Berteman dengan non-Muslim, Kenapa Tidak?

KolomBerteman dengan non-Muslim, Kenapa Tidak?

Islam menganjurkan pemeluknya untuk menata relasi baik dengan semua pihak tanpa pandang status apapun. Belakangan, uraian mengganjal terdengar dari ceramah Habib Muhammad bin Anies Shahab yang mempersoalkan ihwal pertemanan orang mukmin dengan non-Muslim. Ia menyebutkan, “Jangan berteman kecuali (dengan orang) mukmin. Kenapa? Karena berteman dengan non-Muslim itu pelan-pelan menggerus iman kita sama Allah, meskipun hanya berteman. Kalau bisnis tidak apa, asal setelah bisnis selesai, (ya) sudah”. Penggalan ini memperlihatkan cara pandang superior, namun penuh dengan ketidakpercayaan diri. 

Pernyataan itu seolah menyuruh kita menebalkan garis demarkasi antara umat Muslim dengan selainnya. Meminta warga Muslim mengisolasi diri dari pergaulan umum. Sebuah catatan mundur untuk cita-cita koeksistensi di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, siapapun tidak akan terima ditempatkan sebagai pemicu luruhnya iman seseorang. Menganggap pertemanan dengan non-Muslim sebagai ancaman bagi keyakinan, hanya akan membuat kita dikenang sebagai kaum otoriter yang gemar merendahkan. Jika hubungan jernih tak ditempa sejak awal antara pihak-pihak yang berlainan, maka yang terbentuk ialah sikap saling curiga yang menjauhkan dari pendulum harmoni.

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yang mesti dipertahankan adalah prinsip kesetaraan sebagai sesama manusia. Konsekuensinya ialah keterbukaan untuk membangun hubungan baik nan tulus dengan siapapun tanpa menyisipkan kalkulasi keyakinan. Tidak merasa terganggu dengan keyakinan orang lain yang berinteraksi dengan kita justru bukti kepercayaan diri atas apa yang kita yakini. Demikian adalah ekspresi perbuatan keimanan yang mesti ditampilkan di panggung sosial, sebab yang Islam tekankan adalah berkasih sayang pada seluruh makhluk dan menghadirkan rasa aman bagi sekeliling. Pendek kata, jangan jadikan wilayah akidah sebagai tolok ukur dalam bersosialisasi dengan manusia yang amat beragam ruang privat keyakinannya.

Yang tak kalah disayangkan, Habib Muhammad terkesan mendikotomikan laku kebaikan antara Muslim dan non-Muslim. Menurutnya, Muslim seburuk apapun tingkah laku dan akhlaknya, dia tetap (dinilai baik sebab) memiliki satu kebaikan terbesar yaitu iman. Sementara non-Muslim tetaplah dipandangnya buruk karena tidak mau dengan Tuhan umat Islam, sekalipun attitude mereka luar biasa mulia. Mengapresiasi sikap baik non-Muslim, seperti halnya kedermawanan, mau membuang sampah pada tempatnya, yang dibandingkan dengan sikap buruk orang Islam, bahkan dinilai menurunkan kadar keimanan seorang Muslim. 

Formula kebaikan di antara manusia itu sama, karena kita diciptakan setara dengan naluri organik yang sepadan. Ajaran Islam tidak sedangkal menyangkal kebaikan hanya karena dilakukan oleh seorang yang bukan Muslim. Manusia tidak berinteraksi satu sama lain dengan keimanan abstrak, melainkan yang bisa kita pahami adalah akhlak. Kita terkoneksi oleh pola perilaku. Maka dari itu, bukan masalah menjadikan akhlak luhur non-Muslim sebagai inspirasi sekalipun. Justru kita yang harus introspeksi diri,  bukan berlindung di balik klaim keimanan. Sudah benarkah keimanan itu, manakala sikap kita tak diakomodasi langkah bermoral?

Sikap akomodatif merupakan profil manusia beriman. Hal ini disinggung dalam sebuah riwayat, bahwa Hikmah adalah barang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja menemukannya, maka ia mengambilnya (HR. At-Tirmidzi). Melalui hadis ini, mukmin dicirikan sebagai pencari hikmah (kebijaksanaan). Ia tak segan mengambil kebaikan dari siapapun dan apapun. Dalam hal ini, mukmin sejati akan selalu mengakui serta tidak menutupi warna kebaikan dari non-Muslim sekalipun.

Baca Juga  Gus Baha: Menolak Rukhsah adalah Wujud Kesombongan

Secara historis, pergaulan dan kolaborasi dengan non-Muslim bukan sesuatu yang asing sejak masa Islam awal. Teladan luhur interaksi Nabi dengan non-Muslim diikuti oleh generasi penerusnya. Pada periode kekhilafahan, orang-orang non-Muslim bahkan masuk ke dalam lingkaran pemerintahan.

Nabi Muhammad sendiri terlibat secara energik dan aktif dalam merintis pluralisme keagamaan serta toleransi di tengah gelaran perbedaan. Kunjungan rombongan Kristen Najran ke masjid Nabawi atas undangan Nabi Muhammad adalah contoh penting dari interaksi antarumat beriman. Terhitung sekitar 60 orang Nasrani yang 45 di antaranya adalah para sarjana Kristen dijamu hangat oleh Nabi dan para sahabatnya. Secara terbuka, kalangan Muslim dan golongan Kristen mendialogkan perihal agama, politik, hingga pemerintahan. Banyak hal-hal yang disepakati bersama, dan ada pula hal yang mereka sepakat untuk tidak bersepakat, yakni urusan teologis. Kesimpulan mereka adalah saling menghormati.

Nabi menampilkan performance yang memukau. Saat delegasi Kristen itu pamit undur diri untuk menjalankan kebaktian, Rasulullah bergegas membuka pintu masjidnya agar mereka dapat beribadah dengan nyaman dan aman di sana. Beliau juga menyediakan  tempat menginap untuk mereka di dekat kediamannya. Kita bisa saksikan, Nabi tak hanya melegalkan pertemanan dengan non-Muslim, beliau bahkan secara ‘radikal’ menegaskan agar kita bersikap baik dengan gerak-gerak penghormatan dan pelayanan. Rombongan diplomatik itu pulang membawa serta garansi, bahwa Nabi akan melindungi nyawa, harta, dan kebebasan mereka untuk menjalankan nurani serta untuk meraih kebahagiaan. Rasulullah pada hari itu membangun jembatan damai yang autentik antara dua komunitas keagamaan.

Syahdan, jauh sebelum Islam mendapat lahan yang mapan, Rasulullah pernah meminta suaka politik kepada raja Kristen di Abyssinia. Sejumlah sahabat Nabi pun diperintah berhijrah ke negeri yang dikuasai seorang raja Nasrani tersebut untuk meminta perlindungan kepadanya dari kekejaman kafir Quraisy. Tindakan Nabi ini didorong oleh rasa percaya beliau karena sang raja dikenal seorang yang baik dan bijaksana. Dalam hal ini, selaku pemohon tentu umat Muslim saat itu ada di posisi lemah yang secara logika rentan ditekan oleh raja Kristen tadi. Namun, Nabi yakin bahwa akhlak baik sang raja adalah bagian dari jaminan yang bisa dipercaya. Lebih lanjut, artinya interaksi manusiawi dengan non-Muslim bukan pemicu lemah iman. Karena toh Nabi bahkan memercayakan para sahabatnya untuk berada dalam naungan perlindungan sang penguasa Kristen.
Permintaan Islam sebetulnya sederhana, agar kita merangkai jalinan persaudaraan kemanusiaan yang berfokus pada kesamaan, bukan sibuk dengan sentimen perbedaan. Letakkan keimanan privat pada ruang yang lain. Adalah urusan diri kita untuk mengelolanya dan wewenang Tuhan untuk menilainya. Jika akidah yang ditempatkan sebagai timbangan hubungan manusiawi, yang timbul adalah asumsi ganjil yang akan menggiring menuju sikap menghakimi dan egois, alih-alih panorama kreatif dan harmonis yang diharapkan adanya dari kolaborasi kaum-kaum yang berbeda. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.