Tajamnya Pena Bung Hatta

KhazanahTajamnya Pena Bung Hatta

Bung Hatta bukan sekadar Bapak Koperasi Indonesia. Segenap hidupnya dipertaruhkan untuk bangsa. Ia berjuang dengan ketajaman pena. Menjelma sebagai seorang negarawan bersahaja namun teguh, seorang pemikir cemerlang dengan banyak karya. Ia memang terhitung bukan seorang orator yang piawai menguasai podium, namun tulisan-tulisannya dalam, tajam, menghujam, dan melampaui zaman. Bukan hanya satu pihak yang pernah merasa terusik dengan pemikiran kritis Hatta, hingga merasa harus membungkamnya. Kekuatan gagasan Hatta sebanding dengan kegilaannya dalam membaca. Lihat saja bagaimana kisah Hatta meminta disediakan 16 peti untuk mengangkut buku-bukunya ketika ia diasingkan oleh pemerintah kolonial ke pedalaman Papua, Boven Digoel. 

Sejak usia 18 tahun Hatta sudah mulai menulis. Belum pula ia duduk di bangku kuliah saat itu. “Namaku Hindania” adalah cerpennya yang terbit di majalah Jong Sumatra pada 1920. Mengisahkan tokoh Hindania, seorang janda rupawan nan kaya raya yang menikah lagi setelah suaminya wafat. Namun rumah tangganya tak berjalan baik. Hindania adalah personifikasi dari  Hindia Belanda (Indonesia) yang kedatangan pelancong Barat, yakni Belanda (tokoh Wolandia) yang kemudian menjajah kita dalam masa yang lama. Di tengah duka Hindania, ada sepenggal sikap manis yang ditampilkan Wolandia.

Pada masa tulisan itu terbit, Belanda memang sedang gencar menerapkan kebijakan politik etis atau politik balas budi kepada masyarakat pribumi. Antara lain dengan membuat program pembangunan di sektor irigasi, edukasi, dan emigrasi. Tulisan itu adalah cermin kepekaan atas situasi serta kesadaran kebangsaan seorang Hatta remaja yang disokong keluasan bacaannya. Nama-nama tokoh besar seperti Marx serta Leo Tolstoi pun tersebut dalam tulisan pendeknya itu.

Sejak September 1921, Hatta berkuliah di Belanda. Semasa jadi mahasiswa, Hatta merupakan motor perjuangan pemuda Indonesia di sana. Ia mengetuai Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeniging) pada 1924. Hatta aktif menulis di majalah Hindia Poetra–berubah nama menjadi  Indonesia Merdeka pada 1924–yang diterbitkan oleh organisasi Perhimpunan Indonesia. Pada 23 September 1927, Hatta bersama tiga rekannya yang lain ditangkap oleh otoritas Belanda akibat aktivismenya di Perhimpunan Indonesia serta tulisan-tulisan kritisnya di Indonesia Merdeka yang dianggap menghasut publik untuk melawan pemerintah Belanda.

“Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka) adalah pidato pembelaan Hatta atas tuduhan tadi, yang dibacakannya selama tiga jam lebih di hadapan pengadilan Den Haag, Belanda. Dalam salah satu manifesto monumental Hatta tersebut ia memberikan tamparan keras dan tepat sasaran atas praktik kolonialisme serta eksploitasi pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia. Dua pekan berselang, Hatta dan rekan-rekannya pun dinyatakan bebas.

Lain dengan pola perjuangan Sukarno yang lebih kepada penghimpunan dan pengembangan basis massa, Hatta lebih menekankan pada aspek pendidikan politik serta pemberdayaan masyarakat terjajah. Hatta meyakini, bahwa penyadaran rakyat melalui pendidikan serta pemberian pemahaman sangat penting bagi perjuangan meraih kemerdekaan. Jalur intelektual itulah yang terus ditempuh Hatta hingga perjuangannya di Tanah Air. Lagi-lagi Hatta harus menelan pil pahit akibat tulisan-tulisannya yang tajam dan lantang. Dibuangnya ia ke Boven Digoel adalah buah dari aktivitas politik serta rentetan tulisannya di majalah Daulat Ra’jat.

Sukarno-Hatta adalah kombinasi yang saling melengkapi. Sukarno diibaratkan gas, sedangkan Hatta adalah remnya. Dwitunggal proklamator bangsa ini pun pada perjalanannya menjadi dwitanggal karena perbedaan pandangan politik. Hubungan sebagai sesama tetap dijaga, namun dalam hal pemikiran, Hatta tak pernah surut untuk menyuarakan gagasannya. Demokrasi Kita adalah tulisan yang berisi kritik Hatta atas kebijakan Sukarno yang dinilai otoriter. Terlihat bagaimana keberanian dan ketetapan hati seorang Hatta yang mengkritik keras pasangan proklamatornya tersebut. Pada 1960-an, tulisan itu pun dinyatakan terlarang dibaca. Sedangkan Buya Hamka, pimpinan majalah Pandji Masyarakat yang menerbitkan tulisan itu dipenjarakan.

Baca Juga  Jangan Sepelekan Sikap Intoleran!

Demokrasi Kita adalah kecaman Hatta pada politik Demokrasi Terpimpin yang dijalankan oleh Sukarno. Hatta tak pernah surut berjuang melalui ketajaman pena. Tulisan menjadi wahananya untuk berhadap-hadapan dengan laju kebijakan politik Sukarno yang dinilainya semakin menjauh dari idealisme murni demokrasi. Kritik dan gagasannya didasarkan pada pembacaan yang jernih dan mendalam. Beberapa tahun sebelum Bung Karno jatuh dari tampuk kepemimpinan, Hatta telah memberi pandangan yang bisa dibilang presisi. Ia berkata, “Sistem yang dilahirkan Sukarno itu tidak lebih panjang umurnya dari Sukarno sendiri.”

Di sisi kehidupan pribadi, sebagai persembahan untuk menikahi pujaan hatinya, Rahmi binti Rachim, Hatta bahkan memberikan sebuah buku filsafat berjudul Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya sendiri saat diasingkan di Digoel. Sang ibu sempat terkejut dan bingung dibuatnya karena maskawin yang tak lazim tersebut. Hatta menolak kemauan ibunya agar diselipkan barang sedikit perhiasan emas atau uang dalam maharnya. Ia tetap teguh dan yakin. Sembari tersenyum, ia mengatakan pada sang ibu, bahwa nilai buku tersebut jauh lebih tinggi dari emas ataupun uang.

Buku, kertas, dan pena adalah pusat kehidupan Hatta. Ia adalah putra bangsa yang berjuang dengan segenap hidup serta ketajaman pena. Tak kurang dari 30 ribu koleksi buku menjadi warisan sepeninggalnya. Dalam serial buku saku Tempo berjudul Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman, disebutkan bahwa Bung Hatta menjadi satu-satunya bapak bangsa yang paling banyak menulis. Layaknya Gandhi, jalur juang tanpa kekerasan ia tempuh. Hatta berjuang dengan kedigdayaan pena dan ketajaman analisis untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kehidupan bangsa. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.