Ibu Kandung dan Ibu Sambung dalam Al-Qur’an

KhazanahHikmahIbu Kandung dan Ibu Sambung dalam Al-Qur'an

Al-Quran beberapa kali mengutip tentang kisah perempuan, terutama ialah kisah para ibu. Al-Quran menghadirkan tokoh ibu dengan hampir semua konteks tantangan keibuan yang mungkin dialami wanita, seperti Ibu kandung, ibu yang memiliki suami, ibu angkat, dan ibu tunggal. Di antaranya, kisah dua ibu Musa, ibu kandung dan ibu sambung, yang dikenal dalam beberapa literatur tafsir bernama Yuhanidz dan Asiyah.

Ibu kandung Musa as. mewakili salah satu karakter ibu paling dramatis dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan hubungan antara anak seseorang, iman kepada Tuhan, dan kepercayaan pada rencana ilahi. 

Di dalam al-Quran tertulis, Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul” (QS. Al-Qasas: 7)

Ayat ini luar biasa karena perintahnya tampak paradoks. Ibu diharuskan “menghanyutkan” (alqī) bayi Musa ke sungai jika dia mementingkan keselamatannya. Meskipun demikian, Tuhan menghiburnya dengan menyuruhnya untuk tidak takut atau bersedih. Dia menjanjikan bahwa Musa, anaknya, akan kembali padanya dan menjadi salah satu utusan. 

Lebih menariknya lagi, ayat ini seolah Tuhan berkomunikasi secara langsung (awhayna) kepada ibu Musa. hal ini yang membuat beberapa teolog dan mufassir al-Quran, seperti Ibnu Hazm, berpendapat bahwa ibu Nabi Musa juga termasuk seorang nabi. Kata Arab yang digunakan di sini wahy sama dengan kata yang digunakan untuk “wahyu”.

Setelah Musa menjalankan anjuran Allah untuk menghanyutkan bayinya ke sungai, hati seorang ibu itu menjadi “kosong” (farigha) dan kesedihan merayap masuk. Al-Qur’an menyatakan bahwa Yukhanit, ibu kandung Musa, benar-benar tidak sanggup menahan kecemasan, jika Tuhan tidak menguatkan hatinya (QS. Al-Qasas: 10). Dalam keadaan tertekan ini, dia menyuruh putrinya, kakak Musa, untuk mengikuti keranjang bayi Musa dari kejauhan. Hingga keranjang itu sampai di tempat yang aman. 

Di sebuah istana, istri Firaun yang dikenal sebagai Asiyah dalam tradisi Islam, melihat Musa dan berseru, “(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak”… (QS. Al-Qasas: 9).  Apa yang penting di sini adalah bahwa istri Firaun, ditekankan, ingin mengadopsi Musa sebagai anak laki-lakinya. Ia memandang anak angkatnya sebagai sumber kebahagiaan dan cinta kasih, yang secara harfiah adalah “penyejuk mata” (qurrota ‘ain). 

Baca Juga  Dakwahkan Rasa Syukur, Bukan Rasa Takut

Bayi Musa, bagaimanapun, tidak mau menyusu dengan salah satu wanita istana yang ditugaskan sebagai ibu susu untuknya. Hal itulah yang menjadi kesempatan bagi kakaknya, yang sekian waktu telah memantau adiknya dari kejauhan, untuk menyampaikan bahwa ada wanita yang tepat untuk menyusuinya, “Maukah aku tunjukkan kepadamu, keluarga yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik padanya?” (QS. Al-Qasas: 12) Musa kemudian dapat kembali kepada ibu kandungnya, untuk disusui dan dirawat.

Apa yang luar biasa adalah bagaimana al-Qur’an mengisahkan tentang penyatuan ibu dan anak ini, “Maka kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS. Al-Qasas:13)

Ungkapan taqarra ‘ainuha yang artinya “senang hati melihatnya” muncul kembali. Seperti sebelumnya yang terkandung dalam kalimat Asiyah, ibu angkat Musa, kali ini mengacu pada ibu kandungnya. Kedua ibu ini sama-sama berbahagia dengan kualitas kebahagiaan yang setara atas kehadiran anaknya, baik anak kandung maupun anak angkat. Mereka berdua mampu memberikan peran terbaik sebagai seorang ibu yang menyelamatkan dan mengasihi anaknya. 

Dengan demikian, inilah kisah Al-Qur’an tentang hubungan antara dua ibu yang mengasihi anaknya, yang satu melahirkan dan menyusui, yang satunya lagi mengadopsi dan membelanya saat dewasa. Kisah ini lebih unik lagi jika kita menghayati bagaimana suara ilahi berbicara langsung kepada seorang ibu, memerintahnya, menghiburnya dan meredakan kekhawatirannya. Inilah kisah sejati tentang ibu anak, dan imannya pada rencana ilahi.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.