Strategi Ketahanan Pangan Nabi Yusuf

RecommendedStrategi Ketahanan Pangan Nabi Yusuf

Pangan adalah hajat hidup semua makhluk. Sangat penting bagi suatu bangsa menjaga stabilitas pangan demi kelangsungan hidup warganya. Kita bisa cermati bagaimana perputaran sejarah mengungkapkan berbagai krisis pangan mewujud menjadi hantu peradaban. Kemelut pangan pun berangsur menjadi bencana ekonomi, sosial, serta keamanan. “Logika tanpa logistik akan berujung anarki”, adagium ini tampaknya adalah penjelasan atas efek domino dari krisis pangan. Rupanya, melalui peradaban pra modern kita bisa belajar mengatur strategi ketahanan pangan dari pengalaman Nabi Yusuf yang sukses menghadapi ancaman krisis pangan di negeri Mesir.

Ketahanan pangan merujuk pada situasi ketika semua orang, sepanjang waktu memiliki akses baik fisik, sosial, maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, serta bergizi yang memenuhi kebutuhan makan mereka sesuai preferensinya. Gejolak pangan hampir terus ada di tiap era. Dahulu, Yunani sebelum Masehi (sekitar abad ke-7 SM) pernah mengalami krisis pangan yang menimbulkan perselisihan antarwarga sipil. Hal itu mulanya dipicu oleh konflik antara Athena dan Sparta. Kira-kira tiga puluh tahun kemudian kondisi warga setempat baru mulai stabil. 

Dalam buku Empires of Food: Feast, Famine, and the Rise and Fall of Civilizations yang dikutip oleh Mukti (2019), disebutkan bahwa masa kekeringan pada rentang 1876-1879 menjadi penyebab utama wabah kelaparan di China Utara. Di periode tiga tahun tersebut, hampir 13 juta orang meninggal. Bunuh diri menjadi suatu hal yang normal. Lebih menyeramkan lagi adalah adanya praktik kanibalisme dan penjualan anak-anak. Tahukah? Di realitas sekarang, demi sekarung gandum untuk mengisi perut, warga Afghanistan pun terpaksa menjual anak-anak mereka akibat krisis pangan dan berbagai krisis multidimensional lain. Negeri kita yang masyhur kekayaan alamnya ternyata tak bernasib lebih baik. Gizi buruk, kelaparan masih terjadi di mana-mana. Bangsa yang gemah ripah loh jinawi ini pada 2021 menjadi negara ketiga dengan tingkat kelaparan tertinggi di ASEAN dalam pantauan Global Hunger Index (GHI).

Al-Quran menceritakan dalam surat Yusuf ayat 46-49 bagaimana Nabi Yusuf mengatur strategi untuk menghadapi krisis pangan di Mesir. Kisah itu bermula ketika raja Mesir bermimpi tentang sapi betina dan tanaman gandum, yang mana hal itu menimbulkan beban pikiran baginya. Mimpi itu ibarat simbol realitas masa depan negerinya, sehingga ia merasa harus tahu maknanya. Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering (QS. Yusuf: 43).

Tidak ada dari para penasihat raja yang bisa menakwil mimpi tersebut. Mereka pun mengatakan itu merupakan mimpi-mimpi kosong. Nabi Yusuf yang saat itu masih menjadi tahanan istana pun akhirnya diminta untuk menakwil mimpi tadi setelah seorang pelayan mengusulkannya kepada raja. Dengan kemampuan analisis dan takwil mimpi yang dikaruniakan Allah, Nabi Yusuf sanggup menerjemahkan mimpi tadi dan kemudian dikenal sebagai konsep ketahanan pangan.

Dari mimpi tadi, Nabi Yusuf memperkirakan bahwa negeri Mesir akan mengalami 7 tahun masa subur dengan curah hujan yang baik, kemudian disusul dengan musim kemarau panjang selama tujuh tahun. Tujuh sapi betina yang gemuk dimaknai sebagai aktivitas bercocok tanam intensif selama tujuh tahun agar negeri tersebut mempunyai cadangan pangan yang melimpah ibarat sapi yang gemuk. Intensifikasi pertanian ini mesti dilakukan untuk menghadapi masa paceklik penuh kesulitan di tujuh tahun berikutnya, ibarat sapi gemuk tadi dimakan oleh tujuh sapi betina yang kurus. Di masa sulit itu akan terjadi kemarau panjang yang membuat tumbuh-tumbuhan kering, seperti halnya tujuh bulir gandum yang mengering (QS. Yusuf: 47-48).

Baca Juga  Tafsir 'Laki-laki tidak sama dengan Perempuan' (QS. Ali Imran: 36)

Setidaknya ada dua strategi prinsip yang diuraikan Nabi Yusuf guna mengatasi ancaman masa sulit paceklik tadi. Yakni dengan menggencarkan kegiatan pertanian yang dalam hal ini adalah produksi gandum serta manajemen stok pangan. Takwil mengenai tujuh tahun masa kemakmuran dari mimpi sang raja tadi harus dimaksimalkan untuk menyiapkan negara menghadapi tantangan krisis. Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan” (QS. Yusuf: 47).

Ayat di atas sekaligus menjelaskan konsep manajemen cadangan pangan. Untuk mengelola hasil pertanian, diinstruksikan agar dibangun lumbung-lumbung untuk menyimpan gandum dengan tetap menyertakan tangkainya. Hal itu dilakukan agar bulir gandum tak cepat membusuk karena akan disimpan sebagai persediaan dalam waktu lama. Cukup ambil seperlunya untuk kebutuhan makan. Dengan kata lain, Nabi Yusuf meminta agar masyarakat membudayakan hidup hemat dalam konsumsi pangan untuk persiapan menghadapi masa krisis. Selain itu, negara melakukan pengaturan dan pengawasan distribusi cadangan pangan. Seluruh elemen masyarakat Mesir kala itu, konon hanya makan gandum sekali dalam sehari. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan (QS. Yusuf: 48).

Benar saja, penerapan strategi kebijakan tadi dapat menyelamatkan rakyat Mesir dari amukan krisis pangan. Negeri tersebut bahkan bisa mengekspor bahan pangan untuk membantu negara-negara tetangga yang terdampak musim kemarau berkepanjangan ketika itu. Mesir membangun kekuatan pangannya melalui optimalisasi potensi domestiknya, yaitu gandum, yang disinergikan dengan kebijakan strategis dalam pengelolaan cadangan pangan.

Dalam konteks Indonesia, kita bisa memanfaatkan potensi keragaman pangan pokok lokal sebagai strategi lanjutan untuk antisipasi krisis pangan. Dinamika politik global, perubahan iklim, dan ekses pandemi kovid sangat mungkin meningkatkan ancaman krisis pangan karena akan mengganggu produksi hingga rantai distribusi makanan. Suatu negara harus menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan aksesibilitas pangan yang sehat bagi rakyatnya. Penerapan skema manajemen krisis pangan yang telah dibuktikan sejarah di masa Nabi Yusuf tadi, dipadu dengan konteks lokalitas suatu negara, sekiranya akan menjadi langkah baik untuk membangun ketahanan pangan suatu negeri. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.