Dalam Forum Kajian Dosen (23/08) yang diselenggarakan Pusat Studi Pesantren dan Fikih Sosial Institut Pesantren Mathali’ul Falah, Dr. Nur Rofi’ah menyampaikan materi tentang “Nilai-nilai Kemaslahatan dalam Keluarga Santri”. Dalam kesempatan ini, Dr. Nur menjelaskan bahwa prinsip-prinsip ketauhidan yang diajarkan Islam, telah memperbaiki dan membuat perubahan besar atas konsep keluarga yang berkembang di tengah masyarakat jahiliyah.
Dosen Ilmu Tafsir ini, menerangkan bahwa pada saat datangnya Islam, budaya jahiliyah menganggap perempuan sebagai milik laki-laki. Sehingga perkawinan dilihat sebagai peralihan kepemilikan dan penguasaan atas perempuan, dari ayah kepada suami. Cara pandang seperti ini, yang bahkan masih sangat mudah sekali hingga saat ini, memberikan legitimasi bagi eksploitasi dan penindasan terhadap perempuan. Gagasan kepemilikan dan penguasaan mutlak atas perempuan inilah yang kemudian dipatahkan oleh Islam yang mengajarkan Tauhid.
“Tauhid punya makna luar biasa sekali. Karena dalam konteks keluarga waktu itu, tauhid adalah larangan keras bagi laki-laki untuk memperlakukan perempuan sebagai hambanya, termasuk anak dan istri, tidak boleh diperlakukan seperti hamba. Dan tauhid juga artinya adalah larangan bagi perempuan untuk mendudukkan diri sebagai hamba laki-laki termasuk hamba ayah dan suaminya.” Jelas Dr. Nur Rofiah.
Islam mengajarkan bahwa perkawinan tidak boleh melunturkan status setiap individu sebagai hamba Allah, justru harus memperkuat komitmen tauhid ini. Selain itu, pernikahan dalam Islam juga tidak melunturkan amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia, sebagai khalifah fil ardh.
Dalam ajaran Islam, manusia ditugaskan untuk mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi, baik laki-laki maupun perempuan. Karenanya, menurut Dr. Nur, mandat khalifah fil ardh itu menggeser pemisahan ruang kemaslahatan antara di dalam dan di luar rumah.
Di dalam budaya jahiliyah, perempuan ditempatkan di dalam rumah karena dipandang sebagai harta suami. Dia tidak boleh keluar rumah kecuali yang memilikinya memberi izin, karena dia adalah harta. Cara pandang atas ruang ini bergeser ketika Islam mengajarkan tentang tanggung jawab sebagai khalifah fil ardh. Bagi Islam, laki-laki dan perempuan itu sama-sama penanggungjawab kemaslahatan di dalam rumah dan di luar rumah. Setiap orang punya tanggung jawab untuk mewujudkan sekaligus menikmatinya, dan mencegah kemungkaran sekaligus dilindungi darinya.
“Karenanya, perinsip dasar kemaslahatan di sumur, kasur, dan dapur, itu adalah tanggung jawab bersama. Soal pembagian peran itu fleksibel, tapi prinsip dasar kemaslahatan di manapun berada itu adalah tanggung jawab bersama” tegas Dr. Nur.
Jadi perkawinan itu tidak boleh menjadi suatu relasi kekuasaan yang menyebabkan salah satu pihak lebih rendah. Pernikahan dalam Islam itu tidak melunturkan status hamba Allah dan amanah produktivitas sebagai khalifah fil ardh, tetapi justru memperkuatnya dengan hubungan kerja sama. “Suami dan istri, orang tua dan anak, bekerja sama untuk mewujudkan kemaslahatan di dalam keluarga, dan kemaslahatan keluarga untuk masyarakatnya.” Pungkas Dr. Nur.