Jaga Wibawa Tradisi Yurisprudensi Islam

KolomJaga Wibawa Tradisi Yurisprudensi Islam

Persoalan halal-haram telah mengabil banyak porsi dalam dikusi agama yang berkembang. Bagi sebagian masyarakat Muslim di negeri ini, segala hal dianggap perlu dinilai dalam skala halal-haram. Dalam kegiatan pengajian misalnya, format pertanyaan ‘bagaimana hukumnya’ merupakan bingkai persoalan yang paling sering muncul. Sayangnya, Ketika para ustadz atau da’i ditanya secara spontan, apa hukumnya game online, investasi, tiktok, tahun baru, menyanyi, mendengar musik, profesi artis, penilaian ‘haram’ keluar dengan mudahnya. Belum lagi maraknya pendakwah yang dengan instan mengharamkan budaya dan hal-hal remeh yang lazim di tengah masyarakat.

Memperbanyak jumlah hal-hal yang dilarang tidak akan membawa apa-apa selain hambatan perkembangan umat. Padahal, perinsip keharaman sesuatu telah ditentukan oleh Allah, hanya Dia yang berhak. Dan apa yang telah ditetapkannya itu sudah cukup dan pas, tidak ada yang berhak menambah ataupun memperluasnya. Dalam beberapa perkara, keputusan-Nya definitif dan jelas, di area lain, Dia tidak menetapkan apa-apa dan membiarkan manusia bebas menetukan yang terbaik. Allah tidak lupa membuat ketentuan hukum serta tidak kurang. Dia juga tidak lalai dalam memberikan kebebasan kepada Hambanya untuk melakukan hal-hal yang pada perinsipnya halal dan mubah. Semua itu tidak lain karena kasih sayang dan rahmat-Nya yang begitu besar kepada umat manusia.

Materi dakwah yang mengobral fatwa haram yang tidak berdasar kini banyak beredar di media online. Jika tidak ditangani dengan benar, dapat berubah menjadi umpan balik kecaman terhadap tradisi hukum Islam. Generasi muda zaman sekarang, kemungkinan besar banyak menemukan keraguan agama karena opini Islam nampak ketinggalan jaman, atau tidak lebih dari pendapat subjektif seseorang yang sinis. Akibatnya, tidak sedikit Muslim meninggalkan perinsip serta kepastian-kepastian syariah yang telah mengangkar dalam madzhab-madzhab yurisprudensinya.

Bukanlah menjadi tujuan tulisan ini untuk membantah apa saja yang telah diharamkan dengan instan oleh para ustadz. Namun, dari maraknya kasus pengharaman hal-hal sepele akhir-akhir ini, yang menjadi kekhawatiran utama ialah kecenderungan untuk meninggalkan proses rasional (ijtihad) dalam mengaitkan keputusan pada sumber hukum Islam. Pendapat yang dihasilkan tanpa proses ijtihad yang sah, sesungguhnya tidak memiliki bobot serta tidak lebih dari suatu pendapat yang sewenang-wenang.

Mislanya, proses rasional yang minim saat mengaplikasikan metode Syadd Dazi’ah atau pencegahan. Sadd dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan bagi perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Metode ini merupakan dalih yang nampaknya paling sering digunakan sebagian orang mengaku punya otoritas agama, untuk menilai sesuatu dan mengambil kesimpulan haram dengan mudah. Kadangkala, tidak sedikit perkara-perkara Mubah yang diharamkan secara instan, hanya berdasarkan perkiraan ‘menolak keburukan (mafsadah)’.

Padahal, syadd dari’ah tidak dapat diterapkan dengan hanya bermodal anggapan (zhann) saja, atau berdasarkan dorongan untuk mengambil langkah berjaga-jaga (ihtiyat). Imam al-Syafi‘i, di antaranya, mempraktikkan pemakaian sadd dzari’ah hanya bagi masalah-masalah yang mendorong ke arah kerusakan dan larangan yang sudah pasti (qaath’i), atau paling tidak terdapat prediksi kuat tentang kepastian bahaya yang akan terjadi.

Menetapkan keharaman suatu persoalan baru hanya dalam beberapa detik setelah persoalan itu ditanyakan, merupakan suatu perbuatan cukup lancang dalam tradisi hukum kita. Hukum Islam tidak pernah diputuskan semudah itu. Untuk mewakili pandangan Islam dalam menilai suatu perkara hukum, dibutuhkan suatu usaha penelitian yang sungguh-sungguh melalui proses istinbath hukum yang penuh perhatian dan kehati-hatian. Sehingga setiap keputusan hukum yang keluar itu otomatis dihormati dengan sendirinya, mengingat proses yang panjang dan melelahkan para mujtahid untuk mengeluarkan keputusan itu.

Baca Juga  Menekuni Amal Ibadah Masing-Masing

Oleh karena itu, penting untuk meneguhkan kembali otoritas tradisi hukum Islam yang telah terbangun selama berabad-abad lamanya, yang mengatur proses rasional pembentukan putusan-putusan dalam Islam. Tradisi tersebut telah memberikan pedoman dan tonggak untuk mencegah orang menjadi korban prasangka, bias, dan ekstrem diri sendiri dan orang lain. Di antara yang melestarikan tradisi hukum Islam ini ialah NU dan Muhammadiyah, melalui aktivitas intelektual mereka merespon permasalahan sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam, seperti Bahtsul Masail dalam tradisi NU, dan Tarjih dalam tradisi Muhammadiyah.

Memang pada dasarnya, tidak ada yang dapat mengeluarkan fatwa tanpa syarat-syarat pengetahuan dan mengabaikan metodologi aliran-aliran yurisprudensi Islam. Poin ini sangat penting untuk disadari setiap Muslim. Dalam pesan pokok Risalah Amman 2005 misalnya, ditegaskan kembali mengenai penolakan fatwa apapun yang tidak sah serta belum teruji kebenarannya, yang berkembang dari kelompok-kelompok yang mengaku punya otoritas agama. Kesimpulan-kesimpulan hukum yang tidak valid, terbukti menimbulkan masalah sosial masyarakat Muslim, seperti intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang mencemari dunia Islam.

Mengharamkan itu, saya kira, merupakan suatu tanggungjawab yang sangat berat. Para imam dan ahli fikih tidak akan mengatakan haram, kecuali setelah tau ada dalil yang jelas mengharamkannya. Sudah menjadi ciri khas ulama fikih menghindari klaim haram saat menjawab kasus hukum baru. Imam Ahmad, misalnya, lebih suka menjawab “aku tidak menyukainya”, “hal itu tidak menyenangkan aku”,“saya tidak senang” atau “saya tidak menganggap hal itu baik”. Pada dasarnya, Tuhan menyukai hambanya yang menjauhi laranganya, sebagaimana Dia menyukai hambanya yang memanfaatkan kebebasan yang telah disediakan-Nya dalam hal-hal mubah dan halal.

Pada perinsipnya, hanya Allah yang berhak menentukan halal dan haram, baik melalui al-Quran maupun ataupun sunnah Rasul-Nya. Tugas para ahli fikih tidak lebih dari menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu. Seperti yang sudah saya singgng di atas, Allah tidak lupa dalam memutuskan apa yang telah nyata haram yang halal, Dia juga tidak lalai dalam memberikan manusia kebebasan yang luas melalui apa yang telah dijadikan-Nya Mubah. Para ulama tidak memiliki status atau jasa wbesar selain atas kerja kerasnya dalam menggali kitab suci dan Sunnah secara terus menerus, untuk memahami pesan yang dibawa Nabi SAW.

Setinggi apapun kedudukan manusia dalam bidang agama, wewenang untuk menentukan halal dan haram semata-mata di tangan Allah. Ahli hukum Muslim yang menyimpulkan hukum untuk persoalan hukum baru, bertugas dalam penyelidikan teks-teks ketuhanan guna menemukan hukum Tuhan tentang masalah tersebut. Seluruh ahli hukum Islam percaya bahwa mereka hanya bertugas menggali apa yang telah ditetapkan Allah SWT, Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu (al-An’am: 119).  Dalam banyak ayat lain dalam al-Quran, Allah juga tidak pernah menghendaki hambanya untuk mengekspose diri dalam kesulitan dan beban.

Oleh karena itu, perbuatan sewenang-wenang dalam mengharamkan, sesungguhnya sangat menciderai tradisi hukum Islam. Daya hidupnya, orisinalitasya, dan ketetapannya mulai pudar, akibat obralan fatwa dari aktivis Islam yang, sebenarnya, Ilmu yurisprudensinya sangat kurang. Hal demikian sama saja memutuskan hubungan dengan tradisi dan etika cendekiawan Islam. Kita perlu melawan tipe masadepan masyarakat Muslim yang berpandangan sempit dan tertutup, yang diisyaratkan oleh fenomena ‘ustadz yang mudah mengharamkan’ ini.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.