Peran Wanita Pada Awal Pembukuan Al-Quran

KhazanahPeran Wanita Pada Awal Pembukuan Al-Quran

Ilmu pengetahuan tentang awal mula Islam selama ini lebih banyak berfokus pada tindakan para sahabat laki-laki Nabi Muhammad SAW. Namun faktanya, beberapa sejarawan menunjukkan bahwa perempuan juga memainkan peran penting dalam urusan agama di awal kelahirannya. Di antaranya ialah Hafsah binti Umar, salah satu istri Nabi SAW, yang terlibat langsung dalam proses pembakuan inti spiritual dan ajaran Islam, yaitu mushaf al-Quran yang Mulia.

Selama masa hidup Nabi dan bahkan setelah kematiannya, al-Quran belum disusun menjadi sebuah kitab seperti sekarang. Al-Quran hanya dihafal oleh para sahabat, ditulis di atas kayu, di atas batu, atau di kulit. Baru di era Khalifah Abu Bakar, proyek pengumpulan catatan al-Quran dimulai. Menyusun al-Quran dalam satu mushaf atau salinan tertulis merupakan kepentingan mendesak pada waktu itu karena banyaknya kaum penghafal al-Quran yang gugur dalam perang. Cacatan al-Quran pun pertama kali dikumpulkan pada masa kepemimpinan Abu Bakar. Setelah Abu Bakr RA meninggal, salinan al-Quran itu disimpan oleh Umar bin Khattab RA. Setelah Khalifah kedua itu wafat, mushaf pertama tersebut akhirnya disimpan dan dijaga oleh Hafsah RA. 

Tugas penting yang dipercayakan kepada Hafsah RA ini menunjukkan bahwa wanita terlibat dan bertanggung jawab untuk menjaga kalimat-kalimat Allah yang suci, dan perannya tidak kurang penting sahabat laki-laki. Kepercayaan pemimpin Muslim awal untuk menitipkan penjagaan mushaf pertama kepada Hafsah tentu tidak terlepas dari kapasitasnya dalam ilmu dan pembelajaran al-Quran sendiri. Sebab, tidak mungkin tulisan suci yang begitu berharga itu dipercayakan kepada sembarang orang. 

Dalam Hadis-hadis utama tentang bagaimana ayat-ayat al-Quran dikodifikasikan, Hafsa memainkan peran instrumental. Halam hal ini, Ruqayya Khan, Ketua Studi Islam di Claremont Graduate University, telah menulis artikel penelitian yang cukup kontroversial berjudul ‘Did a Woman Edit the Qur’an? Hafsa’s Famed Codex‘ (2014). Di dalamnya, ia meneliti keterlibatan wanita ketika Al-Quran dibentuk menjadi sebuah buku pada pertengahan abad ketujuh.

Dalam penelitian Ruqayya Khan tersebut, berbagai sumber sejarah klasik Islam menggambarkan Hafsa RA sebagai orang wanita literat yang sangat cerdas dan melek huruf. Hafsa dengan jelas disebutkan sebagai orang yang fasih berbicara, membaca, dan menulis. Perannya, tidak diragukan lagi, amat sentral dalam proses pelestarian al-Quran.

Hafsah RA adalah putri tertua dari pria terbesar kedua dalam Islam, Umar bin Al-Khattab. Ia menikah dengan Nabi Muhammad SAW dan rukun dengan istri-istri Nabi SAW yang lain, terutama dengan Aisyah RA. Hafsa RA dikenal sebagai “wanita yang banyak berpuasa dan banyak berdoa”. Dia mewarisi kekuatan dan kecerdasan ayahnya, Umar bin Khattab.  Hafsah RA merupakan salah satu wanita terpelajar pada masanya, ia sering berdiskusi dengan Nabi Selain itu, dia sangat berpengetahuan sehingga saudara laki-lakinya, Abdullah bin Umar, juga belajar darinya.

Baca Juga  Anjuran Ulama Salaf Agar 'Melokal'

Hafsah RA dipercaya sebagai ahli al-Quran awal, lisan maupun tulisan. Ia adalah orang yang dicari ketika seseorang merasa ada bacaan al-Quran yang kurang jelas. Sebagaimana dikutip Ruqayyah Khan, Abu al-Aswad meriwayatkan bahwa Urwa bin al-Zubayr berkata, “Orang-orang berbeda pendapat tentang bacaan ‘Lam yakunil ladzina kafaru min ahlil-kitabi… (QS. Al-Bayyinah: 1). Lalu, Umar bin Al-Khattab mendatangi Hafsah, membawa secarik kulit. Dan ia berkata, “Ketika Rasulullah datang kepadamu, mintalah dia untuk mengajarimu Lam yakunil ladzina kafaru min ahlil-kitabi.. dan katakan padanya agar menuliskannya untukmu di kulit ini”. Hafsah melakukan ini, dan Nabi SAW menuliskannya untuknya sehingga bacaan ini menjadi umum dan tersebar luas.

Dalam riwayat lain, sekitar tahun 650-an, Khalifah Utsman bin Affan berusaha untuk membakukan satu set teks al-Quran, yang dapat dikirim ke penjuru wilayah Muslim yang sedang berkembang. Untuk merealisasikan proyek besar ini, Khalifah mengirim seorang utusan kepada Hafsah untuk meminjam salinan al-Quran yang dimilikinya. 

Hafsah RA sangat berhati-hati dan teliti dalam meminjamkan manuskripnya. Ia memastikan dengan sungguh-sungguh agar mushaf otentik itu dikembalikan segera kepadanya segera. Khalifah pun berjanji untuk mengembalikan mushaf asli itu dengan baik, “Kirimkan lembaran (suhuf) tersebut kepada kami sehingga kami dapat menyalinnya ke dalam kodeks (mushaf), dan kemudian kami akan mengembalikannya kepadamu” (HR. Bukhari).

Dokumen asli al-Quran pertama itu terus dijaga oleh Hafsah RA selama hidupnya. Dia mencegah upaya gubernur Madinah, Marwan bin Hakam, yang berniat memusnahkan lembaran-lembaran ini karena telah ada mushaf yang resmi dari Khalifah. Baru setelah Hafsah meninggal pada tahun 665, manuskrip al-Quran pertama itu akhirnya dimusnahkan oleh Marwan. Sampai hari ini, seluruh umat Islam merujuk pada Mushaf Usmani yang merupakan versi resmi dari kodofikasi al-Quran awal, yang disalin langsung dari mushaf pertama yang dijaga oleh Hafsah RA. Jadi, melalui sejarah ini, kapasitas wanita telah diakui untuk mengurus urusan agama yang amat pokok sejak era awal Islam.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.