Kristen dalam Pemerintahan Islam Awal: Hadis (Bagian I)

RecommendedKristen dalam Pemerintahan Islam Awal: Hadis (Bagian I)

Sebelum mendiskusikan sumber-sumber historis ada baiknya ditelusuri keterlibatan non-Muslim dalam peperangan pada zaman Nabi, sebagaimana disebutkan dalam korpus hadis. Apakah Nabi mengizinkan non-Muslim berpartisipasi, dan jika jawabannya “Ya,” dalam bentuk apa serta apakah mereka mendapatkan porsi harta rampasan?

Kitab-kitab hadis mencatat beberapa riwayat yang memperlihatkan, di satu sisi, Nabi mengizinkan partisipasi non-Muslim dan, di sisi lain, tidak. Perbedaan riwayat ini berimplikasi terhadap perbedaan pendapat di kalangan fuqaha belakangan. Sebagaimana akan disebutkan nanti, sebagian besar fuqaha membolehkan keterlibatan non-Muslim dalam peperangan bersama kaum Muslim.

Riwayat-riwayat seputar masalah ini dapat ditemukan berserakan dalam berbagai kitab hadis, dan sebagian besar dalam bab “jihad” dan “siyar.” Yang pertama terkait peperangan dan kedua terkait hubungan dengan dunia luar.

Hadis-hadis yang (dipahami) membolehkan biasanya berbentuk praktik yang terjadi pada zaman Nabi di mana non-Muslim terlibat atau diminta bantuan berpartisipasi dalam peperangan. Saya belum menemukan pernyataan resmi Nabi sendiri, melainkan riwayat tentang keterlibatan mereka.

Misalnya, Ibn Abbas menyebutkan “ista’ana rasul Allah bi-yahud Qainuqa’ fa-radhakha lahum wa-lam yushim” (Rasulullah minta bantuan Yahudi Banu Qainuqa’ dan memberi mereka sedikit upah dan bukan porsi harta rampasan [sebagaimana diberikan kepada pejuang Muslim]).

Riwayat serupa tentang keterlibatan Yahudi diatribukan kepada Zuhri. Bedanya, dalam riwayat ini, mereka mendapatkan bagian sebagaimana diterima pejuang Muslim. Dalam hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, Abdurrazzaq, Baihaqi dan lainnya, disebutkan “kana yahud yaghzuna ma’a al-nabi fa-yushim lahum ka-siham al-muslimin” (Orang-orang Yahudi dulu berperang bersama Nabi dan dia memberi mereka dan kaum Muslim porsi [harta rampasan] yang sama).

Sebagian hadis dalam kategori ini menyebutkan secara eksplisit lokasi peperangan dan sebagian lain tidak. Dalam Sunan al-Tirmidzi, misalnya, partisipasi 10 orang Yahudi terjadi dalam peperangan Khaibar. Menarik dicatat, perang Khaibar itu melawan kelompok Yahudi sendiri. Jadi, Nabi meminta bantuan Yahudi untuk memerangi Yahudi.

Riwayat Ibn Abbas yang disebutkan di atas tidak secara spesifik menyebut lokasi peperangan. Perlu juga dicatat, bukan hanya Yahudi yang berpartisipasi dalam peperangan. Orang-orang musyrik pun terlibat dalam peperangan bersama Nabi. Dalam kitab al-Umm, Syafi’i menyebut keterlibatan Safyan ibn Umayyah, seorang musyrik, dalam perang Hunain.

Sementara hadis-hadis yang (dipahami) melarang keterlibatan non-Muslim banyak yang berbentuk pernyataan Nabi. Misalnya, Nabi bersabda: “fa-lan asta’ina bi-musyrikin” (Saya tak akan pernah minta bantuan orang musyrik). Pernyataan ini dikatakan Nabi menjelang perang Badar di mana dia bertemu seseorang yang dikenal “jagoan” berminat ikut berperang. Nabi bertanya apakah orang itu beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Ketika dijawab “Tidak,” Nabi tidak berkenan.

Baca Juga  Nabi SAW Menekankan Hak Kaum Buruh

Namun, di saat lain, orang yang sama menemui Nabi menyampaikan hasratnya untuk berperang. Terjadi dialog serupa, dan orang itu menyatakan beriman. Maka, Nabi merespons “fa-inthaliq” (Sana berangkat perang). Hadis ini dapat dibaca dalam Shahih Muslim, dan versi berbeda dapat ditemukan dalam banyak kitab hadis.

Dalam perjalanan menuju Uhud, Nabi melihat satu unit pasukan yang dipimpin oleh Abdullah ibn Ubai ibn Salul. Ketika diketahui bahwa mereka belum masuk Islam, Nabi bersabda: “fa-inna la-nasta’inu bi’l-kuffar ‘ala al-musyrikin” (Sesungguhnya kami tidak mencari bantuan orang-orang kafir dalam perang melawan orang-orang musyrik.”

Juga disebutkan sebelum perang Uhud, beberapa sahabat bertanya apakah mereka diizinkan mencari bantuan dari orang-orang Yahudi. Dan Nabi tegas menjawab: “La-hajata lana fihim” (Kami tak butuh mereka).

Dalam beberapa riwayat lain kerap dijumpai dialog antara Nabi dan kelompok non-Muslim yang ingin terlibat dalam peperangan. Dan dalam dialog itu pertanyaan seputar apakah mereka telah masuk Islam atau tidak kerap dilontarkan Nabi. Jika jawabannya afirmatif, mereka diizinkan, namun jika tidak, maka Nabi tidak membolehkan.

Dalam diskursus fikih, mayoritas fuqaha berpendapat bahwa non-Muslim boleh terlibat dan/atau dimintai bantuan dalam peperangan. Sebagian kecil, termasuk Ibn Hazm, tidak membolehkan berdasarkan hadis-hadis kategori kedua. Kalangan mayoritas merujuk pada riwayat-riwayat yang membolehkan. Bahkan orang seperti Ibn Hazm tidak menampik kemungkinan keterlibatan non-Muslim jika hal itu dirasakan ada manfaatnya.

Dalam bacaan saya, tak ada fuqaha yang mencoba merekonsiliasi kontradiksi hadis di atas, kecuali Syafi’i. Menurut Syafi’i, hadis-hadis yang melarang itu terjadi di awal kehidupan Nabi di Madinah di mana terjadi peperangan, seperti Badar dan Uhud. Karena itu, ia menerapkan konsep “nasakh” (abrograsi), yang berarti hadis-hadis yang melarang telah dihapus oleh hadis-hadis yang membolehkan.

Narasi hadis dan diskursus hukum ini masih dipincangkan orang hingga sekarang. Ketika Saddam Hussein menginvasi Kuwait tahun 1990, muncul perdebatan sengit apakah kaum Muslim boleh meminta bantuan Amerika untuk memerangi Irak, yang nota bene pasukannya beragama Islam? Artinya, orang Islam minta bantuan orang kafir untuk membunuh orang Islam.

Terlepas dari kontroversi itu, data-data hadis di atas menarik untuk dianalisis lbh jauh — sejauhmana hadis-hadis merefleksikan konteks dan suasana psikologis di masa kemunculannya. Analisis dan tipologi lebih detail dapat dilakukan jika tema ini dikembangkan sebagai buku.

Tulisan lanjutannya akan menelusuri bagaimana sumber-sumber narasi historis menggambarkan, jika ada, keterlibatan non-Muslim, terutama Kristen, dalam peperangan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

1 KOMENTAR

  1. Yah, tulisannya ada yang perlu diperbaiki, Pak.
    Jangan bilang, “Fuqaha tidak ada yang mau ngebahas kecuali Imam Syafi’e.” Seakan-akan para ulama Fikih yang ada setelah Imam Syafi’e sampai Syekh Ali Goma sekarang tidak ada yang nyinggung Hadis tersebut. Logikanya ke mana?
    Karena dalam uslub “qosr” juga ada “Istisna” -nya. Berarti itu sangat khusus.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.