Jaga Adab Mengkritik

KhazanahHikmahJaga Adab Mengkritik

Anak muda selalu dituntut untuk berpikir kritis. Dalam wacana moderasi beragama, di antaranya, berpikir kritis sangat diperlukan agar kita tidak jatuh ke dalam fanatisme buta. Belakangan ini sering sekali terjadi pro-kontra masalah agama di ruang publik. Sudah sepatutnya kita menilai dan merespon peristiwa dan ide baru dengan analisis fakta secara rasional. Bertanya, berdiskusi, mencari tahu, dan menemukan jalan tengah adalah cara indah dalam berdialektika dengan berbagai peristiwa. Kritik sangat penting bagi pengembangan pemikiran. Namun, tidak jarang juga, di ruang publik, terutama di medsos, kritik digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan, menghancurkan, dan memicu konflik.

Penting sekali untuk memanfaatkan kritik sebagai alat pembangun, bukan penghancur seperti yang dikhawatirkan di atas. Kritik semestinya berspirit kreatif, menciptakan atau mengembangkan sesuatu yang baru dari sesuatu yang telah ada. Dr Aksin Wijaya, dalam pengantar di bukunya yang berjudul Menatap Wajah Islam Indonesia (2020), menjelaskan fungsi utama dari fitur kritik yang penting namun sering terabaikan ini.

Ia menulis  “kritik merupakan langkah pertama untuk melanjutkan atau menggagas pemikiran baru. Sebuah kritik bukan sekadar bertujuan untuk kritik itu sendiri, apalagi untuk menghancurkan pemikiran yang sudah ada, melainkan untuk menemukan kelebihan dan kekurangan pemikiran yang sedang dikaji.”

Tak ayal lagi, model kritik seperti ini telah membudaya dalam sejarah pemikiran Islam.  Al-Ghazali pernah mengkritik para filsuf dengan karyanya, Tahafut al-Falasifah. Ibnu Rusyd mengkritik al-Ghazali dengan karya Tahafut al-Tahafut. Dan banyak Muslim thinker lainnya yang juga mengkritik Ibnu Rusyd, salah satunya Dr. Aksin Wijaya dengan buku, Teori Interpretasi al-Quran Ibnu Rusyd: Kritik Hermeneutis-Ideologis

Menurut Dr. Aksin Wijaya, tokoh pemikir Muslim tanah Air yang telah banyak menulis kajian kritis tentang pemikiran Islam di Indonesia ini, kritik merupakan alat untuk membantu kita mengambil segala yang baik dan meninggalkan yang tidak baik. Dengan kata lain, kritik berguna untuk memfilter pemikiran. Dr. Aksin menuliskan, “Dengan kritik, kita bisa melanjutkan kelebihannya, dan pada saat yang sama bisa mengisi kekurangannya. Karena itu kritik yang dimaksud adalah kritik konstruktif, bukan kritik destruktif.” 

Baca Juga  Ibnu Athaillah: Buah Ucapan dari Hati yang Bersih

Di Indonesia, Islam berkembang pesat. Jika dilihat secara garis besarnya, Islam di tanah air berkembang dari inspirasi tiga peradaban, yakni Arab, Barat, dan Nusantara. Bagaimana kita dapat menghadapi perkembangan dan variasi pemikiran keislaman yang ada di Indonesia ini? Tentu saja kita perlu mengedepankan metode berpikir kritis, terutama dalam menghadapi tarikan kuat dari dua peradaban besar, Arab dan Barat. 

Jadi, jangan gunakan kritik untuk menghancurkan atau menjatuhkan, tetapi gunakanlah kritik secara bermartabat untuk membangun dan mengembangkan pemikiran. Mari kita hidupkan kembali budaya kritik yang membangun.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.