanannya menuju gerbang kebahagiaan sejati.

Sekali kehidupan terwujud, kita hampir tidak bisa menghindar dari keharusan membuat pilihan jalan hidup. Manusia mungkin tergerak untuk merangkai pandangan hidupnya ketika ia sadar tentang makna dan tujuan hidup hakiki, yang itu adalah bahagia dan rasa tenteram di jalan Tuhan. Nyaris tak ada manusia yang hampa dari harapan maupun makna hidup. Orang yang mengaku putus asa atau memandang hidup itu tak bermakna, mereka sedang menipu diri. Keputusasaan dan ketidakbermaknaan bukankah justru hadir dari harapan yang kandas atau arti hidup yang keliru? Artinya, mustahil orang hidup tanpa harapan, tujuan, juga makna.

Tujuan dan makna hidup seseorang sudah tentu beragam. Persoalan yang tak kurang pentingnya adalah mengenai nilai dari makna serta tujuan itu sendiri. Artinya, perihal pokok seorang manusia bukan semata menyadarkan bahwa hidup mereka bertujuan dan bermakna, namun menunjukkan manusia agar menempuh hidup dengan pilihan makna serta tujuannya yang tepat. Dan untuk ini, agama menawarkan sistem hidup meliputi makna dan tujuan yang baik dan benar. Pertarungan ideologi-ideologi dunia memberi kita sedikit gambaran bahwa hidup manusia punya makna dan tujuan. Namun demikian pertimbangan mengenai nilai dari ideologi tersebut harus tetap hadir.

Sejarah Nazisme misalnya, ideologi ini memberi makna dan tujuan bagi penganutnya, mampu memobilisasi serta memperjuangkan perwujudan dari ideologi tersebut pada masanya. Namun pengalaman umumnya manusia memutuskannya sebagai ideologi yang bernilai buruk serta tak mengandung kebenaran-kebaikan universal dan obyektif. Mesti ada kesepakatan rasional dan ketulusan yang merangkul kebutuhan mendasar manusia sepanjang menyangkut makna dan tujuan hidup. Dengan kata lain, hati nurani memiliki andil besar dalam menopang makna dan tujuan hidup umat manusia. Suara hati dan pertimbangan murninya adalah pertaruhan yang begitu penting dalam menentukan tujuan hidup dan memberi makna padanya. Dalam bahasa Nabi, beliau mengungkapkan, Mintalah fatwa pada hatimu. Kutukan warga dunia hari ini pada Nazisme tak lain karena paham mereka yang tak sanggup bertahan terhadap ujian hati nurani universal. Hati terdalam manusia menolak praktik totalitarian, ketidakadilan, diskriminasi yang dipertontonkan Nazi.

Dalam sistem yang diajukan agama, Tuhan adalah tujuan hidup, dan makna hidup akan ditemukan dalam usaha-usaha meraih tujuan tersebut. Maka benar bahwa tidak ada kenikmatan kecuali setelah kepayahan. Lipatan usaha, kesulitan proses, itu semua adalah warna hidup yang memberi makna, sebuah makna hidup duniawi yang harus dikaitkan dengan makna hidup kosmis (jagat raya) yakni Tuhan. Tanpa ada dimensi kosmis dalam makna hidup, seseorang akan mudah goyah dan terlempar dalam lubang pesimisme hingga mengingkari adanya tujuan dan kebermaknaan hidup. Pendeknya, dalam setiap usaha menuju Tuhan, Dia dan nilai-nilai-Nya haruslah disertakan.

Baca Juga  Menanggulangi Krisis Identitas Muslim

Dengan mendasarkan pada pengalaman umat manusia, kaum pesimistis lazimnya terjebak pada pandangan bahwa hidup ini padat dengan kesengsaraan sehingga mati pun sebetulnya lebih baik. Sebab itu mereka tak percaya akan adanya tujuan dan makna hidup. Tidak ada kebahagiaan sejati, karena menurut mereka justru kebahagiaan seseorang bisa menjadi sumber kesengsaraan orang lain. Dalam arti, sepotong kebahagiaan seseorang bisa menjadi sumber pemikat (iming-iming) bagi orang lain yang tak sanggup mewujudkannya. 

Kaum pesimistis terhenti pada wilayah kedengkian. Jika diadu secara sederhana, Islam sebagai agama yang sarat optimisme, jelas memberikan tawaran konseptual untuk menangani kondisi semacam itu. Seorang Muslim mesti bertumpu pada keyakinan bahwa kenikmatan orang lain adalah bagian dari hikmah Allah, di samping adanya perintah untuk bersyukur misalnya dengan merefleksikan pengalaman orang lain yang tak bernasib lebih baik dari kita. Dalam bahasa lain, agama menjaga manusia dari salah arah memaknai kebahagiaan dalam perjalanannya menuju bahagia yang sejati, yakni perkenan Tuhan juga pertemuan dengan-Nya.

Hidup kita akan bermakna melalui upaya tak henti mendekati Tuhan. Apabila makna hidup yang terbentuk oleh kebutuhan nyata (duniawi) kehilangan kaitannya dengan makna yang lebih tinggi, yang berdimensi kosmis, manusia bisa terancam kehilangan makna atau makna hidupnya menjadi palsu. Dalam bahasa keseharian, segala perbuatan harus diniatkan karena dan untuk Tuhan. Sebab, makna-makna yang berdimensi duniawi tersebut sifat dasarnya adalah penunjang bagi kehidupan orang yang bersangkutan, bukan inti.

Sebagai pedoman bagi umat manusia untuk mencapai kematangan jati diri dan tujuan hidup sejatinya, Tuhan pun menampilkan diri-Nya melalui kabar yang dibawa para utusan dalam wujud kualitas-kualitas moral, seperti Maha Kasih Sayang, Maha Pengampun, Maha Adil, dan seterusnya. Perintah beriman dan segala ajaran tentang ibadah yang dititipkan melalui nabi-nabi, semua bermuara pada ajaran penyempurnaan kualitas moral manusia. Itulah mengapa ada riwayat yang menyatakan, Berakhlaklah dengan akhlak Allah. Manusia tak akan menjadi Tuhan, namun dengan rasa ketuhanan yang dalam, ia akan tumbuh dengan resapan kualitas ilahiah.

Manusia secara penciptaan dasarnya peduli pada kebahagiaan. Dan bahagia sejati tentu bersumber dari Dzat yang berkuasa dan sejati pula, Tuhan. Meminjam penjelasan Nurcholish Madjid dalam Islam, Doktrin, dan Peradaban, bahwa nilai kemanusiaan adalah wujud makna duniawi (terestrial) dari hidup manusia, sementara itu nilai ketuhanan merupakan wujud dari tujuan sekaligus makna hidup kosmis serta eksistensial manusia. Keduanya saling terkait, tak terpisahkan, dan harus ada secara bersamaan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.