Puasa Sebagai Perisai

KolomPuasa Sebagai Perisai

Puasa merupakan ibadah yang sangat pribadi. Karena hakikat puasa sesungguhnya yang tahu adalah diri kita dan Allah saja. Seseorang yang berpuasa juga diwajibkan untuk menahan seluruh hal-hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan lainnya. Dia juga harus mampu meredam amarah jika ada yang membuatnya marah dan gejolak syahwatnya, jangan sampai lepas kendali.

Ramadhan juga banyak mengajarkan umat agar senantiasa menjaga hati dan pancainderanya dari perbuatan dan ucapan yang kotor, atau mengatakan sesuatu hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Orang yang menjalani puasa, tentu akan selalu menjaga lidahnya, mulutnya, dan telinganya dari perkataan dan pendengaran yang sia-sia.

Kita semua adalah makhluk sosial yang tidak mungkin bisa menghindari interaksi dengan orang lain. Terkadang di setiap interaksi kita dengan orang lain, tensi kita menjadi naik, emosi kita membumbung, atau pun justru sebaliknya, menggembirakan. Ketika seseorang itu menghadapi informasi yang dianggap merugikan atau menguntungkan pihak tertentu, sikap natural yang secara spontan kita akan bereaksi untuk merespons informasi yang baru saja diterimanya itu.

Reaksi dan respons itulah yang membedakan apakah seseorang itu bisa mengendalikan emosinya atau tidak. Puasa, mengharuskan kita menahan segala amarah angkara murka yang dapat merusak kualitas—atau bahkan membatalkan—puasa kita dengan segala daya dan upaya melalui satu kata ‘sabar’. Bahkan harus mampu menahan diri dalam situasi ketika diajak untuk berkelahi sekalipun.

“Jika ada seseorang yang menyerang atau mencaci, maka hendaklah ia berkata bahwa ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (HR. Bukhari Muslim). Karena itu, betapapun beratnya, kita harus mampu belajar untuk mengendalikan emosi. Sebab orang yang mampu mengendalikan emosi atau hawa nafsunya, semua akan kita hadapi dengan penuh kebijaksanaan, santai, dan kepala dingin.

Sebaliknya, orang yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, emosinya akan mudah meledak dengan suasana hati yang panas menyala, bicara melantur tanpa berpikir dan menimbang baik buruknya, sehingga perilaku dan tindakannya akan sulit dikendalikan. Suasana itu bercampur aduk, karena emosi tidak hanya amarah, tapi juga sedih, kesal, jengkel, kasih sayang, malu, dan seterusnya.

Biasanya manusia dipenuhi emosi, meski berusaha lepas untuk bisa mengendalikannya, akan tetapi tetap saja emosi lebih mendominasi dan mengendalikan manusia. Akibatnya, manusia kadang-kadang tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, menjadi pemarah, emosional yang meledak-ledak yang berujung pada perilaku atau tindakan irasional.

Baca Juga  Ketum PP Muhammadiyah: NKRI Sudah Sesuai Syariat Islam

Dalam hal ini, puasa menjadi tameng kesabaran yang berlipat ganda untuk mengendalikan emosi dan hawa nafsu yang berusaha mengontrol kita setiap saat. Sebab orang yang sabar, akan selalu mengendalikan dirinya. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menguasai dirinya saat dia marah.” (HR. Bukhari Muslim).

Amarah memang sikap yang berbahaya dan dapat merusak karakter kepribadian manusia. Karena itulah sabar dengan tetap berusaha secara terus menerus menghilangkan sama sekali sikap amarah dalam diri kita, harus terus diupayakan. Bagai mengendalikan kuda liar yang berlari kencang dengan kita berusaha meraih pelananya.

Ada beberapa poin penting sebagai pengingat agar kita senantiasa bisa mengendalikan emosi. Pertama, sebisa mungkin kita hindari hal-hal yang memancing emosi dan amarah. Kedua, segera mengingat Allah SWT dan meminta do’a agar kita dapat mengendalikan hawa amarah yang sedang menggelayuti. Ketiga, ubah posisi tubuh kita, jika sedang berdiri, cobalah untuk duduk, begitupun sebaliknya, atau pergi ke luar, ke tempat-tempat yang lebih tenang.

Keempat, cobalah untuk pergi ke toilet dan berwudhu beserta sunnah-sunnahnya—menyiram seluruh bagian rambut atau menyiram kaki dari jari sampai lutut—mungkin dapat mendinginkan kepala, sehingga sudah sedikit tenang dan dapat berpikir. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “Apabila di antara kamu sedang marah, hendaknya ia berwudhu dengan air, karena marah berasal dari api.” (HR. Abu Dawud). Dan terakhir, perbanyak istighfar. Dzikir istighfar dapat meredam hawa nafsu yang bergejolak.

Apalagi, pada momentum bulan Ramadhan ini, puasa tidak hanya menahan rasa lapar dan dahaga, melainkan juga amarah. Puasa adalah perisai, benteng pertahanan yang kokoh untuk mengendalikan hawa nafsu. Menahan lapar dan dahaga yang sifatnya jasmani saja kita bisa, lebih lagi menahan hal-hal yang tidak tampak, seperti kemarahan, jengkel, kesal, dan sifat negatif lainnya.

Kemampuan kita dalam mengendalikan emosi dan hawa nafsu di bulan suci, akan dilipatgandakan ganjaran pahala oleh Allah SWT. Melalui medium puasa, kita dilatih agar bisa sabar atas segala sesuatu yang menimpa kita. Sebab jika emosi menguasai, semua akan lebih condong ke dosa dan tidak bermanfaat. Karenanya puasa merupakan perisai dari perilaku atau tindakan yang sia-sia dan dosa. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.