Politisasi Kasus Herry Wirawan: Diklaim sebagai Syiah

KolomPolitisasi Kasus Herry Wirawan: Diklaim sebagai Syiah

Mengemukanya kasus kekerasan seksual terhadap puluhan santriwati di Bandung telah menyulut kecaman masif dari banyak pihak. Pelakunya adalah Herry Wirawan, sang pemilik dari lembaga pesantren terkait. Ia adalah pengelola Pondok Tahfiz al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani, dan Madani Boarding School Cibiru. Di tengah dinamika kasus tersebut, ada saja pihak yang menggiringnya menjadi isu politik golongan. HW disebut sebagai seorang Syiah, yang mendasarkan aksi pemerkosaan dan kekerasan seksualnya pada doktrin nikah mut’ah (pernikahan temporal). Tuduhan tersebut nampak sangat politis dan memuat propaganda kebencian.

Broadcast mengenai status Syiah pelaku kekerasan seksual tadi tersebar luas di platform seperti Whatsapp dan Facebook. Saya pribadi mendapatinya dari grup Whatsapp. Broadcast tadi disebut bermula dari warganet yang mengaku tetangga HW yang tinggal tak jauh dari lokasi pesantren. Apa yang disampaikan tak menyertakan data apapun selain asumsi yang nampak sangat menggiring opini dan sulit dipertanggungjawabkan.

Sedemikian buruk pandangan masyarakat atas Syiah, membuat segala tuduhan apapun atas mereka seolah tak perlu diklarifikasi. Ada semacam gejala, bahwa apapun perilaku tercela atau menyimpang seorang yang dikenal beragama, Syiah lah yang layak dijadikan kambing hitamnya. Seperti kasus Farid Okbah baru-baru ini, ia adalah tokoh yang lantang menentang Syiah, namun setelah terendus keterlibatannya dalam aktivitas terorisme dan ditangkap Densus 88, tiba-tiba saja ia diklaim sebagai penganut Syiah.

Tak ada data atau fakta yang menunjukkan keabsahan klaim ke-Syiah-an HW, selain pengakuan netizen yang sangat asumtif tadi. Dokumentasi digital yang menunjukkan ia tergabung dengan Syiah juga tak ditemukan. Salah satu ormas Syiah (Ahlul Bait Indonesia) pun telah merilis pernyataan, bahwa informasi yang beredar mengenai klaim Syiah atas HW dan pengajaran paham Syiah di pesantrennya adalah informasi yang tidak benar dan sangat merugikan.

Kebejatan HW yang telah berlangsung sejak 2016 itu baru terbongkar pada sekitar Mei 2021 dan ramai diperbincangkan pada awal Desember ini. Dalam pesan siaran yang disebarkan netizen tadi, dipersoalkan mengapa kasus yang telah lama terjadi dan bahkan para korbannya sampai melahirkan anak baru terungkap sekarang. Hal itu disebutnya karena doktrin nikah mut’ah yang diajarkan HW pada santriwatinya, sehingga para korban enggan melapor sebab mut’ah mendatangkan pahala besar.

Faktanya, HW memainkan relasi kuasa dalam aksi bejatnya. Para korban adalah anak-anak berumur kisaran 13-17 tahun. Dan mereka datang dari keluarga kurang mampu, sehingga mudah menerima tawaran pesantren gratis dari HW. Dalih keharusan taat pada guru dilakukannya untuk menekan para korban. Janji pembiayaan kuliah dan menikahi mereka digunakan sebagai modus rayuan. Para korban adalah anak-anak yang sangat rentan, yang secara posisi, mereka tak banyak memiliki kuasa dan ditekan oleh ancaman.

Selain diperkosa, mereka juga dipaksa menjadi kuli bangunan serta mengerjakan laporan administratif. Sungguh, HW dengan rapi dan percaya diri memborong nominasi kejahatan. Kasus itu baru diungkap ke publik setelah masuk persidangan, dikatakan karena mempertimbangkan para korban yang masih anak-anak dan kondisi mental mereka yang masih sangat kacau.

Apabila sang informan yang menyebarkan broadcast tadi memang tinggal berdekatan dengan pesantren yang bersangkutan dan mengetahui aksi bejat HW pada para santrinya, mengapa tidak melaporkannya sejak ia tahu. Mengapa pula baru menyebarkannya setalah kasus itu viral, yang dibumbui pula dengan isu sentimen mazhab.

Dari sini, kian terasa nuansa politisasi kasus HW. Memanfaatkan momentum untuk melancarkan propaganda kebencian atas Syiah. Bara kebencian pada Muslim Syiah bagaimanapun kian memanas. Sayang sekali, sentimen teologis seolah lebih memuaskan untuk dikonsumsi masyarakat ketimbang fokus pada persoalan kasus kekerasan seksual yang sangat biadab ini.

Baca Juga  Spirit Pesantren Melawan Hoaks

Tuduhan sebagai Syiah dan mengaitkan perilaku menyimpangnya dengan doktrin mut’ah itu sangat tendensius, rapuh, dan mengandung kecacatan logika. Mengapa demikian? Secara historis Rasulullah SAW pernah membolehkan nikah mut’ah. Pada perjalanannya, antara Sunni dan Syiah memang berlainan pendapat mengenai kebolehan mut’ah pasca Nabi wafat. Ini adalah persoalan perbedaan penafsiran di antara keduanya, yang masing-masing memiliki argumen dan pendasaran. Karenanya, jangan pernah melempar tuduhan sesat atau kafir hanya karena perkara fikih yang debatable.

Dengan demikian, tidak adil jika mengandalkan asumsi pribadi untuk menghakimi orang lain. Sebab itu, saya mencoba menggali pandangan Syiah terkait diskursus nikah mut’ah. Mengutip dari buku Syiah menurut Syiah—sebuah buku yang disusun untuk melawan berbagai tuduhan yang dialamatkan pada Muslim Syiah—disebutkan bahwa “Meyakini kehalalan nikah mut’ah tidak niscaya membenarkan setiap praktik nikah berjangka waktu secara serampangan tanpa memperhatikan dan mematuhi asas kemaslahatan, kepatuhan, asas-asas etika dan konteks yang berbeda-beda sesuai waktu serta tempatnya. Nikah mut’ah mubah, namun praktiknya harus memenuhi sejumlah syarat kemubahannya” (hlm. 171).

Dalam buku tersebut juga dijelaskan, bahwa nikah mut’ah bukanlah zina, mengingat Nabi pun pernah membolehkannya. Lebih lanjut, dengan menuduh mut’ah sebagai zina, sama halnya menyebut Nabi pernah menghalalkan zina. Adapun syarat-syarat mut’ah dalam tradisi Syiah, antara lain adalah adanya akad pernikahan (ijab kabul), artinya ada perjanjian yang mencerminkan kerelaan dari kedua belah pihak. Kemudian harus ada mahar, di mana jumlah dan nilainya merupakan hak pihak perempuan untuk menentukan. Beberapa konsekuensi hukum dari mut’ah juga serupa dengan nikah permanen (nikah daim), seperti dalam urusan mahram.

Dengan demikian, logikanya apabila aksi pemerkosaan HW terhadap para muridnya dianggap sebagai praktik mut’ah karena ia Syiah, maka apa yang terjadi antara HW dengan para korban dilakukan atas dasar kerelaan bersama dengan ijab kabul, karena dalam mut’ah ada syarat itu. Faktanya, para santriwati adalah korban yang dipaksa melayani nafsu seseorang yang punya kuasa atas mereka.

Kemudian, hubungan seksual yang dianggap dilakukan dengan asas rela artinya mengaggap para santriwati bukan sebagai korban pemerkosaan dan HW pun otomatis tak bersalah karena bukan pemerkosa. Padahal jelas, HW adalah kriminal yang harus dihukum. Di sinilah letak cacat logika dari tuduhan praktik mut’ah pada HW. Sederhananya, menganggap HW seorang Syiah yang bermut’ah sama halnya dengan menolak fakta kekerasan seksual dan pemerkosaan yang dilakukan HW.

Langgengnya propaganda kebencian terhadap Syiah tak lain adalah aksi pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Dari masa ke masa, Syiah memang tak pernah absen dari penindasan. Narasi kebencian pada mereka dipelihara oleh massa di tiap era. Dari kebencian itu pun rentan terjadi kekerasan terhadap sesama anak manusia.

Sunni dan Syiah adalah dua sayap yang ada dalam Islam. Kesemuanya adalah Muslim dengan pemahaman dan praktik fikih masing-masing. Perbedaan itu kekayaan yang harus kita hargai, bukan untuk dihujat atau dianggap sesat. Daripada berkutat pada pusaran kebencian teologis dan saling tuduh siapa yang sesat serta mendaku siapa yang paling benar, isu kekerasan dan kejahatan seksual lebih mendesak untuk diperhatikan. Jangan geser fokus perkara! Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.