Mimbar Agama, dari Masjid ke Medsos

KolomMimbar Agama, dari Masjid ke Medsos

Era digital sangat penting untuk membentuk kembali otoritas keagamaan di kalangan umat Islam saat ini. Media massa internet, seperti medsos, telah mengubah cara penyebaran ajaran agama. Bahkan perdebatan agama begitu mudah diproyeksikan dan direplikasi ke khalayak luas melalui media sosial. Dua ratus tahun yang lalu, para ulama mulai menulis kitab, risalah, dan makalah yang ditujukan kepada massa Muslim yang melek huruf melalui media cetak, atau berbicara didepan jamaah melalui halaqah dan mimbar di masjid. Saat ini, umat Islam berkembang melalui media massa digital dan mengandalkan internet sebagai sumber pengetahuan. 

Di era digital, multimedia telah menjadi norma. Siapa pun sekarang dapat memublikasikan dan memproyeksikan pandangan mereka, serta mendapat pengakuan publik. Siapa saja dapat mengklaim berbicara atas nama Islam, mengeluarkan “fatwa”, memberikan nasihat, dan memberikan konseling atau bimbingan spiritual. 

Banyaknya pengikut berbagai tokoh agama dengan corak keislaman yang berbeda-beda, menunjukkan adanya pasar yang kompetitif untuk ide-ide keagamaan. Debat dan kontroversi agama sekarang mudah menjalar melalui media sosial karena kekuatannya menjangkau ribuan orang lebih banyak daripada melalui metode tatap muka yang lebih tradisional. Dorongan untuk akses massa ini telah menciptakan ruang publik keagamaan global, yang dipenuhi ketidaksepakatan ilmiah dan non-ilmiah.

Kuntowijoyo memotret fenomena “Muslim Tanpa Masjid”, yakni kebangkitan generasi muslim perkotaan yang memperkaya pengetahuan agama melalui media sosial, yang serba selintas, instan, tergesa-gesa, dan cenderung reduktif. Tema-tema keagamaan didiskusikan bukan dengan kitab dan pengkajian memadai, tapi lewat postingan singkat dan percakapan tokoh agama di media sosial. 

Argumen agama yang muncul dalam ruang media sosial, seringkali, kehilangan konteks waktu dan tempat, yang sebenarnya penting dalam berbicara tentang “Islam”.  Pernyataan agama sering muncul secara global, seolah-olah berlaku di manapun dan kapanpun, dalam ukuran satu kali suapan yang bisa langsung ditelan.

Baca Juga  Bung Karno dan Cita-Cita Kebangsaan

Mimbar agama internet dan syaikh Google, memang tidak beraturan, random, dan tidak memiliki standar penafsiran dan pemahaman teks agama yang disepakati. Semua perbedaan akan menjadi subjektivitas belaka, mereduksi segalanya menjadi narsisme yang dimanifestasikan sebagai ikhtilaf yang sepele.

Internet tentu bukanlah jalan pintas untuk keluar dari krisis agama. Kondisi nyata otoritarianisme di dunia Muslim, perang melawan teror, dan konservatisme intelektual, adalah masalah kita yang berpindah dari dunia nyata ke dunia internet yang tidak terbatas. Namun, langkah terpenting untuk membuka potensi umat Islam online adalah dengan mengenali kreativitas kolaboratif yang sangat memungkinkan di era digital ini.

Maka dari itu, kolaborasi kreatif antara ulama, pakar, intelektual, dan publik Muslim akan mendorong proses sosial, intelektual, ijma dan ijtihad menjadi dinamis, relevan, dan dapat disempurnakan tanpa batas di internet. Hal ini tentu memberikan kemungkinan masa depan yang lebih baik bagi Islam online, sesuai dengan sifatnya yang tidak bermasjid. 

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.