Karakteristik Umat Pilihan

RecommendedKarakteristik Umat Pilihan

Ketika menyisir area sejarah, akan didapati bagaimana agama-agama mengalami siklus kemurnian menuju kepalsuan. Hal itu terkait dengan perilaku para pemeluknya, di mana pada satu masa menghayati dan mengamalkan agama dalam makna yang sebenarnya, lalu di waktu kemudian generasi kaum beragama mengambil keyakinannya secara dangkal dan main-main. Adagium filsuf kenamaan Jerman, Nietzsche menggambarkan secara tepat kaum beragama jenis kedua di atas. Bahwa “Tuhan telah mati” merupakan kritik sosial Nietzsche atas perilaku masyarakat di zamannya yang memanfaatkan ajaran agama untuk kepentingan pribadi dan kekuasaan. Tuhan tak lagi dianggap hidup dan ajaran-Nya hanya dipermainkan pemeluk agama-Nya.

Dalam Islam, Allah berjanji melalui firman-Nya, bahwa manakala umat Islam di satu masa bersikap menyimpang atau meninggalkan ajaran Islam, Allah akan menggantinya dengan kemunculan satu umat yang berdedikasi. Yang berusaha menyeru umat Islam untuk kembali menekuni ajaran Islam yang jernih. Karakteristik kaum pengganti tersebut Allah tuturkan dalam surat al-Maidah ayat 54.

Allah SWT berfirman, Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintainya dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Watak pertama, disebutkan bahwa mereka adalah “Suatu kaum yang Allah mencintainya dan mereka pun mencintai-Nya”. Cinta menjadi ciri awal umat terpilih. Mahabbah adalah inti energi yang bisa berubah menjadi berbagai macam bentuk pengabdian, pengorbanan, dan ekspresi yang tak terbatas. Cinta pada-Nya bisa diungkapkan dengan berbagai cara. Apabila kita merasa senang saat bermunajat kepada Allah ketika shalat, berdekatan dengan-Nya, membaca firman-Nya, berarti itu cara kita mencintai-Nya. Di luar cara yang demikian banyak untuk mengekspresikan cinta, pertanda terpenting dari rasa cinta kepada Allah adalah upaya menerus untuk mencari sesuatu yang bisa kita banggakan di hadapan-Nya. Tak lain untuk tujuan mendapat ridha-Nya.

Salah satu contoh yang gamblang adalah kisah sahabat Nabi bernama Abdullah bin Jahas. Sebelum bertempur dalam medan Uhud, ia berdoa di salah satu sudut kota bersama Sa’ad bin Abi Waqash. Abdullah bin Jahas berdoa agar diizinkan menghadapi lawan yang tangguh dan kuat. Ia ingin supaya dirinya bisa berjuang total melawan musuh dan agar Allah memperkenankan ia dibunuh di tangan musuh bahkan berkenan kehilangan indera-inderanya karena ulah musuh. Allah pun mengabulkan permohonannya. Abdullah bin Jahas gugur dalam kondisi yang ia harapkan dalam doanya.

Baca Juga  Dakwahkan Rasa Syukur, Bukan Rasa Takut

Dalam doa yang ia panjatkan, Ibnu Jahas mengatakan, “Jika aku menghadap Engkau di hari kiamat, Engkau boleh bertanya kepadaku, ‘Mengapa engkau kehilangan hidung dan telingamu, hai Abdullah?’ Untuk itu, aku akan menjawab, ‘Semuanya hilang di jalan Allah dan Rasul-Nya’. Kemudian Engkau berkata, ‘Benar, semuanya hilang di jalan-Ku'”. Yang mesti direnungkan adalah bagaimana kita senantiasa beramal terbaik, paling tulus, dan penuh harap pada-Nya sampai batas yang dapat kita usahakan.

Sifat kedua, ialah “Bersikap lemah lembut kepada orang beriman“. Bisa dijalankan dengan cara rendah hati dalam pergaulan dengan saudara serta orang secara umum. Mencintai mereka secara sama bahkan lebih dari kita cinta pada diri sendiri. Memilih mengatakan hal-hal yang baik kepada dan tentang mereka. Rendah hati berarti menolak kesombongan, kita tak merasa lebih unggul atau lebih utama hingga merasa berhak menyingkirkan yang lain. Watak umat pilihan adalah saleh dan cakap dalam bersosialisasi.

Karakteristik ketiga, firman Allah berbunyi “Keras terhadap orang-orang kafir“. Umat yang Allah pilih itu adalah mereka yang berprinsip, memiliki ketegasan sikap dalam menghadapi orang-orang kafir. Yakni mereka yang berbuat kezaliman serta kekufuran yang merugikan pihak lain. Umat terpilih itu tak akan menukarkan keimanannya dengan harta ataupun jabatan. Sikap keras di sini adalah keteguhan prinsip, bukan berarti umat yang anarki, suka kekerasan atau membenci yang beda keyakinan.

Tanda keempat ialah “Yang berjihad di jalan Allah dan yang tak takut kepada celaan orang yang suka mencela“. Tipikal umat pilihan jelas adalah aktivisme. Mereka yang terlibat langsung dalam perjuangan dalam mengabdikan diri di agama Allah. Masa hidup ini adalah periode kerja dan mencari makna. Umat pilihan tak risau akan celaan dan kecaman dalam membawa misi suci meninggikan nama dan ajaran-Nya.

Umat pilihan bukan berbicara superioritas atau tentang pemberian keistimewaan duniawi. Yang terpilih adalah kaum yang mencintai dan dicintai Allah. Yang karena cinta itu, umat terpilih dengan ringan hati berusaha beramal terbaik, berjuang maksimal, berperilaku terhormat, bergaul santun, kokoh berprinsip, dan tak ambil pusing atas gelombang celaan yang pasti adanya. Wallahu a’lam. []

Disarikan dari buku Khotbah-khotbah Kang Jalal.

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.