Puasa Lisan di Tengah Budaya Komentar

KhazanahHikmahPuasa Lisan di Tengah Budaya Komentar

Kita hidup secara autopilot dengan ritme harian yang sibuk, hiruk-pikuk kebisingan lalu lintas, bunyi hp, komentar-komentar, dan pikiran kita yang terus berputar. Keheningan alami hampir punah. Manusia masa kini terjebak dalam apa yang disebut oleh Marshall Berman sebagai “pusaran” modernitas. Abad kita dikenang dengan banyak hal, terutama kebisingan pergolakan yang berlangsung dalam ekonomi, masyarakat, dan budaya digital yang tidak pernah surut dari badai komentar. Hampir setiap hari kita menyaksikan masalah kecil hingga besar, timbul hanya dari komentar dan pembicaraan lisan yang receh.

Orang arif mengatakan ‘diam adalah emas’. Sebagian kita telah kehilangan emas itu dan perlu menemukannya kembali. Gagasan klasik tentang ‘keheningan’ dan mengontrol lisan kini jauh lebih kita butuhkan daripada yang dulu dibutuhkan leluhur kita untuk menemukan makna hidup. Membangun keheningan dalam diri sangat penting bagi kewarasan dan kebahagiaan kita. Ada banyak khazanah keislaman tentang pentingnya menjaga lisan atau diam, terutama dari al-Qur’an yang Mulia.

Uniknya, di dalam al-Qur’an diam dikatakan secara berkaitan dengan puasa. Puasa tidak selalu mengacu pada ibadah Ramadhan, tetapi juga puasa berbicara, alias diam. Diam dan puasa adalah dua hal yang serupa tapi tak sama. Beberapa tokoh nabi di dalam al-Qur’an, di antaranya Nabi Zakaria as, diperintahkan untuk melakukan puasa lisan. Selain itu, wanita suci Maryam ibunda nabi Isa as juga diberikan petunjuk untuk diam, tidak berbicara, ketika menghadapi gelombang komentar asumsi dan tuduhan dari kaumnya.

Di dalam al-Qur’an dikatakan, Makan, minum, dan bersukacitalah engkau. Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26)

Para mufassir umumnya memahami ‘puasa’ di sini sebagai ‘diam’. Imam Ath-Thabari, meriwayatkan bahwa bangsa Bani Israil biasa berpuasa dari berbicara seperti mereka berpuasa dari makanan, dan hanya menggunakan lisan mereka untuk berdzikir. Ia mencatat bahwa puasa pada zaman itu adalah “puasa dari makanan, minuman, dan berbicara kepada orang-orang”, hal itu berbeda puasa Islam sekarang yang hanya menahan diri dari makanan dan minuman.

Imam Al-Qurthubi lebih jauh menjelaskan hubungan antara puasa dan diam dengan menuliskan, “puasa adalah menahan diri (imsak) dan diam adalah menahan diri dari ucapan”. al-Zamakhsyari mengartikan makna “puasa” Maryam dalam ayat ini sebagai tindakan paling logis yang perlu dilakukannya dalam situasi dirinya pada saat itu, al-Zamakhsyari mengutip, “diam dari orang bodoh adalah wajib.” 

Pernyataannya membangkitkan ayat al-Qur’an lainnya seperti Al-furqan ayat 63, Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam”. Ayat ini memberitahu tentang pentingnya memberikan tanggapan yang mengandung keselamatan itu jauh lebih penting daripada menjawab dengan argumentasi yang memperkeruh suasana. Hadis Nabi SAW juga mengatakan, Barangsiapa yang beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, katakan sesuatu yang baik atau diam. (HR. Bukhari)

Dengan kata lain, al-Qur’an menyampaikan bahwa diam dan jawaban singkat seringkali lebih efektif daripada bantahan yang berlarut-larut. Maryam muncul di hadapan masyarakat yang mencelanya sebagai wanita yang telah mencemari keluarganya yang saleh dan terhormat. Dia hanya diperintahkan untuk diam, dalam pembelaannya, Maryam menunjukkan bayi laki-lakinya sebagai sebuah fakta yang memang sulit sekali dijelaskan. Karena Maryam tetap diam, kaumnya terus mendesaknya dan menuntut keterangan tentang bayinya yang tidak mungkin menjelaskan dirinya sendiri.

Baca Juga  Ceramah Toleransi Kiai Uci

Pertanyaan mereka akhirnya dijawab secara ajaib oleh sang bayi, Isa as, yang menyatakan bahwa dia adalah hamba Tuhan, seorang nabi, dan bahwa dia menghargai dan berbakti ibunya (QS. Maryam: 30-32). Diamnya Maryam, bagaimanapun, telah memungkinkan Isa as untuk berbicara atas namanya. Melalui peristiwa ini, Allah SWT juga memberitahu bahwa bagi orang benar yang tidak bisa berkata-kata, Tuhan yang akan memberikan jawaban dan pembelaan.

Tema tentang ‘berbicara’ dan diam mengalir di seluruh sepanjang lantunan surah maryam ini. Di akhir bab, al-Qur’an berbicara langsung kepada Muhammad yang mengatakan, Sesungguhnya Kami telah memudahkan (Al-Qur’an) itu dengan bahasamu (Nabi Muhammad) agar dengannya engkau memberi kabar gembira kepada orang-orang yang bertakwa dan memberi peringatan kepada kaum yang membangkang (QS. Maryam: 97). Ayat ini mengundang kita untuk bersyukur bahwa, tidak seperti Maryam yang menghadapi kesulitan ketika menjelaskan mukjizat kelahiran Isa as, bagi Nabi Muhammad SAW al-Qur’an telah dimudahkan untuk diucapkan dan dijelaskan kepada kaumnya sebagai pedoman dan petunjuk ilahiyah. 

keheningan dapat membuka pintu kebenaran dan rasa syukur. Dalam ayat yang dibahas di atas, kita telah melihat ada keterkaitan erat antara puasa dan diam. Imam al-Ghazali dalam magnum opusnya, Ihya Ulum ad-Din, menginformasikan tentang tiga tingkatan puasa. Puasa tertinggi yang dilakukan orang ‘paling khusus’, para elit spiritual, ialah puasa dengan “diam dan menyibukkan diri dengan mengingat Allah dan membaca al-Qur’an”. Itu adalah puasa lisan, menghindari berbicara sia-sia, terutama perkataan buruk, berbohong, dan ghibah.

Imam Al-Ghazali mengingatkan kita pada hadis Nabi yang berbunyi, Apabila seseorang di antara kamu berpuasa, janganlah berkata kotor/keji dan berteriak-teriak. Apabila ada orang yang mencaci makinya atau mengajak bertengkar, katakanlah, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa” (HR. Muslim). Jadi, kita diajarkan untuk tidak mudah terlibat dalam budaya komentar, perbincangan sia-sia, komentar tidak perlu, dan cek-cok. Menjaga lisan itu maknanya memang sedalam puasa. Bagaimanapun, mengurangi aktivitas lisan, yang di era digital ini juga diwakili oleh ‘jempol’, akan berdampak baik bagi pikiran dan fokus kita terhadap hal-hal yang lebih penting.

Singkatnya, diam akan membawa kita dalam spirit puasa yang merupakan kondisi saat seseorang meningkatkan kesadarannya terhadap Tuhan serta  menahan seluruh hawa nafsunya. Petunjuk untuk ‘diam’ dalam kisah Maryam membawa kita kembali pada makna Puasa sebagai “menahan diri” untuk tujuan spiritual yang lebih tinggi dan bahkan mukjizat. Lebih lanjut, kita juga telah menyoroti hubungan penting antara keheningan dan spiritualitas di zaman kebisingan ini. Keheningan dapat membuka pintu keberanan dan rasa syukur. Perkataan dan tanggapan memang bisa efektif, tetapi begitu juga dengan diam dan kedamaian.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.