Islam Fundamentalis dalam Bingkai Siber  

KhazanahIslam Fundamentalis dalam Bingkai Siber  

Jika ditelaah dalam bingkai siber, para fundamentalis memiliki pemikiran yang relatif cenderung kaku dan eksklusif Pasalnya, mereka terlalu tekstual untuk memahami dalil keagamaan, yang berpotensi keluar dari jalur makna penafsiran yang sebenarnya. Mungkin bagi sebagian masyarakat awam, selagi ada dalil dan isi tausiahnya bisa cerna, kenapa harus disangkal? Sayangnya pemikiran ini, menjadikan Islam sebagai agama yang nampak dangkal dan tidak universal, sebagaimana sudut pandang kalangan fundamentalis dalam membaca teks-teks keagamaan.

Sebagai umat Islam tentu kita akan sepakat, jika pelbagai persoalan rujukan solusinya bersumber dari al-Quran dan hadis. Sebab, bagaimanapun keduanya merupakan sumber utama pijakan norma-norma kehidupan bagi seorang Muslim. Namun, pernahkah kita mengevaluasi secara kritis bahwa metode yang digunakan dalam memahami esensi dan menempatkan kedua rujukan dalil tersebut dalam persoalan itu benar tepat? Ketika hal seperti ini dijumpai dalam syiar dakwah yang mana nalar logikanya terasa kaku, ekstrem, dan sukar terkait ajaran Islam, perkara tersebut patut dikritisi. Salah satunya seperti kajian yang ada di kanal youtube yang terdapat ratusan episode tentang dosa perempuan.

Media sosial dengan konten demikian, kerap kali menjadikan perempuan sebagai objek yang melulu dipandang salah dan dinanti dosa besar. Selain karena faktor kesenjangan gender, ia mengokohkan opininya dengan dukungan dalil al-Quran dan hadis. Entah benar atau tidak, sebagian orang awam hanya mengangguk-angguk pertanda setuju, sebab ada pembelajaran yang baru diketahuinya meski dirasa berat. Melalui ini, perempuan kian terpotret jauh dari ajaran Islam sebagai agama rahmat.

Pemahaman tafsir dan penempatan konteks al-Quran dan hadis yang tidak tepat, oleh kaum fundamentalis, itu menjadi masalah. Dalam sejarah Islam, kaum Khawarij dikenal masyhur sebagai ahli ibadah, shalat, puasa, dan membaca Quran. Namun, ibadahnya tak memberikan faedah karena akhlak mereka tak terdidik dan tak ada kelembutan dalam hatinya. Nasution, dalam buku Islam Rasional (1996), turut mengatakan, kaum ini memiliki iman yang tebal, sederhana pengetahuan, namun sempit pemikirannya dan fanatik buta.

Selain fanatic buta, kaum fundamentalis termasuk kategori kalangan yang memiliki religiusitas tinggi, karena keteguhan mereka memegang prinsip dasar Islam, tetapi tidak menempatkan agama sebagaimana porsinya, hingga cenderung memungkiri adanya pemikiran kontemporer dari para mujtahid.

Menurut E. Marty (1991) ada dua prinsip yang dimiliki kaum fundamentalis, yakni perlawanan (opposition) dan penolakannya terhadap hermeneutika. Pertama, prinsip perlawanan ditunjukkan pada segala bentuk yang ditengarai membahayakan eksistensi agama, baik modernisme, sekularisme, maupun westernisasi. Prinsip kedua fundamentalisme adalah penolakan sikap kritis dan interpretasinya terhadap teks, hal ini yang menyebabkan mereka digelari kaum tekstualis-skriptualis.

Jika skandal fundamentalisme di zaman dulu adalah kaum Khawarij, lantas apakah mereka masih ada di masa modern kini? Siapa mereka? Dalam Kitab Shahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, Rasulullah SAW bersabda, Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari busurnya…” (HR. Muslim No. 1929).

Baca Juga  Ngaji Maraqi Al-‘Ubudiyah: Menjaga Lisan (Bagian 2)

Demikian Rasulullah SAW, menjabarkan fundamentalisme di akhir zaman. Entitas Khawarij dalam sejarah memang lenyap, tetapi ciri dan karakternya bisa ditemui pada setiap zaman. Umpama di era modern kini, nyaris semua aktivitas sudah bergelut dengan media digital, seperti maraknya dakwah keagamaan di ruang siber.

Seseorang dapat menilai dan mengkritisi al-Quran maupun hadis dari penceramah siber, apabila penalarannya teramat tekstualis. Topik yang kerap digemakan oleh kaum fundamentalis dalam bingkai siber, biasanya menyasar pada pembahasan yang memarginalkan perempuan, penistaan terhadap non Muslim (takfir), mengajak berperang (al-qitl), pembaharuan Islam yang dianggap tidak relevan, dan sebagainya. Ketimbang memberikan penjelasan Islam yang mencerahkan, kaum Fundamentalis acap kali memperdengarkan kepada para jemaahnya menggunakan bahasa yang menakut-nakuti, dramatis, penampilan Islam gaya arab, dan tentu penalaran yang skriptualis.

Oleh karena itu, jika tidak ingin karam dengan penalaran skriptualisnya, maka menelaah karakter mereka merupakan persoalan yang mendesak, meski hanya lewat bingkai siber. Dengan menelaah, seorang akan lebih bisa mawas diri terhadap apa yang diikutinya. Untuk menghindari arus pemahaman tersebut, hendaknya memilih guru atau ustaz yang sesuai pakarnya.

Untuk bisa membedakan pendakwah yang memang memiliki kapasitas keilmuan tinggi atau sekadar modal membaca ayat dibutuhkan banyak riset. Dengan begitu, seorang akan lebih bisa memahami Islam sebagai agama yang selalu relevan terhadap perkembangan zamannya, moderat, penuh kemaslahatan, dan egaliter.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.