Bahagia Cara Stoa

KhazanahBahagia Cara Stoa

Kehendak bahagia adalah arti yang ingin dituju hampir tiap manusia. Kita kini hidup di era algoritma serta kecerdasan buatan dengan janji-janji kemudahan dan penyelesaian persoalan. Namun sisi besar yang terasa justru kerumitan dan kebahagiaan yang kian kabur maknanya. Barometer bahagia selama ini dititikberatkan pada status kaya, kepemilikan jabatan, popularitas, atau hal-hal material lainnya. Sejenak mungkin itu mendatangkan kebahagiaan. Namun belum bisa membimbing pada jantung ketenteraman. Filsafat Stoikisme, Stoisisme, atau juga kerap disebut Stoa menawarkan gagasan yang relatif praktikal dengan ide-ide yang tidak rumit tentang bagaimana cara hidup bahagia yang semestinya.

Adalah Zeno, seorang dari Citium Yunani yang menggagas mazhab filsafat Stoikisme sekitar abad ke-3 SM. Zeno mendirikan madrasah filsafatnya di bawah stoa poikile yang berarti “beranda berlukis”. Di tengah beranda panjang dengan pilar-pilar, dipenuhi mural dan orang lalu lalang, mereka sekadar berbincang hingga berbisnis, Zeno menggelar kelasnya, berjalan kesana-kemari penuh semangat. Nama tempat itu kemudian dinisbatkan pada alirannya; Stoa. Dan para filsufnya dikenal dengan sebutan Stoik.

Aliran filsafat ini sedang cukup populer di kalangan masyarakat saat ini. Kompatibilitas aliran tersebut dengan kondisi kehidupan sekarang yang penuh gejolak dan disorientasi, nampaknya yang membuat Stoikisme bersinar. Kesesuaian itu diungkap pula oleh Eric Weiner dalam The Socrates Express yang mengistilahkan, Stokisme adalah filosofi orang-orang berumur. Dalam arti filosofi bagi mereka yang melalui beragam kesulitan hidup, merasakan periode kekecewaan, mengalami kehilangan, dipermalukan, ataupun pengalaman terendah lain yang memberatkan.

Diktum esensial ajaran Stoa ialah “ubah apa yang bisa kau ubah, dan terima apa yang tidak bisa kau ubah”. Dengan kata lain, kebijaksanaan Stoa mengajarkan kita untuk membedakan mana perihal yang dapat kita kendalikan dan mana yang tak dapat kita kendalikan, kemudian fokuslah pada apa yang bisa kita kontrol. Prinsip itu dinamakan dikotomi kendali (dichotomy of control). Ini adalah teori untuk menyikapi hidup, sebuah manajemen ketidakpastian. Ajaran Stoa adalah pegangan untuk menyikapi tabiat kehidupan yang tidak pasti. Bijak memilah porsi kendali merupakan cermin manusia bernalar.

Dalam bahasa agama, inti ajaran Stoikisme tersebut sejajar dengan prinsip tawakal. Yang mana, setelah kita mengupayakan maksimal sesuatu, kita serahkan selebihnya pada kerja-kerja Tuhan. Tawakal berarti sadar mengerjakan apa yang menjadi kapasitas kita, dan memasrahkan porsi yang bukan menjadi kendali kita. Atas dasar percaya, kita serahkan sisi akhir harapan itu pada kuasa Tuhan. Sadar akan pembagian kerja semacam ini merupakan sumber ketenangan bagi batin, karena emosi-emosi negatif seperti rasa takut, cemas, atau iri hati telah terbatasi.

Baca Juga  Puasa Sebagai Perisai

Gagasan tentang dikotomi kendali itu menjelaskan pula bahwa cara bahagia adalah dengan hidup sesuai dengan kodrat. Jalani kehidupan sesuai dengan peran dan jalankan apa yang menjadi kewajiban. Bahagia sejati dapat diraih melalui cara hidup yang selaras dengan semesta. Dalam hal ini kita belajar mengendalikan diri, mencintai takdir. Praktik demikian akan membuat kita lebih peka pada ledakan-ledakan kecil kebahagiaan. Momentum yang kita lalui, hidup yang kita jalani, menjadi diri sendiri, hal-hal yang selama ini terlihat reguler itu tiba-tiba bisa menjadi pemicu rasa bahagia.

Kita hidup pada masa di mana kita didoktrin bahwa segalanya ada di bawah kendali kita. Apabila kita tak lebih sukses, pintar, kaya, atau cantik ketimbang orang lain, itu karena kita tak berusaha cukup keras. Mengesankan bahwa kita pemegang satu-satunya tuas takdir. Menormalisasi bahwa titik tumpu kausalitas hidup adalah semata-mata diri kita. Asumsi umum semacam ini yang kerap membuat seseorang tertekan, membandingakan diri dengan orang lain bukan dalam orientasi yang positif, hingga menyalahkan diri sendiri.

Sebetulnya saat demikian, kita tengah kebingungan di mana letak kedaulatan kita. Banyak hal yang kita anggap ada dalam kendali kita ternyata tidak. Benar, kita merawat diri sedemikian rupa, berdandan, tapi itu tak akan bekerja pada penilaian orang yang memang menaruh rasa tak suka pada kita. Kita bisa giat bekerja hingga lembur berhari-hari di kantor, namun boleh jadi atasan kita menghalang-halangi jalan karir kita karena sentimen ras.

Stoikisme mengajarkan kita prinsip indifferent, yakni keadaan netral, tidak berpengaruh. Sebuah kata kunci untuk menghadapi situasi di luar harapan dan kendali kita. Ini adalah pengaturan bahwa tak ada yang bisa menyakiti diri kita tanpa izin kita. Orang bisa saja melukai tubuh kita, tapi bukan diri kita. Indifferent mengajarkan kekebalan diri pada banyak kondisi, tidak menggantungkan kebahagiaan pada variabel luar atau validasi orang asing.

Segala kecemasan kita adalah reaksi atas kehilangan atau keburukan yang kita bayangkan. Banyak hal di dunia ini yang memang di luar kontrol kita. Namun kita punya kendali atas yang signifikan, yaitu pendapat, hasrat, dorongan hati, kehidupan emosional dan mental. Kendali atas hal-hal itu barangkali tak mengubah hasil atau kondisi, namun mengubah cara kita menjalaninya. Lakukan apa yang harus kau lakukan, dan biarkan yang mesti terjadi. Dan ledakan kebahagiaan akan bersahaja menghampiri. Ruh filsafat merupakan ajaran kebijaksanaan. Maka geraknya akan membimbing manusia menuju altar kearifan. Stoikisme adalah manual book yang layak diselami untuk membentuk pribadi tangguh. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.