Peran Non-Arab Bagi Kemajuan Islam

KhazanahPeran Non-Arab Bagi Kemajuan Islam

Orang Arab memainkan peran yang sangat penting dalam keilmuan Islam, terutama pada periode awal, saat sebagian besar Muslim adalah orang Arab. Seiring berjalannya waktu, bangsa non-Arab menjadi bagian besar di dunia Islam. Islam mengajarkan bahwa ketakwaan dan ilmulah yang menentukan kedudukan seorang, bukan ras, suku atau kebangsaanya. Islam memberikan kesempatan bagi siapa saja, latar belakang masyarakat manapun, untuk berkontribusi pada pengetahuan Islam.

Para penyusun dari enam kitab hadits utama umat Islam, misalnya, adalah tokoh-tokoh non-Arab. Dan hampir setengah dari perawi hadis-hadis di dalamnya adalah mawali, yaitu kelompok masyarakat non-arab dan mantan budakIni menunjukkan bahwa menjadi mantan budak atau non-Arab tidak menghalangi seseorang untuk memainkan peran penting dalam melestarikan sunnah, sumber utama kedua Islam. 

Karena mengikuti ajaran al-Quran dan akhlak Nabi SAW, para Muslim di era awal senang membebaskan budak-budak mereka, terutama budak yang telah menjadi Muslim. Maka dari itu, tidak heran sebagian besar Muslim baru dari kalangan mawali adalah mantan budak beserta anak-anaknya.

Ikrimah Mawla Ibn Abbas (w.723), Thawus bin Kaysan (w. 723), Sulaiman bin Yasar (w. 725), Hasan al-Bashri (w.728), Muhammad bin Sirrin (w.729), Atha bin Abi Rabaah (w. 733), Nafiʿ Mawla bin Umar (w.726), Abdallah bin Mubarak (w. 797), Abu Hanifa (w. 767), dan Sibawaih (w.796), merupakan sederet nama besar ulama, ahli hukum, dan pakar keilmuan Islam yang dilahirkan dari kalangan mawali, yang berdarah non-arab atau mantan budak. Tidak diragukan lagi, ulama non-Arab sangat banyak, dan pengaruh mereka sangat besar.

Pada abad ke-7, ketika banyak orang dari luar Jazirah Arab mulai menerima Islam, orang-orang non-Arab diintegrasikan ke dalam jalinan masyarakat Muslim Arab menggunakan sistem afiliasi, yang disebut  mawali. Seorang mualaf non-Arab akan dilindungi oleh Muslim Arab di bawah ikatan mawali. Hal ini merupakan fase transisi penting dari sistem kesukuan jahiliyah menuju aturan kesetaraan dan keadilan sosial dalam Islam.

Perubahan itu tidak terjadi dalam sekejap, melainkan melalui proses yang bertahap. Di dalam disertasi Prof. Elizabeth Urban, yang berjudul The Early Islamic Mawali (2012: 114–17), diterangkan bahwa sistem mawali di masa Dinasti Umayyah digunakan sebagai alat politik, dan masih mempertahankan sebagian sistem kesukuan lama. Orang-orang non-Arab yang masuk Islam semuanya disebut sebagai mawali. Namun, meskipun mereka Muslim, status mereka lebih rendah daripada Muslim Arab. Hal ini menimbulkan perdebatan karena bertentangan dengan penegasan al-Quran bahwa semua Muslim itu sama. Hingga pada pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, undang-undang yang mendiskriminasikan mawali pun berakhir.

Sejarah Mawali terus berlanjut. Ketika Abbasiyah mengambil alih kekhalifahan, mereka segera menghapus sisa-sisa kebijakan yang membedakan antara Arab dan mawali, sehingga mereka tidak lagi dianggap sebagai kelas masyarakat yang lebih rendah. Mereka mencapai kesetaraan sosial, pendidikan, dan ekonomi. Gagasan bahwa orang-orang Arab lebih unggul daripada orang-orang non-Arab pun mendapat kritik luas dan mulai ditinggalkan.

Baca Juga  Kang Jalal Imam Kita

Peran non-Arab di semua bidang kehidupan, berkembang di bawah Abbasiyah. Dalam Muqaddimat Ibn Khaldun (2004, 2:361) Ibn Khaldun menuliskan, “orang-orang yang membawa pengetahuan dalam tradisi Islam sebagian besar adalah non-Arab”. Tidak dipungkiri bahwa banyak juru tulis pemerintah Abbasiyah adalah orang Persia, yang dikenal sebagai kuttab, mereka memainkan peran penting dalam masyarakat dan memiliki pengaruh politik dan sosial yang cukup besar. 

Dengan demikian Mawali cepat menjadi mayoritas signifikan di bidang keilmuan dan politik Islam. Menurut Ibn Khaldun (2:361), salah satu faktornya adalah karena banyak orang yang masuk Islam berasal dari daerah-daerah masyarakat terdidik dan mahir baca-tulis. Selain itu, banyak dari para sahabat pergi ke bagian lain dunia Muslim, untuk memimpin tentara atau memegang posisi politik. Sehingga pada akhirnya, kaum mawali yang melangkah dan memainkan peran dalam pembentukan ilmu-ilmu Islam.

Para Mawali, non-Arab dan mantan budak, terbukti sebagai Muslim sejati yang setia kepada pemimpin dan keilmuan Islam. Para mawali sebagian besar mulai mahir berkomunikasi dengan bahasa Arab, menikah dengan orang Arab, dan menjadi tokoh besar dalam bisnis, keilmuan, dan masyarakat. Seiring berjalannya periode Abbasiyah, Arab dan non-Arab tidak lagi dianggap sebagai perbedaan etnis atau kesukuan. Budaya Islam menjadi identitas bersama semua orang, dengan bahasa Arab menjadi bahasa ibu jutaan orang dan bahasa istana kerajaan dan para sarjana. 

Seiring perkembangan sejarah Islam, orang non-arab dan mantan budak memiliki dampak yang tak terbantahkan atas tradisi Islam ilmiah. Mereka berkontribusi pada fikih, hadits, tafsir, teologi, dan tata bahasa Arab. Itu semua dapat terjadi terutama karena seruan Islam atas kesetaraan dan keadilan, yang menciptakan lingkungan agar setiap orang dapat berkontribusi pada pengetahuan, terlepas dari ras atau status sosial.

Pada dasarnya, Islam menentang sistem kesukuan dan diskriminasi. Ajaran Islam menegaskan bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Setiap muslim harus membela keadilan bahkan jika itu melawan kerabat terdekatnya, misalnya, seperti yang disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 135. Al-Quran dan Sunnah melembagakan suatu tatanan yang menerapkan keadilan dan hak-hak dasar dimiliki oleh semua oran, dengan latar belakang agama atau suku manapun.

Saat ini sistem Mawali sudah tidak berlaku lagi. Setiap Muslim, arab maupun non-arab, sama sekali tidak perlu dibeda-bedakan lagi. Kita semua memiliki derajat dan kemuliaan yang sama di dalam Islam. Oleh sebab itu, untuk menjadi seorang Muslim sejati, kita tidak perlu lagi mengidentikkan diri sebagai orang arab. Hal terpenting dalam menunjukkan keislaman kita ialah dengan kontribusi positif kita pada keadilan dan kesejahteraan sosial.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.