Kritik Simplifikasi Masjid

KontributorKritik Simplifikasi Masjid

Kita mengenal masjid sebagai ruang beribadah umat Muslim. Sekian laku berpahala ditunaikan melalui masjid demi peroleh ganjaran kenikmatan dunia dan akhirat, masuk surga dan terhindar dari neraka. Salat, ceramah keagamaan, pengajaran al-Quran, sampai santunan menjadi aktivitas yang lazim kita temui di sembarang masjid.

Padahal tempo dulu, para cendekia Muslim memberi pemaknaan yang luas ihwal peranan masjid. Pemaknaan ini tentu saja berangkat dari narasi historis Kanjeng Nabi Muhammad bersama para sahabat, yang melakukan perjalanan (hijrah) dari Makah ke Madinah. Hanya saja, kebanyakan umat Muslim terlanjur menilai bahwa beribadah ya di masjid dan, masjid adalah lokasi untuk beribadah. Pemaknaan semacam ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi saya rasa cenderung menyimplifikasi sebuah bangunan masjid.

Sidi Gazalba melalui bukunya Mesdjid Pusat Ibadat dan Kebudajaan Islam (1964) memberi definisi masjid yang agak longgar. Dari sisi bahasa, akar dari kata masjid adalah sujud. Sedangkan setiap jengkal yang ada di bumi merupakan kepemilikan-Nya yang bisa digunakan oleh umat Muslim untuk bersujud. Dengan catatan, selama lokasi sujud itu bersih dan suci.

Kutipan di buku: “Ja, dimana ia waktu itu, disitu ia boleh sembahjang. Sjaratnja hanja ruang tempat ia tegak dan sudjud wadjiblah bersih, sutji seperti ia sendiri sesudah taharah.” Maka sujud sebagai simbolisasi ‘beribadah’ tidak melulu terikat oleh sebuah ruang. Maka lumrah saat kita melihat di banyak cerita ada orang yang menunaikan salat di pematang sawah, berbuat kebajikan di diskotik, dan seabrek laku baik yang tidak terbatas oleh ruang yang dinilai sakral oleh sekelompok orang.

Definisi yang longgar ini juga didukung dengan riwayat historis tentang laku hijrah dari Mekkah ke Madinah. Di momen itu, tindakan pertama yang ditunaikan Kanjeng Nabi Muhammad adalah mendirikan masjid. Padahal jika melihat kondisi saat itu, mendirikan benteng atau membentuk pejuang melawan orang kafir akan lebih menguntungkan, ketimbang mendirikan sebuah masjid. Kalau pun hendak mendirikan masjid, Kanjeng Nabi Muhammad mestinya dapat menunggu sampai kondisinya stabil terlebih dahulu.

Dari sini Sidi Gazalba memberi jeda ke pembaca untuk merenungi maksud Kanjeng Nabi Muhammad tersebut. “Kalau hanja sekedar tempat sembahjang semata, bukankah djagat ini telah dijadikan Tuhan mesdjid (lokasi untuk bersujud dan beribadah)?”, tanya Sidi Gazalba di buku tersebut.

Baca Juga  Tangkal Hoaks dengan Metode Ilmu Hadis

Barangkali kita luput tidak menelisik dengan tanya semacam itu. Kita melulu terjebak pada logika mukjizat dan berujung pada obyek wisata religius di kemudian hari. Bahwa Masjid Nabawi yang dianggap sebagi masjid pertama yang didirikan, kini memang berubah menjadi bangunan yang lekat dengan laku berpahala. Arsitektur megah dengan intensitas kunjungan mencapai jutaan orang per bulannya juga bisa kita dapati di Masjid Nabawi.

Sampai-sampai ada sekian ribu masjid di negeri ini yang latah menyulap bentuk bangunannya menyerupai Masjid Nabawi di Madinah. Konon hal tersebut dilakukan supaya masjid tambah makmur dikunjungi banyak orang. Meskipun faktanya memang tidak demikian. Alih-alih kuantitasnya bertambah, malah justru kuantitas sekaligus kualitas jemaahnya menjadi berkurang.

Oleh karena itu, pembangunan Masjid Nabawi ini, menurut Sidi Gazalba tidak akan ditunaikan jika Kanjeng Nabi Muhammad tidak merasa ada nilai urgensinya. Dan nilai urgensi ini tidak hanya sebagai lokasi beribadah, tetapi juga ruang sosial yang memungkinkan umat Muslim untuk membangun solidaritas.

Nasaruddin Umar dalam bukunya Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid (2021) menerangkan ragam peranan Masjid Nabawi. Setidaknya ada 22 peranan yang terdapat di Masjid Nabawi tempo dulu. Dari semua peranan itu, 16 di antaranya cenderung pada peranan sosial, budaya, politik, dan ekonomi dari bangunan sebuah masjid.

Dari sekian peranan ini, kita bisa mafhum jika Kanjeng Nabi Muhammad memilih untuk mendirikan masjid terlebih dahulu. Masjid sebagai ruang untuk aktivitas bersama, baik sakral maupun profan. Barangkali masjid di masa itu tidak berjarak dengan masyarakat Muslim yang masih sedikit.

Lebih lanjut, Sidi Gazalba memberi penekanan dari pentingnya keberadaan sebuah masjid. Katanya: “… apabila Nabi pada hari pertama hidjrah itu mendirikan mesdjid, dapatlah disimpulkan bahwa dengan itu Nabi membangunkan fondamen utama dari dunia Islam.” Kejayaan Muslim selama berabad-abad dimulai dari masjid, tetapi juga meluruh pelan-pelan dengan banyak menegasikan peranan lain dari sebuah masjid.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Alumnus Magister Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga, penulis, dan masyarakat biasa.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.