Era Digital menghadirkan era baru yang penuh peluang dan penemuan. Namun, era ini juga memiliki serangkaian tantangannya sendiri yang tidak pernah muncul dalam sejarah manusia sebelumnya. Salah satunya seperti masalah ‘Hiper-Konektivitas’ yang terjalin sangat erat melalui media sosial. Meskipun teknologi sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup, teknologi juga telah menciptakan banjir global misinformasi serta teori konspirasi. Inilah konteks di mana generasi milenial berkembang.
Jika di era terdahulu, yang menjadi masalah adalah kelangkaan informasi, tetapi sekarang masalahnya adalah informasi yang berlebihan. Badai informasi telah menurunkan kemampuan manusia untuk berhenti sejenak, berpikir, fokus pada satu emosi, dan menemukan makna dalam setiap tindakannya.
Bagaimana kita bisa menemukan solusi problematika dan tantangan kita sebagai seorang Muslim milenial dan manusia post-modern? Tentu saja, dengan terus menjaga pentingnya peran akal. Di dunia modern, akal atau rasionalistas menduduki posisi yang sentral dalam kehidupan sehari-hari kita. Bagaimanapun, berpikir adalah bagian dari tradisi peradaban umat manusia sepanjang sejarah. Berdasarkan fitrahnya, manusia diciptakan dengan kemampuan berpikir dan berpengetahuan. Fitrah ini statis dan tidak berubah. Untuk itulah, menjaga akal adalah salah satu prinsip tertinggi Syariah karena merupakan dasar dalam membangun kemampuan dan menghilangkan hambatan bagi perkembangan manusia.
Al-Quran mengapresiasi akal. Bagaimana tidak, berpikir merupakan pusat kemampuan kita untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang indah dari yang jelek, dan yang manusiawi dari yang tidak manusiawi. Al-Quran berulang kali mengajak para pembacanya untuk berpikir tentang tanda-tanda kekuasaan Allah dan kedudukannya di alam semesta ini (QS. An-Naml:93). Aspek lain dari gagasan al-Quran tentang berpikir adalah penekanan pada hikmah ( QS. Al-Baqarah:269). Hikmah umumnya didefinisikan sebagai mengetahui sifat sesuatu dan melakukan apa yang harus dilakukan. Kemampuan intelektual inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan lainnya.
Menghayati kenyataan hidup, merefleksikan fakta-fakta ilmiah, menyadari perubahan zaman, beradaptasi, dan mencari solusi, adalah bagian dari tugas kita dalam melestarikan peran akal. Sebagai orang yang beragama, kita juga menghadapi kenyataan bahwa revolusi digital telah mempengaruhi gagasan teologis yang telah mapan seperti tentang kebebasan, takdir, sifat manusia, akhlak, dan akhirat. Prinsip ini semakin rumit di dunia pasca-kebenaran, yang oleh Sean Coughlan dalam kolomnya yang berjudul What does post-truth mean for a philosopher? dikatakan sebagai era di mana opini publik didorong oleh emosi dan narasi populis daripada mencari kebenaran objektif.
Maka dari itu, penting sekali melestarikan dan mengedepankan fungsi akal sebagai fitur utama manusia, terutama untuk menghargai fitrahnya yang suci. Meskipun zaman berubah, proses intelektual kolektif umat manusia tetap relevan sampai sekarang seperti yang berlaku sepanjang sejarah. Peran manusia sebagai individu yang terlibat dalam pemikiran tentang ide-ide dan masalah non-materi menggunakan akal itu sangat besar. Tidak dapat dibantah bahwa, kelompok intelektual yang aktif sangat diperlukan untuk pembangunan bangsa. Di dalam bukunya yang berjudul Intellectuals in Developing Societies (p. 15), Syed Hussein Alatas menuliskan, “Tanpa kelompok intelektual, masyarakat tidak akan bisa menemukan masalah, mendefinisikannya, menganalisisnya, dan membuat solusi untuk masalah tersebut.”
Peran intelektual perlu menjadi suara kritik dalam menghadapi hegemoni, yang dalam konteks ini merupakan dampak kurang menguntungkan dari era digital. Anak muda generasi milenial tentu tidak didorong untuk anti-teknologi atau modernisasi, melainkan didorong menyeleksi dan memfilter hal-hal bermanfaat dari hal-hal merugikan yang ada di dalamnya. Kita harus selalu mengandalkan akal kita untuk berpikir kritis, hanya dengan cara itulah akal yang awalnya bersifat potensial menjadi akal aktual dan dapat menjadi alat untuk mencari manfaat sebanyak-banyaknya dari modernitas.
Al-Quran, yang kita baca setiap hari, sangat sering mengajak untuk menggunakan indera intelektual kita dalam mencari kebenaran. Misalnya firmannya yang berbunyi, Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir. (QS. Al-Jatsiyah: 13)
Dengan latar belakang ini, anak muda harus menghindari sikap yang melalaikan peran intelektual, terutama saat hari-hari bergantung pada teknologi informasi dan komunikasi seperti media sosial, yang sangat mempengaruhi pikiran yang lalai. Dalam usaha kita untuk menjaga akal di era digital, kita tidak boleh pasif secara mental, harus terlibat untuk memikirkan masalah aktual, dan berani membentuk pendapat alternatif yang mungkin berbeda dari arus utama. Kita harus memastikan bahwa akan selalu ada ruang bagi para intelektual baru dan muda yang berfungsi untuk membangun masyarakat yang manusiawi.
Jadi, mari kita mainkan peran kita sebagai “ciptaan terbaik” dari generasi yang baru dengan menggunakan kecerdasan kita untuk memahami secara kritis apa yang kita “konsumsi”, serta tidak hanya menjadi penonton belaka dari perubahan era. Menjaga akal adalah salah satu prinsip tertinggi Syariah yang harus disadari oleh setiap Muslim, terutama untuk mengatur dirinya masing-masing. Kemudahan dan kekayaan informasi, serta kemajuan teknologi yang memanjakan, tidak dapat menggantikan pentingnya peran akal di era digital saat ini.