Mendoakan Lawan, Sunnah Nabi yang Terlupakan

KhazanahHadisMendoakan Lawan, Sunnah Nabi yang Terlupakan

Di dalam sunnahnya, Nabi SAW berdoa kepada Allah untuk membimbing lawan, oposisi, dan musuh-musuhnya dalam dakwah dan kehidupan sosial. Nabi Muhammad SAW meminta Allah SAW untuk memberikan petunjuk dan hidayah-Nya bagi orang-orang, walaupun mereka adalah orang-orang kafir, pendosa, atau penindas. Tidak diragukan lagi, mendoakan orang yang memusuhi kita merupakan bagian dari Sunnah Nabi yang penting. Bahkan saat para sahabat meminta Rasulullah SAW untuk mengutuk kaum musyrik, Beliau bersabda, Sesungguhnya aku diutus bukan untuk melaknat, melainkan aku diutus hanya sebagai rahmat. (HR. Muslim) 

Masyarakat Muslim sering saling mendoakan, terutama dalam wirid selepas shalat. Namun sedikit yang menyadari bahwa doa kita semestinya tidak terbatas pada kerabat, saudara dan umat Islam saja. Kita juga perlu memohon bimbingan dan pengampunan bagi masyarakat umum, bahkan orang yang suka memusuhi kita. Sebab, kita berdoa kepada Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Penyayang, tidak ada yang dapat membatasi ampunan dan rahmat-Nya. Para malaikat pun berkeliaran di bumi untuk memohon pengampunan bagi semua orang.

Allah berfirman, Dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Penyayang. (QS. Asy-Syura: 5)

Sudah menjadi praktik para Nabi SAW  untuk berdoa bagi penindas mereka, meskipun mereka dalam keadaan menderita luka fisik dan rasa sakit. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan, “Aku melihat Rasulullah SAW menceritakan kisah seorang nabi yang dipukuli oleh kaumnya hingga cedera dan berdarah. Kemudian dia menyeka darah dari wajahnya sambil berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah kaumku. karena mereka tidak tahu.” (HR. Bukhari)

Para Nabi tidak sekedar mendoakan kebaikan untuk orang yang menganiaya mereka, tetapi juga memberikan maaf dan berbelas kasih kepada mereka yang tidak mengetahui hakikat kebenaran. Inilah potret dari puncak kesabaran dan kelembutan para Nabi yang diharapkan menjadi contoh bagi umat manusia, khususnya umat Islam. 

Nabi Muhammad SAW sendiri mengucapkan serupa, memohonkan ampun untuk orang-orang yang memusuhinya, setelah diserang dan dilukai dalam perang Uhud. Beliau bersabda, Ya Allah, ampunilah umatku karena mereka tidak tahu. (HR. Ibnu Hibban). Bahkan dalam insiden penganiayaan Nabi SAW di Thaif yang amat menyakiti fisik dan batinnya, Nabi SAW lebih memilih untuk berdoa memohonkan ampunan dan petunjuk bagi orang-orang Thaif, daripada menimpakan balasan kekerasan yang siap dijatuhkan para Malaikat. 

Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan ketaatan Nabi terhadap nilai-nilai etika meskipun mengalami perlakuan buruk bahkan menyakitkan. Pada beberapa konteks lain, para sahabat mencoba meminta Nabi untuk mendoakan keburukan bagi para oposisi dan penghianat mereka. Tetapi Beliau menolak untuk berdoa mengutuk mengutuk musuh-musuhnya, dengan harapan bahwa suatu hari mereka akan melihat cahaya hidayah.

Abu Huraira meriwayatkan bahwa, At-Thufail dan para sahabat lainnya mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya suku Daus telah kafir dan membangkang. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah agar mereka mendapatkan kecelakaan”. Salah seorang diantara mereka berkata, “Binasalah suku Daus!” Tetapi Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kabilah Daus dan kembalikanlah mereka kepadaku!” (HR. Muslim) 

Baca Juga  Hati Nurani adalah Kompas Moral

Dalam salah satu contoh paling terkenal, Nabi berdoa kepada Allah untuk membimbing Umar Ibn Al-Khattab, yang pada saat itu adalah musuh Islam yang kuat. Beliau berdoa, Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang yang lebih Engkau cintai dari kedua laki-laki ini, Abu Jahal atau Umar bin Al-Khaththab.” Sang perawi mengatakan, ternyata yang lebih dicintai oleh Allah adalah Umar. (HR. Tirmidzi)  Karena doa Nabi tersebut, Umar bin Al-Khattab  akhirnya menjadi salah satu Muslim awal paling berpengaruh dan panutan bagi masyarakat Muslim.

Pada dasarnya, sikap enggan atau menolak untuk mendoakan kepentingan orang lain, seringkali dipengaruhi penyakit hati seperti kebencian dan kedengkian. Obat untuk penyakit ini adalah melakukan hal yang sebaliknya. Saat kita mulai tersulut untuk mengutuk, melaknat, atau balas dendam, maka kita harus segera merespon dengan berdoa untuk kebaikan dan hidayah.

Imam Al-Ghazali mengajarkan kita untuk ‘Menjadi hakim bagi ego’. dalam kitabnya Ihya Ulum ad-Din (j. 3, h. 199) ia menulis, Untuk segala sesuatu yang membawa kedengkian dalam ucapan dan perbuatan, dia harus mewajibkan dirinya untuk melakukan kebalikannya. Jika dengki memaksanya untuk meremehkan orang yang membuatnya iri, maka dia harus mewajibkan lidahnya untuk memuji dan menghargainya. Jika rasa dengki memaksanya untuk bersikap angkuh kepada seseorang, maka hendaknya ia menuntut dirinya untuk rendah hati di hadapannya dan meminta maaf kepadanya… Ini adalah obat kedengkian hati dan itu sangat bermanfaat, meskipun sangat pahit bagi hati. Sebaliknya, kesembuhan ada dalam obat yang pahit.”

Memang tidak dipungkiri lagi, mendoakan orang yang telah mendzalimi kita adalah obat yang sulit dan pahit untuk ditelan. Namun, langkah demikian itu sebenarnya demi kebaikan kita sendiri. bagaimanapun, kebencian di hati kita lebih berbahaya bagi diri kita sendiri daripada doa-doa terhadap mereka.

Walhasil, kita juga mesti memahami bahwa berdoa untuk orang lain, pada kenyataannya, adalah berdoa untuk diri kita sendiri. Di antara hak-hak persaudaraan adalah mendoakan orang lain dengan doa yang sama seperti berdoa diri sendiri. Bahkan saudara-saudara kita yang tersesat, yang mungkin sedang kehilangan arah dan tersandung, mereka layak untuk kita doakan agar Allah SWT membimbing mereka kembali, sama seperti kita juga yang tentu berharap didoakan orang lain ketika sedang tersesat. Mendoakan lawan, musuh, dan orang yang tidak memperlakukan kita dengan baik, penting untuk ketenangan dan kedamaian hati kita sendiri. Inilah sunnah Nabi SAW yang berharga.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.