Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

KolomMensyukuri Nikmat Kemerdekaan

Hari ini, kita memperingati hari paling bersejarah bagi Negara Republik Indonesia, yakni Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus ‘45. Tepat 77 tahun yang lalu, perjuangan untuk merdeka dari jerat penjajahan bangsa lain, berakhir suka-cita. Kita patut bangga dan bersyukur telah mewarisi negara yang merdeka untuk menjadi tanah air kita hari ini. Sebagai Muslim sekaligus warga negara Indonesia, kita wajib mencintai negeri yang menjadi tempat kita untuk beribadah dan beramal shaleh. 

Peringatan hari Kemerdekaan adalah momen istimewa untuk meneguhkan identitas kita sebagai Muslim Indonesia yang unik. Dalam sejarah kemerdekaan hingga era pembangunan saat ini, umat islam Indonesia selalu menjadi bagian integral dari perkembangan bangsa. Sebagian besar Muslim, di seluruh dunia, mampu menyatukan banyak identitas dalam dirinya, tanpa harus dilema memilih satu dan mengabaikan yang lain. Tentu saja, seseorang bisa menjadi Muslim, apapun bangsa dan kewarganegaraannya. Demikian halnya kita yang menjadi Muslim sekaligus orang Indonesia. 

Belakangan, ada saja kita dengar klaim bahwa Muslim hanya dapat mencintai tanah air dan menghargai kewarganegaraan, jika negeri kita diperintah oleh seorang penguasa Muslim (khalifah), dan menerapkan Syariah (Hukum Islam). Menurut pandangan yang bersumber dari gerakan Muslim militan garis keras ini, tanpa khilafah dan Hukum Islam, suatu negeri tergolong sebagai Dar Al-Harb (Tanah perang) dan harus harus direvolusi dan diperangi sampai menjadi Dar Al-Islam (Tanah Islam). Inilah salah satu gagasan menyimpang di dunia modern, yang mencoba menghalang-halangi seorang warga negara untuk mencintai negerinya, bahkan menjadi frustasi pada status tanah air tempat tinggalnya sendiri.

Ide ini jelas menyesatkan dan tidak akurat. Al-Quran tidak menyatakan bahwa dunia terbelah dalam dua kategori hitam-putih, tanah islam dan tanah perang. Gagasan ini juga tidak berasal dari zaman Nabi saw, atau zaman para sahabat dan generasi Muslim pertama. Bahkan, ide ini juga tidak sepenuhnya diterima di kalangan cendekiawan Muslim. Menurut mazhab Syafi’i, “tanah non-Muslim yang dominan yang tidak berperang dengan Muslim bukanlah Dar Al-Harb”. Artinya, perang atau permusuhan tidak bisa dilancarkan hanya karena tanah tersebut bukan tanah Muslim.

Konsep tentang dunia umat Islam yang terbelah menjadi Dar Al-Islam (Tanah Islam) dan Dar Al-Harb (Tanah Perang) itu berkembang beberapa ratus tahun setelah masa nabi dan sahabat. Para ahli berpendapat bahwa ideologi itu muncul di era dinasti Abbasiyah (750 – 1258 M). Sebab, konsep geopolitik yang dikembangkan oleh para ulama pada masa itu, terjadi selama periode konflik dan peperangan terus-menerus antar kerajaan. Oleh karena itu, fatwa yang dikeluarkan disesuaikan dengan lingkungan sosial dan politik saat itu, yang tentu berbeda dari konteks damai kita saat ini.

Kita hidup dalam kenyataan yang jauh berbeda dari situasi konflik kerajaan masa lalu. Sistem negara-bangsa saat ini yang saling menjalin hubungan dan kerjasama, serta menyepakati hukum dan perjanjian internasional. Dengan demikian, hidup di negara Pancasila seperti kita saat ini, atau bahkan di negara non-muslim dan sekuler sekalipun, tidak merendahkan kehidupan seorang Muslim di sana. Beberapa sahabat di masa Nabi SAW dulu hidup dengan damai di Abyssinia, sebuah negara non-Muslim. Beberapa dari mereka memilih untuk tinggal di Abyssinia bahkan setelah Nabi bermigrasi ke Madinah dan mendirikan masyarakat Muslim.

Baca Juga  Hadratussyaikh KH Hasyim As’yari: Pendiri Ormas Islam Terbesar di Dunia

Islam adalah agama holistik yang mewajibkan kita untuk menyesuaikan diri dengan keadaan kita masing-masing. Dengan diizinkan melakukan ibadah khusus, dan menunaikan kewajiban dasar dan esensial agama, Indonesia adalah negara yang pantas kita cintai sebagai tanah air atau rumah kita yang aman. 

Faktanya, mayoritas Muslim di seluruh dunia hidup berdampingan dengan berbagai kelompok agama dan etnis secara damai dan percaya diri. Masyarakat Muslim telah banyak mengambil pelajaran dan inspirasi dari Piagam Madinah, yang mengkodifikasikan cara-cara untuk menyatukan orang-orang dari latar belakang dan suku yang berbeda untuk hidup bersama. Dapat dikatakan sama seperti konstitusi kita saat ini. 

Seperti Piagam Madinah, ada banyak negara saat ini menerapkan kebebasan untuk menjalankan agama dan mendorong warganya untuk hidup berdampingan secara damai dengan orang-orang dari agama yang berbeda. Ada begitu banyak upaya awal untuk mempromosikan pemahaman karena kita hidup dalam masyarakat multi-agama. Ini adalah bagian dari mengakui keragaman dalam ciptaan. 

Allah swt menciptakan kita semua dengan sangat berbeda (QS. Al-Hujurat: 13) Sebagai Muslim yang tindakannya dipandu oleh Al-Qur’an dan Sunnah, kita belajar untuk mempraktikkan rasa hormat terhadap perbedaan. Ini berarti kita tidak memaksakan pandangan dan agama kita kepada orang lain dan menghormati keyakinan mereka yang berbeda. 

Tinggal di negeri yang merdeka dan damai, dengan kebebasan untuk memeluk dan mempraktekkan ibadah kita, merupakan sebuah anugerah dan rahmat yang luar biasa. Untuk itu kita patut mensyukurinya dan berkontribusi untuk membentuk kehidupan yang indah di negeri kita. Kita harus sadar tentang pentingnya berpartisipasi dalam sistem negara dan politik modern, memberikan suara pada isu-isu sosial, kesehatan, lingkungan dan sebagainya. 

Kesimpulannya, kita perlu memberikan kesetiaan dan komitmen sebagai sebagai seorang Muslim dan sebagai warga negara. Mencintai Tanah Air Indonesia adalah cara terbaik untuk mensyukuri kemerdekaan. Di tanah yang merdeka inilah kita dapat menyebarkan pesan Islam dengan melakukan tanggung jawab sipil kita, menyebarkan kedamaian kepada orang lain, dan mempromosikan cinta dan kebaikan di tengah masyarakat. Sudah sepatutnya kita mencintai tempat yang dimerdekakan dan dibangun dengan jerih payah luar biasa generasi pendahulu kita. Dan kini tiba giliran kita untuk membangun dan memperindah kehidupan di negeri yang menjadi rumah kita sendiri ini.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.