Imam Malik yang Tidak Jumawa

KhazanahImam Malik yang Tidak Jumawa

Salah satu karya Imam Malik yang paling fenomenal adalah kitab Al-Muwatta’. Kitab tersebut diakui sebagai karya pilihan yang tiada duanya, dikarenakan memuat hadis-hadis pilihan yang paling shahih yang dipilih dengan penelitian paling cermat. Syahdan, Khalifah Jafar al-Mansur suatu ketika pernah meminta sang Imam agar karyanya dijadikan sebagai undang-undang, yang mana semua orang harus mengikuti apa yang tertera dalam kitab tersebut.

Dalam buku Ketawa Sehat Bareng Ahli Fikih (2017), dikisahkan saat tengah menunaikan ibadah haji sang khalifah menemui Imam Malik dan menanyakan rencananya. “Aku berencana menyalin buku yang telah kamu susun itu kemudian aku kirimkan ke setiap wilayah kaum Muslim agar mereka mengikuti isinya dan tidak mengikuti yang lainnya,” ucap Khalifah al-Mansur.

Mendengar tawaran tersebut, Imam Malik merasa berat hati dan menolak. “Wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau lakukan tindakan itu, karena berbagai pendapat telah tersebar lebih dahulu sampai kepada mereka. Mereka telah mendengar banyak hadis dan meriwayatkannya. Setiap kaum telah mengikuti apa yang terlebih dahulu sampai an menyampaikannya kepada beraneka ragam manusia. Maka biarlah mereka memilih sendiri,” jelas Imam Malik.

Dalam versi lain ada pula yang menisbatkannya kepada Khalifah Harun al-Rasyid. Disebutkan bahwa Khalifah Harun al-Rasyid pernah meminta izin kepada Imam Malik agar kitab Al-Muwaththa’ digantungkan di atas Ka’bah lantas memaksa orang-orang untuk mengikuti isinya. Namun, Imam Malik menolak dan mengatakan, “Wahai Khalifah janganlah engkau lakukan itu. Karena para sahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam permasalahan furu (cabang), lagi pula mereka terpencar di beberapa negeri,” kata Imam Malik.

Khalifah Harun al-Rasyid menjawab, “Semoga Allah memberikan taufik kepadamu, wahai Abdullah,” pungkasnya.

Baca Juga  Mengukuhkan Identitas Keindonesiaan Muslim

Dari sini kita bisa melihat jawaban Imam Malik yang tidak ingin jumawa terhadap karyanya. Kalau bukan disebabkan kerendahhatian, boleh jadi Imam Malik menerima tawaran tersebut agar dapat memiliki kedekatan khusus dengan keluarga khalifah yang membawa banyak pundi-pundi materi. Di samping bisa memuaskan hasrat kepopuleran, tawaran tersebut tentu sangat menggiurkan untuk mempromosikan karyanya yang memang terkadung bagus sampai-sampai membuat khalifah tertarik.

Namun, kesempatan itu tidak diambil Imam Malik. Penulis teringat dengan kelompok Mu’tazilah yang memanfaatka kedekatannya dengan sang khalifah untuk menyebarluaskan pendapatnya, bahwa al-Quran itu makhluk. Peristiwa Mihnah terjadi pada masa Khalifah Al-Ma’mun, yaitu ujian keyakinan yang ditujukan kepada para ulama, ahli hadis, dan hukum sehubung dengan penciptaan al-Quran.

Secara sewenang-wenang khalifah al-Ma’mun menghukum mereka yang pendapat kalau al-Quran itu bukan makhluk. Jika satu paham akidah itu saja menimbulkan kekacauan pada masa tersebut, maka bagaimana dengan satu isi kitab Al-Muwaththa’. Tentu ada banyak perbedaan, karena tidak mudah menerima pemahaman baru, sementara mereka lebih dahulu mengikuti suatu aliran atas kesadaran dan tanpa paksaan.

Oleh karena itu, sifat Imam Malik merupakan teladan bagi para ulama atau mereka yang tengah menjalin kedekatan dengan para pejabat atau petinggi lainnya. Sudah sepatutnya kedekatan itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi sementara orang lain mendapat limbahnya. Seorang ulama yang benar ‘alim tidak akan melakukan demikian, karena bertentangan dengan fitrahnya sebagai orang yang memberi maslahat bagi masyarakat, bukan mencari keuntungan individu.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.