Mengenal Fiqih Peradaban Nahdlatul Ulama

Dunia IslamMengenal Fiqih Peradaban Nahdlatul Ulama

Jam’iyyah Nahdlatul Ulama hampir genap berusia seratus tahun. Untuk menutup abad pertama sekaligus menyongsong era barunya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meluncurkan agenda besar bertajuk Seri Halaqah Fiqih Peradaban. NU memandang pentingnya aktualisasi fiqih guna menyibak wawasan dan pemikiran baru yang lebih dinamis dari kalangan ulama, yang diharapkan dapat melahirkan gagasan mencerahkan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Dapat ditafsirkan, transisi menuju abad baru NU ini menjadi momentum reflektif sekaligus representatif bagi lahirnya peradaban baru, di mana NU berperan sebagai salah satu ujung tombak pembaharu Islam di tiap permulaan abad.

Peluncuran perdana halaqah berlangsung pada Kamis (11/8/2022) lalu yang bertempat di Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta. Pemilihan Ponpes Krapyak sebagai lokasi pembukaan bukan tanpa alasan. Muktamar NU ke-28 pada 1989 yang dilaksanakan di Ponpes Krapyak menghasilkan satu titik balik sejarah pemikiran para ulama NU. NU mulai mengusung semangat kontekstualisasi wacana fikih yang diselaraskan dengan perkembangan zaman.

Halaqah tersebut akan dilaksanakan hingga Januari 2023. Serial halaqah ini bakal digelar di 250 titik lokasi se-Indonesia dengan sebaran lokasi yakni 75 titik di Jawa Timur, 75 titik di Jawa Tengah dan DIY, 50 titik di Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta, serta 50 titik di luar Jawa. Sekitar 12.500 kiai dan bu nyai Tanah Air dikabarkan akan terlibat dalam agenda tersebut. Hasil dari musyawarah akbar itu nantinya akan dibawa ke perhelatan puncak dalam Muktamar Internasional Fikih Peradaban pada Januari 2023 mendatang.

Peradaban manusia yang dinamis mesti ditanggapi secara aktif. Agenda halaqah ini menjadi salah satu langkah taktis NU atas dinamika tersebut. Para alim ulama dengan kearifan serta kedalaman ilmunya diajak untuk bersama-sama memikirkan supaya fikih Islam betul-betul mampu berhadapan dengan realitas peradaban baru. Fikih Islam tak boleh mandeg dan hanya mewarisi hasil dialektika peradaban masa silam. KH Yahya Cholil Staquf, selaku Ketua Umum PBNU, berharap agar tradisi diskusi di lingkungan pesantren kembali hidup dan kokoh. Halaqah serupa–menurut Gus Ulil dalam nu.or.id (29/8/2022)–pernah digelar di masa Gus Dur menjabat sebagai Ketua PBNU, dan hasilnya menakjubkan. Lahir banyak kiai pemikir dengan beragam gagasan kontributifnya.

Para kiai dan ulama dalam halaqah ini akan diminta ‘mengeksploitasi’ buah karya para sarjana klasik Islam guna dipahami secara kontekstual. Melalui halaqah tersebut, fiqih yang dipelajari di pesantren-pesantren selama ini diharapkan dapat dipahami dalam konteks peradaban yang telah berubah. Ada penyegaran titik temu antara fiqih siyasah dan realitas peradaban yang diharapkan lahir dari halaqah ini, sehingga bisa memberi panduan pandangan hidup berbangsa bernegara. Dari tema utama Fiqih Siyasah dan Realitas Peradaban Dunia Baru yang diusung dalam halaqah ini, kemudian diturunkan menjadi lima tema besar. Kelimanya adalah Fiqih Siyasah dan Kehidupan Berbangsa, Fiqih Siyasah dan Kehidupan Bernegara, Fiqih Siyasah dan Kewarganegaraan, Fiqih Siyasah dan Kaum Minoritas, serta Fiqih Siyasah dalam Perang dan Damai. 

Baca Juga  Membangkitkan Kepekaan Muslim Terhadap Krisis Lingkungan

Di samping tujuan untuk aktualisasi gagasan, gelaran halaqah ini juga ditujukan untuk mewujudkan supremasi syuriyah dan untuk melahirkan kiai-kiai pemikir di lingkungan NU, sebagaimana dituturkan Gus Ulil dalam nu.or.id (19/8/2022). Dalam penjelasannya, supremasi syuriyah disebut menjadi satu ihwal penting. Sebab, jajaran syuriyah merupakan pimpinan tertinggi NU yang bertugas membina, mengawasi pelaksanaan keputusan-keputusan organisasi serta rujukan dalam berorganisasi di NU. Untuk itu, dalam penjelasan Gus Ulil, kesadaran para kiai akan tantangan yang dihadapi dunia saat ini sangat penting, sekaligus menjadi langkah agar jajaran syuriah bisa tinggi posisinya dan dapat menjadi rujukan yang otoritatif saat membincang tentang realitas peradaban baru. Meniru gurauan Gus Yahya, Gus Ulil mengatakan, bahwa mengundang para kiai untuk berdiskusi adalah alternatif produktif agar mereka tak hanya sibuk dengan urusan pilkada semata.

Tidak berlebihan rasanya jika menafsirkan jam’iyyah ini sebagai salah satu aktor mujaddid yang diterangkan dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap seratus tahun orang yang memperbaharui agamanya. Kita telah menyaksikan, NU selama ini terlibat secara aktif dan kontinyu dalam tugas-tugas penjagaan dan perbaikan urusan sosial keagamaan serta pembimbingan masyarakat. Daya pengaruh dan kepedulian NU pun telah terbukti kuat. Sejumlah anasir figur pembaharu ada dalam tubuh NU. Hal ini adalah isyarat kebaikan sekaligus tanggung jawab untuk ditunaikan.

Memajukan peradaban melalui agama menjadi tujuan lain yang hendak dicapai. Ikhtiar ini adalah sebentuk kristalisasi pemahaman atas pernyataan ayat suci bahwa manusia adalah khalifah yang bertanggung jawab menata, mengelola dunia. Serial halaqah ini diharapkan bisa menjadi salah satu sumbangsih NU untuk masa depan peradaban Islam yang cerah dan damai. Tak hanya bagi Indonesia, namun juga untuk masyarakat global sebagaimana lambang bola dunia yang dipatenkan dalam logo NU. Membuka cakrawala pengetahuan baru yang dinamis dan peka perubahan zaman adalah kebutuhan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.