Dunia ini sudah terlalu lama mengalami keretakan di bidang keberagamaan. Umat manusia terus saja tersandung sengketa antarumat beragama karena beda identitas keyakinan. Klaim kebenaran tunggal biasanya dibarengi sikap menyalahkan yang liyan, menolak perbedaan, hingga aksi kekerasan bahkan perang hanya karena beda agama. Semua itu adalah tragedi yang melelahkan, sebab kita disibukkan dengan medan konflik serta kebencian. Gagasan pluralisme Rumi adalah jalan damai untuk mendialogkan hal-hal berbeda yang tiap manusia yakini. Semua idenya memegang kuat teologi cinta. Jalaludin Rumi dan cinta adalah kesatuan. Bagi Rumi, sang mistikus Persia itu, cinta harus menjadi dasar dari penghargaan atas perbedaan.
Sebagai mula, kita mesti terlebih dahulu menyingkirkan asumsi sinis terhadap terma pluralisme. Selama ini pluralisme kerap disalahpahami, hingga dipandang sesat dan menyesatkan. Pluralisme dianggap sebagai agama baru hasil dari penyatuan agama-agama, yang didasari keyakinan bahwa semua agama benar. Jauh dari narasi peyoratif tersebut, pluralisme sebenarnya adalah sebuah paham atas keberagaman. Berangkat dari rangkaian kata “plural” artinya “beragam”, sedangkan “isme” berarti paham, merujuk pada paham tentang keberagaman, bukan keberagaman paham. Paham ini mengajarkan tentang kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas) dalam kerangka kehidupan, yang secara otomatis membawa serta ajaran toleransi dalam praktiknya.
Bukan agama baru, muara dari pluralisme adalah tindakan mengakui kebebasan berkeyakinan, menghargai perbedaan pemikiran, dan tetap terbuka untuk menjalin kerja sama di tengah keragaman. Pluralisme dengan demikian adalah konsep yang dirancang untuk merespons aturan tak terbantahkan dari Tuhan mengenai kemajemukan berbagai lini kehidupan manusia, termasuk perbedaan keyakinan. Kita diajak memahami perbedaan keyakinan sebagai realitas hidup seluruh manusia. Melalui teori fungsionalisme Emile Durkheim, agama tampil menjadi sesuatu yang betul-betul bersifat sosial. Di mana pengungkapan religius merupakan ekspresi kolektif yang bertujuan untuk menjaga atau memperbaharui kembali kondisi mental batin suatu kelompok keyakinan. Hal ini berlaku bagi seluruh agama. Dengan kata lain, pluralisme agama menjadi amat signifikan untuk tatanan sosial yang dinamis dan majemuk.
Melalui bait-bait puisinya, Rumi, sufi sekaligus filsuf abad ke-13 tersebut, membicarakan cinta, menyampaikan toleransi dan kasih tak berbatas untuk seluruh makhluk. Sebagai seorang Muslim, Rumi memberi perlakuan sama hormat pada penganut Hindu, Kristen, Yahudi, dan berbagai agama lain. Jalaludin Rumi melihat semua agama sama indahnya sebab semuanya mencari kebenaran. Dengan demikian, semua agama pada dasarnya bisa bekerja sama secara damai dan harmonis dalam suatu tatanan sosial. Dalam sebuah sajak ia berkata:
Aku bukan penganut Kristen, bukan Yahudi atau Muslim
Aku bukan dari Timur, atau Barat
Dualitas sudah kusingkirkan jauh, telah kulihat dua dunia ini satu;
Satu yang kucari,
Satu yang kutahu,
Satu yang kulihat,
Satu yang kusebut
Rumi tak menilai seseorang dengan penafsiran sempit mengenai Tuhan. Baginya ada banyak cara untuk seorang manusia bisa terhubung dengan Tuhan. Di lain puisinya, Rumi mengajak kita untuk menaruh fokus pada jantung nilai agama yang akan mengantarkan menuju terang petunjuk Tuhan. Jangan sampai terkecoh tampilan luar yang berbeda-beda dari agama yang bisa menghalangi hakikat dari agama dan beragama itu sendiri. Bait itu berbunyi:
Lampu-lampu itu berbeda-beda,
Namun Cahaya itu sama; Ia datang dari Atas
Apabila engkau terus memandangi lampu
Engkau akan bingung; karena yang muncul penampakan jumlah dan keragaman
Tetapkanlah pandangmu pada Cahaya engkau akan terlepas dari dualisme yang melekat pada tubuh yang terbatas
Semua penganut agama adalah para pencari Yang Sakral yang secara asasi jiwanya ingin sedekat mungkin dengan-Nya. Selama seseorang menyembah Tuhan Yang Esa, menurut Rumi tak ada jalan untuk menganggapnya kafir. Semua agama mempunyai nilai yang adiluhung, yang karena itu lebih mirip satu sama lain daripada berbeda. Sufi filsuf abad ke-13 tersebut hormat penuh pada berbagai pendapat, keyakinan, serta cara seseorang beribadah kepada Tuhan. Hal ini tercermin dari sajaknya yang berkisah tentang ragam jalan pencarian Tuhan yang digambarkan melalui orang meraba gajah.
Beberapa orang India melihat seekor gajah
Untuk ditunjukkan dalam arena
Karena melihatnya dengan mata tidak mungkin
Maka setiap orang meraba dengan telapak tangannya
Tangan yang menyentuh belalainya akan berkata;
Binatang ini seperti pipa air
Yang meraba telinganya akan mengatakan;
Ia seperti kipas dan seterusnya.
Bisa dipahami dari sajak tersebut, tiap orang akan memiliki persepsi masing-masing mengenai Tuhan, sesuai dengan yang sanggup ia jangkau, sebagaimana seseorang itu mengatakan gajah seperti kipas, pipa air, dan seterusnya. Sajak ini sekaligus menggambarkan keterbatasan pengetahuan kita tentang Tuhan. Maka dari itu, merasa paling benar atas pemahaman ajaran Tuhan adalah sikap tidak tahu diri.
Alih-alih merasa takut satu sama lain, kita bisa merangkul siapapun yang berbeda. Mengingat perbedaan adalah persoalan yang niscaya, maka tidak ada pilihan selain mengondisikan diri untuk menerimanya. Setiap kita pasti tidak mau dan tak bisa dipaksa untuk mengikuti satu prinsip agama atau keyakinan tertentu. Dengan sendirinya fakta ini menggugurkan asumsi bahwa pluralisme adalah upaya peleburan agama-agama. Sebab perbedaan bukan untuk dihapus dengan cara meleburkan atau menyatukan segala yang berbeda tersebut.
Rumi menanggalkan identitas luar. Ia berkecimpung pada hakikat cinta yang memancar ke segala arah. Sebagai mistikus cinta, Jalaludin Rumi sangat menekankan cinta sebagai dasar hidup umat manusia. Cinta mampu menghilangkan segala kebencian, amarah, dan prasangka, di mana rasa-rasa itu hanya akan menghambat pengenalan kita kepada Allah. Di tengah keadaan dunia yang mempertontonkan berbagai perbedaan melalui sentimen kebencian, maka teladan toleransi dan pluralisme cinta Rumi adalah hal yang sangat dibutuhkan. Wallahu a’lam. []