Mengakui Ketidaktahuan adalah Akhlak Orang Berilmu

KhazanahHikmahMengakui Ketidaktahuan adalah Akhlak Orang Berilmu

Seorang berilmu selalu melek kapasitas dirinya. Tahu kapan ia harus diam, kapan pula ia pantas bersuara. Reputasi keilmuan, tak akan mencegah seorang intelektual sejati untuk mengakui ketidaktahuan bilamana ia memang tidak mengerti. Perkara tahu dan tidak tahu itu bukan menjadi pertaruhan kosmis harga diri atau gengsi, melainkan dipandang sebagai pertanggungjawaban amanah ilmu di hadapan Allah. Meneguhi prinsip laa adri (mengakui ketidaktahuan) merupakan akhlak seorang berilmu.

Di masa sekarang, kemudahan akses berekspresi di milieu digital menyisihkan fenomena dakwah populer yang problematis di masyarakat kita. Jalinan kondisi masyarakat yang diburu rasa haus wawasan agama, berpadu dengan ekosistem digital yang terbuka, menjadi lahan subur bagi penceramah-penceramah karbitan, yang rata-rata berpengetahuan sekadarnya. Prinsip ballighu ‘anni walau ayah, menjadi pelecut dakwah mereka, yang membuat mereka tak ragu menjawab semua aduan persoalan ataupun pertanyaan yang diajukan audiens.

Perkaranya, jawaban yang diberikan malah tak jarang memicu kisruh dan perdebatan akibat jawaban asal kutip dalil tanpa elaborasi permasalahan yang diajukan. Selama ada nukilan ayat al-Quran atau riwayat hadis, perkara seolah beres dan penanya juga terpuaskan. Reputasi si penceramah bertumpu pada anggapan serba bisa atas dirinya. Malu bukan kepalang jika ia ditundukkan pertanyaan jemaahnya, sehingga bahkan pertanyaan di luar jangkauan bidangnya pun tetap diladeni.

Gus Mus pernah menyampaikan, di antara tanda orang bodoh itu kalau ditanya apa saja pasti menjawab. Sebaliknya, semakin orang berilmu semakin sadar jika ia sejatinya tidak tahu. Muncul sikap rendah hati dan ia akan lebih cermat dalam menyampaikan ilmu. Meminjam klasifikasi Imam al-Ghazali tentang golongan manusia, orang yang merasa tahu, merasa berilmu, merasa berhak menjawab semua permasalahan padahal kosong wawasan, ia tergolong sebagai rojulun laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri (orang yang tidak tahu dan tidak mengetahui bahwa ia tidak tahu). Ucapan orang semacam ini cenderung misleading dan merugikan karena berisik tapi tak dilandasi dengan ilmu.

Berbanding terbalik dengan perilaku orang-orang berilmu. Mereka tidak menggunakan pendekatan quick-fix dalam menjawab persoalan yang diajukan kepada mereka. Model awal yang tak segan mengakui ketidaktahuan dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri. Beliau katakan “Aku tidak tahu” dan menangguhkan jawaban yang tak diketahuinya hingga mendapat petunjuk dari Allah. Misalnya, diriwayatkan oleh Jubair bin Muth’im, bahwa Nabi pernah didatangi lelaki yang menanyakan tentang tempat yang paling dicintai Allah dan dibenci-Nya. Rasulullah dengan legowo pun menyampaikan ketidaktahuannya.

Baca Juga  Wassalamu ‘Alayya Yauma Wulidtu, Ayat Selamat Natal

Sikap demikian juga diadopsi oleh para sahabat Nabi, di antaranya adalah jajaran khulafaurrasyidin. Justru karena berilmu, mereka terbuka menyatakan sesuatu yang mereka tak ada ilmu di dalamnya. Sayyidina Ali dengan popularitasnya sebagai gerbang pengetahuan Nabi pun mengingatkan agar tidak malu mengikrarkan laa a’lam (tidak tahu) jika memang tak paham, tak perlu malu pula untuk belajar.

Estafet prinsip jujur mengakui keterbatasan itu juga ditunjukkan ulama-ulama kita. Para pemuka mazhab fikih yang merupakan tokoh sentral di masyarakat dan eranya kala itu, tentu menjadi rujukan dan harapan penyelesai problematika sosial. Benar saja ketika Imam Malik hanya menyanggupi untuk menjawab lima dari empat puluh pertanyaan yang diajukan kepadanya, di mana selebihnya dijawab “tidak tahu”, si penanya itu menyangsikan dan berbalik protes, bahwa pertanyaan itu tergolong ringan. Kurang lebih ia berasumsi, bagaimana bisa seorang Imam Malik tak dapat menjawab pertanyaan yang mudah itu. Imam Malik menimpalinya dengan berkata, bahwa tak ada yang ringan dari pertanggungjawaban suatu ilmu di hadapan Allah. Sebab itu ia sangat berhati-hati dalam sikapnya.

Berikrar “tidak tahu” bukan berarti bodoh, bukan pula lemah. Orang berilmu akan mengukur antara ucapan, landasan keilmuan, dan maslahat apa yang akan dihasilkan dari perkataannya. Keberanian untuk jujur adalah jalan keselamatan baginya dan orang lain. Sebaliknya, merasa serba tahu dan berbicara atas dasar ilusi pengetahuan ialah gerbang celaka. Sudah menjadi karakter alamiah manusia untuk tak mengetahui segala perkara, atau tahu seseuatu kemudian lupa. Karena itu kita diperintah belajar seumur usia. Tugas manusia adalah bisa merasa bukan merasa bisa. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.