Kristen dan Abbasiyah (Bagian VII)

RecommendedKristen dan Abbasiyah (Bagian VII)

Keterlibatan Kristen dalam pemerintahan Abbasiyah sudah ditulis oleh banyak sarjana, baik dalam bahasa Arab ataupun Inggris. Misalnya, Suhail Qasya menulis buku berjudul al-masihiyyun fi al-dawlah al-Islamiyah (2002) atau buku A.S. Tritton berjudul The Caliphs and Their non-Muslim Subjects (1970).

Dalam buku “Wuzara’ al-Nashraniyyah wa-Kuttabuha fi al-Islam,” Louis Cheikhu mencatat 75 wazir dan 300 sekretaris Kristen dalam pemerintahan Islam awal. Tahun 2011, saya sendiri pernah menulis artikel “The Public Role of Dhimmis During ‘Abbasid Times” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies (BSOAS).

BSOAS merupakan jurnal terkemuka terbitan University of London yang mengklaim hanya menerbitkan karya riset orisinil. Sebuah jurnal yg tak mudah ditembus bahkan oleh profesor senior sekalipun. Maaf, nyombong dikit: Saya sudah menerbitkan tulisan di jurnal ini ketika masih mahasiswa S3 di Chicago (mahasiswa perlu membuktikan bisa nulis di jurnal peer-reviewed, bukan sekadar menilai diri sendiri paling rasional di wall FB).

Dalam tulisan ini (dan beberapa tulisan selanjutnya), saya akan mengulas beberapa temuan dalam artikel di BSOAS itu. Kali ini saya hanya akan fokus pada alasan pengangkatan orang Kristen dalam jabatan publik dan salah satu contoh di antaranya.

Sebenarnya bukan hanya orang Kristen yang menjabat posisi politik strategis dalam pemerintahan Abbasiyah. Beberapa orang Yahudi dan Majusi juga dipercaya menempati jabatan penting. Salah satu alasannya ialah kepentingan pragmatis. Mereka dibutuhkan.

Maksudnya, orang-orang Kristen memiliki keterampilan dalam menjalankan roda pemerintahan pada kerajaan Bizantium dan Persia. Sementara itu, penguasa Abbasiyah (dan juga Umayyah) tidak berpengalaman mengatur administrasi negara yang luas.

Sudah menjadi pengetahuan umum, orang-orang Arab di Hijaz sebelum kemunculan Islam mengatur kehidupannya berdasarkan solidaritas kesukuan. Nabi Muhammad memperkenalkan infra-struktur baru, yakni tata-kelola kehidupan bermasyarakat melampaui kesukuan, yang tidak dikenal sebelumnya. Aturan bermasyarakat yang tidak diikat oleh suku atau garis keturunan/kekeluargaan, melainkan jalinan keimanan.

Dalam masyarakat yang relatif kecil, kharisma pemimpin menjadi tumpuan untuk menyatukan berbagai suku di bawah tenda “keimanan” tersebut. Model ini diterapkan pada periode berikutnya, yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai “khulafa’ rasyidun.” Ketika masyarakat beriman mulai meluas, kharisma pemimpin tidak cukup untuk menjaga soliditas masyarakat yang mulai mencakup berbagai etnik dan entitas. Maka, ketidakpuasan muncul di sana-sini, bahkan berujung pada asisinasi kepala pemerintahan itu sendiri.

Keretakan itu coba diatasi pemerintahan Umayyah dengan cara mengadopsi model kepemimpinan dinasti yang dikenal ampuh dalam kerajaan “negeri jiran,” seperti imperium Sasanian Persia dan Bizantium. Maka, mudah dimengerti kenapa pemerintahan Umayyah mulai mempekerjakan orang-orang Kristen. Sebab, mereka sudah berpengalaman dgn sistem kerajaan.

Dinasti Abbasiyah yang memindahkan pusat kekuasaannya ke Baghdad mengenal dgn baik efektifitas sistem pemerintahan Sasanian Persia. Para pemimpin Abbasiyah di Baghdad memilih mempertahankan sistem pemerintahan sebelumnya. Sebagian mereka mengangkat cendekiawan Persia, seperti Nidham al-Mulk, sebagai penasehat khalifah.

Salah satu model pengelolaan administrasi negara yang diadopsi dari kerajaan Persia ialah kantor wazarat (mungkin sekarang mirip kantor “perdana menteri”). Jabatan “wazir” (perdana menteri) memang tidak dikenal dalam pemerintahan Umayyah, karena baru diadopsi oleh para penguasa Abbasiyah.

Tidak sulit untuk dimengerti kenapa khulafa’ Abbasiyah mengangkat orang Kristen berpengalaman untuk menduduki jabatan tertinggi kedua setelah khalifah itu. Al-Mu’tashim merupakan khalifah Abbasiyah pertama yang mengangkat wazir Kristen, yakni Fadhl bin Marwan bin Masarjis.

Baca Juga  Suara Keadilan Ulama Perempuan

Kekuasaan wazir Fadhl bin Marwan yang begitu luas dicatat dalam sumber-sumber Muslim sendiri. Dia bergabung dalam pemerintahan Abbasiyah sejak zaman al-Ma’mun. Fadhl dikenal sebagai orang cerdas dan keterampilannya mengatur administrasi pemerintahan diakui oleh para khulafa’ Abbasiyah hingga akhirnya al-Mu’tashim mengangkatnya menjadi wazir.

Yang menarik dicatat ialah kekuasaan Fadhl yang tanpa batas. Dia disebut-sebut lebih berkuasa dibandingkan khalifah al-Mu’tashim sendiri. Sebagai “perdana Menteri,” semua departemen dan kementerian berada di bawah kekuasaan. Bahkan, dia mengatur keuangan kantor khilafah.

Seperti dapat diduga, kekuasaan yang tanpa batas itu menyebabkan Fadhl menghadapi penentangan dari berbagai kalangan, termasuk khalifah sendiri. Dicatat oleh Ibn Khallikan dalam kitab “Wafayat al-A’yan,” bahwa dalam suatu pertemuan dengan para tokoh dan pebisnis, ada orang mengedarkan selebaran berisi syair yang menuduh Fadhl telah berperilaku seperti Fir’aun.

Dalam kitab “Tarikh”-nya, Thabari mengisahkan sebuah pertemuan di mana al-Mu’tashim ditegur oleh Ibrahim al-Hafti, teman dekatnya: “Apa benar sampeyan ini seorang khalifah? Sepertinya khalifah yang sebenarnya adalah Pak Fadhl.” (Ketika baca lagi kisah dalam Tarikh Tabari ini, saya sungguh ndak ngerti kenapa bayangan yang muncul di kepala adalah Presiden Jokowi dan Pak Luhut. Ah, sialan betul kepala ini!)

Akhirnya perdana menteri Fadhl bin Marwan diberhentikan oleh presiden al-Mu’tashim. Ini hanya satu contoh orang Kristen yang menempati posisi penting. Tentu ada wazir Kristen yang tidak bernasib seperti Pak Fadhl. Selain perdana menteri, orang-orang Kristen juga diangkat sebagai kepala departemen keuangan, pertahanan, gubernur, atau sekretariat negara.

Saya akan ulas contoh-contoh lain di tulisan lain, tapi poin yang ingin saya tegaskan ialah: pengangkatan non-Muslim dalam pemerintahan Islam pada masa Umayyah dan Abbasiyah merupakan kebijakan politik yang sudah established. Karena itu, Anda bisa lihat betapa ahistorisnya debat soal kepemimpinan Pak Ahok saat Pilkada DKI Jakarta dulu itu, hehe.

Saya akan tutup tulisan ini dengan anekdot yang saya catat dalam artikel di BSOAS itu: Gubernur Irak Ubaydullah bin Ziyad (ingat siapa yang menambahkan 2000 alif ke dalam Quran? Ini dia orangnya!) pernah ditanya kenapa dia lebih mempercayai non-Muslim ketimbang Muslim sendiri. Katanya, “Jika saya menyerahkan tugas pengumpulan pajak kepada seorang Muslim, saya akan menghadapi dilema kalau ternyata dia nanti korupsi. Kalau saya potong tangannya, nanti orang-orang dari sukunya akan marah. Beda kalau saya tunjuk non-Muslim. Tidak sulit bagi saya untuk meminta pertanggungjawabannya. Lagi pula, saya mendapati mereka umumnya jujur.”

Khalifah al-Mu’tadhid secara khusus menyebut orang-orang Kristen lebih bisa dipercaya dibandingkan siapapun. Dikisahkan, wazirnya Ubaydullah bin Sulaiman enggan mengangkat orang Kristen, dan al-Mu’tadhid memberi nasehat berikut: “Jika kamu menjumpai orang Kristen yang punya keahlian dlm bidang yang dibutuhkan, angkatlah. Orang Kristen lebih bisa dipercaya ketimbang Yahudi karena Yahudi masih menginginkan kembalinya kekuasaan ke tangan mereka; ia lebih baik dari Muslim, karena sebagai sesama agama orang Islam akan berusaha mengambil alih kekuasaan dari tanganmu; ia juga lebih baik dari orang-orang Majusi, karena yang terakhir ini masih menggenggam kekuasaan.”

Kutipan anekdot di atas berasal dari kitab “Akhbar fatariqat kursi al-masyriq” karya Mari bin Sulaiman; juga dikutib oleh Louis Cheikhu dalam kitab Wuzara’ al-Nashraniyah wa-Kuttabuha fi al-Islam.” “Moral lessons” dari anekdot di atas bergantung pada bagaimana kita membacanya. Jadi, tak perlu baper!

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.