Islamisme dan Basa-basi Demokrasi

Dunia IslamIslamisme dan Basa-basi Demokrasi

Demokrasi menjadi pembicaraan melekat dalam struktur pergerakan Islamisme (Islam politik). Suara nyaring pasukan Islam politik yang mengutuk demokrasi sebagai produk Barat sekuler, mendakwanya sebagai sistem kafir, sebetulnya telah menunjukkan maksud batin paling pokok dari sikap para Islamis terhadap demokrasi. Namun, perkembangan modus operandi Islamis yang menganjurkan partisipasi dalam proses demokrasi, memunculkan tantangan baru untuk mencermati, apakah anjuran itu adalah sebentuk penyesuaian diri Islamisme terhadap demokrasi atau sekadar basa-basi partisipatoris terhadap demokrasi belaka.

Peralihan taktik semacam itu yang membuat pembedaan antara gerakan Islamisme institusional serta Islamisme jihadis menjadi penting. Antara Islamisme institusional dan jihadis, berlainan dalam cara meraih kekuasaan, tapi keduanya tak pernah bercerai dalam hal pandangan tatanan dunia dan tujuan sistemik menciptakan negara syariat Islam versi mereka. Pengabaian terhadap perbedaan yang cukup samar ini akan berimbas pada miskonsepsi, polarisasi fatal, hingga dukungan tanpa sadar terhadap aktivisme Islam politik yang oleh Hannah Arendt dipetakan sebagai gerakan totaliter.

Yang tak jeli membedakan dua pola gerakan itu, akan terjun pada setidaknya dua pilihan, yaitu generalisasi atau miskonsepsi. Bassam Tibi dalam Islam dan Islamisme menceritakan, bahwa pemerintahan Obama menggeser perbedaan antara Islamis institusional dan jihadis menjadi “Muslim moderat” serta “teroris” tak bernama. Ketiadaan aksi kekerasan dari gerakan Islamis institusional begitu saja dinilai moderat, sementara itu “Muslim moderat” tetap mempromosikan nilai-nilai yang bertentangan dengan standar progresif dari kebebasan, toleransi, dan kesetaraan. Pendekatan ini pun dimanfaatkan pemerintahan Obama untuk menjustifikasi kerja sama dengan para Islamis institusional atau disebutnya “Muslim moderat”. Lebih jauh, istilah jihadisme dan Islamisme dihindarinya, tak dijadikan rujukan untuk menguatkan pembenaran kerja sama dengan kalangan Islamis tadi.

Ambisi Amerika untuk mendemokratisasi Timur Tengah dengan menjadikan kalangan Islamis sebagai sekutu terlihat seperti pragmatisme, permainan banyak kaki AS demi mencapai tujuan politiknya semata. AS tak belajar dari pengalaman silam, di mana dukungannya untuk mujahidin Islamis Afghanistan pada 1980-an melawan Soviet adalah kesalahan fatal pemicu lahirnya Taliban dengan polarisasi panjangnya hingga kini. Setelah peristiwa 9/11, “perang melawan teror” yang digencarkan pemerintahan Bush untuk memerangi Islamis yang dulu ia disokong, merupakan bencana yang kemudian menempatkan hampir semua Muslim dicurigai sebagai pendukung terorisme, namun proyek itu gagal menangani jihadisme teror. Inilah bagian dari wajah kesembronoan dan hipokrisi Amerika.

Islamis institusional beredar pada orbit demokrasi dalam bentuk partai politik. Namun, komitmen mereka terhadap demokratisasi berakhir di hadapan kotak suara. Sebagaimana mereka memperlakukan modernitas secara dua kaki, menolak nilai-nilai kultural modernitas namun memanfaatkan berbagai prosedur modern, Islamis institusional juga bersikap serupa terhadap demokrasi. Oleh mereka, demokrasi direduksi menjadi proses instrumental semata. Mereka menerima pemilu dan mekanisme voting, namun abai pada aspek yang lebih krusial dari demokrasi yaitu pembagian kekuasaan serta pluralisme demokratis. Budaya politik sipil dan filsafat politik ditolak, sebab dianggap bersifat Barat yang tak dikenal oleh Islam.

Baca Juga  Nur Rofiah: Pentingnya Alternatif Penafsiran Bagi Perempuan

AKP merupakan contoh representatif dari Islamis institusional. Partai Islam di Turki ini berjalan tanpa milisi, tak seperti Hamas di Palestina ataupun Hizbullah di Lebanon yang memelihara para milisi mereka. Selaku partai penguasa, AKP membawa Turki yang pernah menjadi model bagi demokrasi sekuler di dunia Islam, menuju desekularisasi serta de-Westernisasi. AKP disinyalir menjalankan agenda berupa “Islamisasi merayap”. Tuduhan itu disampaikan jaksa penuntut umum dalam sidang pengadilan konstitusional Turki pada 2008. Tibi menyebut, rancangan konstitusi baru pada 2010 yang mengubah mahkamah konstitusi hingga restrukturisasi seluruh peradilan demi kepentingan AKP adalah tanggapan atas sangkaan jaksa di pengadilan di tahun 2008, yang justru kian menegaskan politik “Islamisasi merayap” AKP atas republik Turki.

Seorang analis Turki-Amerika, Zeyno Baran, yang dinukil Tibi, menulis tentang “Islamisasi merayap” Turki sebagai suatu agenda desekularisasi berkelanjutan yang berkamuflase sebagai demokratisasi. Baran mencatat, “Kian banyak bukti yang mengarah bahwa pemimpin AKP menggunakan lembaga negara untuk membentuk opini publik yang mendukung Islamisme. Secara statistik ada penurunan drastis dalam hal keseteraan gender dan penghormatan terhadap minoritas etnis serta agama yang nampaknya menguatkan kekhawatiran para Kemalis mengenai erosi atas batas antara agama dan kehidupan publik–dan dengan itu melemahnya demokrasi sekuler” (Islam dan Islamisme, 2016: 129).

Dokumentasi Baran menunjukkan, Islamisme secara ideologi dan gerakan berpengaruh pada penurunan kualitas kehidupan sipil seperti anjloknya penghormatan pada minoritas hingga keadilan gender. Urat otoriter Islamisme secara perlahan ditampakkan melalui kebijakan yang penuh selubung. Masuk akal untuk mempertanyakan komitmen murni kalangan Islamis institusional atas demokrasi. Pernyataan pemimpin AKP yang terekam dalam Der Spiegel berbunyi, “Demokrasi itu seperti kereta api. Kita menaikinya dan turun ketika mencapai stasiun tujuan kita” (Islam dan Islamisme, 2016: 131). Ungkapan yang terdengar seperti pengakuan untuk sebuah pragmatisme memanfaatkan demokrasi.

Keberadaan kelompok Islamis institusional yang tak bergerak dengan kekerasan ini tak bisa diabaikan tanpa catatan. Mereka absah berpartisipasi, tak ada yang bisa menyangkal hak keterlibatan mereka dalam iklim demokrasi. Tapi, distingsi antara keterlibatan serta pemberdayaan mesti digarisbawahi ketika menyandingkan Islamisme institusional dengan gagasan demokrasi.

Dalam kapasitas instrumental-elektoral, Islamis institusional memang mengambil sikap akomodatif terhadap demokrasi. Namun jati dirinya menolak kultur politik sipil dan nilai-nilai politik demokratis yang paling mendasar. Ketika tujuannya telah di tangan, suara asli mereka yang tak acuh pada jantung nilai demokrasi akan semakin nyata terdengar. Ide tentang “Islamisme moderat” merupakan ilusi yang berangkat dari dugaan bahwa Islamisme institusional adalah gerakan pro-demokrasi. Pemerintahan Islamis tak akan memperhatikan pembagian kekuasaan apapun. Mereka hanya mengganti otoritarianisme sekuler menjadi totalitarianisme religius. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.