Cita-cita Umat Islam dalam Kacamata Gus Dur

KhazanahCita-cita Umat Islam dalam Kacamata Gus Dur

Gus Dur melihat ada dua kecenderungan utama umat Muslim. Satu pihak adalah kaum Muslim yang menjadi suatu gerakan Islam, dan di pihak lain merupakan warga yang ingin menjadi Muslim sipil di tempat tinggalnya, tanpa tergabung dalam gerakan apapun. Masing-masing memiliki cita-cita yang menurut Gus Dur mesti direpresentasikan secara mendalam, menyesuaikan kenyataan atas dua kecenderungan besar umat itu sendiri.

Gerakan-gerakan kaum Muslim ini terbentuk dalam banyak warna ideologi dan bentuk. Ada yang beroperasi di ranah lokal, nasional, hingga internasional. Sebut saja, di antara gerakan itu adalah Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Laskar Jihad, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Persis, dan banyak lagi yang lain. Gus Dur menegaskan, karena karakter berbagai gerakan itu yang sangat heterogen, maka tak ada satu pihak pun yang bisa mengklaim sebagai “perwakilan Islam” di mana pun.

Sebab itu, otoritas penuh melalui kesatuan lembaga-lembaga keagamaan dengan sendirinya adalah hal mustahil. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi satu gambaran yang diketengahkan Gus Dur. MUI, sebuah lembaga yang berupaya merepresentasikan kaum Muslim atau ulama sebetulnya tidak memiliki supremasi. Tidak ada otoritas penuh yang bisa diklaim MUI. Lembaga ini mesti berbagi ruang dengan NU, Muhammadiyah, dan gerakan Islam lain, setidaknya dalam konteks arus wacana sikap keberagamaan masyarakat. Atas dasar ini, hanya hal-hal yang disepakati secara kolektif oleh berbagai perkumpulan atau gerakan itu, yang bisa dianggap sebagai nilai-nilai yang diterima umat secara umum.

Pada saat Inul dan goyang ngebornya mengemuka, Rois Syuriah NU cabang Pasuruan mengecamnya karena dinilai bertentangan dengan ketentuan agama Islam. Disusul kemudian keluar fatwa MUI daerah setempat. Muncul banyak reaksi dari masyarakat umum, yang di antara mereka mempertanyakan, sekiranya untuk apa dua lembaga di atas sejauh itu ‘mengurus Inul’? Kalangan muda santri pun juga menertawakan ketika H. Rhoma Irama bereaksi dengan melarang lagu-lagunya dibawakan oleh Inul.

Gus Dur melihat, bahwa masyarakat kemudian mengembangkan pandangan mereka sendiri dalam menyikapi kejadian ini. Jawaban Inul ketika diwawancara, bahwa ia bergoyang ngebor karena untuk mencari makan, terasa tulus dan jujur bagi yang mendengarkan. Ia tidak berapologi atau memoles jawabannya supaya nampak “wah” dan bisa menyelamatkan harga dirinya. Inul semata-mata berterus terang melakukannya untuk keperluan dapur. Bukan jawaban politis yang muluk-muluk dan palsu dalam perilaku.

Wajar saja jika kemudian kritik atau pendapat berbagai pihak atas aksi ngebor Inul itu tak mendapat respons berarti dari kalangan Muslim sendiri. Yang hendak digarisbawahi Gus Dur adalah, bahwa pendapat mereka, berbagai institusi dan gerakan Islam itu pada akhirnya memiliki pengaruh yang amat terbatas. H. Rhoma Irama yang mengancam bakal mengerahkan sejumlah organisasi ekstrem Islam untuk melawan Inul, menurut pandangan Gus Dur sangatlah keterlaluan, sebuah tindakan yang membahayakan keselamatan hidup kita sekalian sebagai bangsa.

Baca Juga  Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga

Dalam rangka mengubah moralitas masyarakat, Gus Dur menekankan sikap sabar agar upaya perbaikan moral itu sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang diyakini kebenarannya. Memberikan teladan adalah wahana utama dalam kerja-kerja pembentukan moralitas masyarakat. Tingginya kemajemukan masyarakat harus menjadi kesadaran bersama. Jika tidak, seseorang, tokoh agama hingga perkumpulan Islam akan mudah memaksakan paham atau kehendak kepada orang lain. Yang jika tak diiyakan akan bereaksi penuh emosi.

Sikap memaksa pada akhirnya akan menjurus pada formalisme atau cara serba resmi yang besar kemungkinan banyak yang tak menyetujuinya. Dalam istilah Gus Dur, cara demikian akan mengarah pada “terorisme moralitas”. Perilaku memaksa dan menghakimi moral mengandung daya dampak merusak yang tak kalah besar dari peledakan bom Bali. Kerusakan harmoni, kekacauan kondisi masyarakat adalah ancaman yang jelas dari aksi teror moral.

Dua kelompok umat Muslim di atas yang membawa dua corak cita-cita itu mesti diperhatikan. Antara kehendak umat Muslim yang tak tergabung dalam gerakan atau perkumpulan apapun, serta cita-cita kalangan gerakan Islam. Oleh Gus Dur ditegaskan, tanpa adanya atensi pada perbedaan ini, maka apa yang kita nilai penting, tak terlalu diperhatikan oleh kalangan Muslim yang lain. Pada gilirannya, umat Muslim akan kehilangan sentuhan hubungan satu sama lain.

Para pendiri bangsa yang tidak mendirikan negeri ini sebagai negara agama telah mengambil keputusan yang berdampak jauh dan mesti disadari konsekuensinya. Artinya, ketika negara ini bukan berdasar agama, memisah dalam kadar tertentu agama dari negara, maka bukan syariat Islam yang berlaku dalam sistem hukum nasional. Dasar pembentukan hukum kita mengacu pada tata cara kolektif keseharian sebagai suatu bangsa yang bukan berdasar agama.

Namun, internalisasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional juga telah nyata adanya. Ini menunjukkan, tidak mengambil langkah positivisasi syariat Islam bukan berarti anti pada kontribusi ajaran agama dalam sistem hukum negara. Cita-cita yang mesti diperjuangkan adalah perbaikan moralitas kolektif, bukan keinginan sepihak terhadap formalisme hukum Islam yang akan membawa konsekuensi segregatif umat. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.