Hindari Narsis dalam Beragama

KhazanahHindari Narsis dalam Beragama

Dalam hal dakwah Islam, tidak sedikit Muslim yang menunjukkan keangkuhan, minimnya etika, pamer diri, dan narsistik, ketika mencoba untuk menyangkal atau membantah Muslim lain dalam beberapa poin agama atau hal lain. Dewasa ini, budaya debat atau sanggah-menyanggah di media sosial, seperti Twitter, Instagram, youtube, tampaknya tidak luput dari kehadiran para narsis agama.

Bagaimanapun, kritik atau koreksi harus berakar dalam ketulusan, penelitian ilmiah yang baik, mengikuti aturan kritik Islam. Di antaranya, mengutip kata-kata orang yang dibantah secara akurat dan sesuai konteks, tidak melanggar hak orang yang dibantah, dan memberi ruang untuk menarik kembali kesalahannya dan kembali ke kebenaran. Amat disayangkan apabila narsisme sampai membutakan mata hati dan pikiran untuk memperhatikan etika tersebut.

Dalam pergaulan kehidupan beragama, kita perlu waspada terhadap penekanan pada “aku”, “milikku” atau “diriku”. Iblis, Firaun, dan Qarun merupakan figur yang celaka karena mentalitas narsis ini. “Aku lebih baik daripada dia” (QS. Al-A’raf: 12) adalah kata-kata narsis ala iblis. “Bukankah kedaulatan Mesir adalah milikku?” (QS. Az-Zukhruf: 51) adalah narsisnya Firaun. Kemudian lagi si Karun yang berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku” (QS. Qashas: 78). Semua karakter narsis yang disebutkan dalam al-Quran tersebut adalah figur-figur yang tercela. Maka dari it, sifat seperti mereka wajib kita hindari.

Jadi, kita harus merehabilitasi narsisme yang dapat meracuni karakter kita. Karena sifat narsis berbanding terbalik dengan pesan Islam yang mengajarkan kerendahan hati. Narsisme adalah kekaguman obsesif pada diri sendiri, mementingkan diri sendiri secara berlebihan, candu terhadap pujian orang lain, dan minim empati. Obat dari perasaan ialah dengan mengakui bahwa diri memiliki aib, dosa, dan ketidaktahuan. Kita perlu mengaku dengan kerendahan hati dan ketulusan sesering mungkin. Dalam Zad al-Ma‘ad (4:435) tertulis, posisi terbaik untuk ‘Aku’ adalah ketika seseorang berkata, Aku adalah hamba yang berdosa, salah, bertobat, mengaku atau sejenisnya. Dan ‘milikku’ ketika dia berkata, milikku adalah dosa, kejahatan, kemiskinan, dan rasa malu. Dan ‘aku’ dalam ucapannya, “Ya Allah, ampunilah aku atas dosa-dosa yang telah kulakukan dengan sengaja dan bercanda, salah atau sengaja; karena aku telah melakukan semua itu.” 

Baca Juga  Istilah Khilafah Nihil Dalam Al-Quran

Kesimpulannya, narsisme hanyalah rasa kepemilikan yang palsu, terus-menerus bergantung pada pujuan dan kekaguman orang lain, serta kurang berempati terhadap sesama karena terlalu asyik dengan egonya. Hal demikian perlu direhabilitasi dengan intropeksi diri, pengakuan yang rendah hati, dan kesadaran tentang kekurangan yang ada. Dalam dakwah, kita juga perlu mengakui sangat sedikitnya pengetahuan yang kita miliki, dan berharap semoga Allah mengampuni dosa-dosa dan perkataan kita tentang agama-Nya tanpa ilmu yang cukup.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.