Belajar Bernalar dalam Beragama

KolomBelajar Bernalar dalam Beragama

Rendang, Padang, dan Minang sedang ramai diperbincangkan. Urat perkaranya karena babi, binatang yang diputuskan haram dikonsumsi dalam aturan Islam, pernah diuji coba menjadi material masakan rendang oleh seorang pengusaha di bilangan Jakarta Utara. Kolaborasi babi dan rendang ini dinilai merusak tradisi dan menyinggung masyarakat terkait, sebab bertolak belakang dengan falsafah Minang yang sarat nuansa Islam. Peristiwa yang menyebabkan geger di media ini menarik beberapa hal untuk diperhatikan, utamanya terkait sikap keberagamaan yang semestinya didahului pertimbangan nalar.

Kabar tentang rendang babi ini bermula dari akun di media sosial yang menyebarkan informasi tentang akun instagram yang menjual rendang babi secara daring. Pro-kontra pun merebak di masyarakat. Perkara kian panas ketika dai, politisi, juga influencer saling adu komentar. Si pemilik usaha Babiambo yang diketahui bernama Sergio itu pun kemudian digelandang ke Polsek Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Jumat (10/6/2022) guna diperiksa dan dimintai keterangan.

Kuliner memang menjadi salah satu produk budaya dengan kekhasan masing-masing. Ada radar sensitivitas di sekitar makanan dan budaya, karena ia tumbuh dekat dengan masyarakat terkait, di mana makanan itu bisa menjadi sesuatu yang kuat bagi mereka. Sebab itu, adanya penolakan saat babi dan rendang disandingkan adalah reaksi yang bisa dimengerti. Yang perlu digarisbawahi ialah tanggapan berlebihan, kasar, hingga bumbu politis yang disertakan atas kejadian ini.

Di antara masyarakat, ada yang menanggapi kasus ini secara meledak-ledak dalam bingkai sentimen agama, merasa Islam dilecehkan, bahkan dinilai ada motif ingin melemahkan nilai-nilai Islam. Terlampau jauh anggapan demikian. Orang semacam itu terlalu didikte kecurigaan pada hal-hal yang dikenal tak islami. Keberadaan makanan haram seolah-olah merupakan invasi pada akidah dan Islam itu sendiri. Padahal, urusan halal-haram makanan Islam sudah jelas mengatur, dan kita punya kendali diri untuk cukup tidak mengonsumsi yang haram, tanpa harus bersikap sembrono ataupun ofensif.

Saat sentimen politik disertakan dalam persoalan ini, raut keberagamaan masyarakat kian memprihatinkan. Religiositas mereka direcoki politik identitas yang membuat segregasi sosial. Novel Bamukmin, yang merupakan Wasekjen PA 212, menyebut kemunculan warung Padang yang menjual rendang babi baru muncul di era Presiden Jokowi, sebagaimana melansir dari populis.id Sabtu (11/6/2022). Ia bahkan secara lantang menuntut agar pemilik usaha itu diadili, kalau tidak mau umat Muslim tersulut untuk bertindak menghakimi sendiri. Sebuah narasi politis yang diadakan untuk menggiring sikap keberagamaan masyarakat ke wilayah politik identitas.

Sensitivitas masyarakat terhadap pantangan-pantangan yang bersifat agama, memang amat gampang menjadi kendaraan politik oknum tertentu. Babi serta unsur-unsur terkaitnya telah lama menjadi komoditas yang dimainkan sebagai alat politik yang mengusik publik, seperti halnya dalam kasus vaksin.

Jika seseorang menyertakan nalar, mempertimbangkan bobot akibat baik buruk dari suatu pernyataan, ia akan lebih waspada dan tidak reaktif dalam berkomentar secara luas ke masyarakat. Orang-orang yang mendaku sebagai pemuka agama ataupun penceramah, semestinya mengarahkan sikapnya pada prinsip maslahat, menghindari perpecahan di masyarakat, bukan malah membimbing menuju baku hantam verbal di antara mereka.

Baca Juga  Hakikat Perjalanan

Persoalan menjadi amat menggelitik, ketika diketahui ternyata resto daring itu telaah ditutup sejak dua tahun silam, di tahun 2020. Pemiliknya amat tercengang ketika warung yang tak lagi beroperasi itu tiba-tiba menjadi buah bibir hingga membuatnya dipanggil aparat polisi. Tidak adanya upaya cross check sebelum membagikan informasi telah menimbulkan kegaduhan publik yang tak perlu. Apalagi ketika yang menyebarkan kabar itu adalah penceramah dengan ratusan ribu pengikut, dampaknya kian melebar karena jangkauan pengaruhnya yang luas.

Fakta bahwa usaha itu hanya bertahan sekitar tiga sampai empat bulan, sebagaimana keterangan Sergio–dengan asumsi warga Indonesia didominasi Muslim–adalah bukti sahih, bahwa masyarakat kita, tanpa perlu diprovokasi, mampu tetap berpihak pada prinsip agamanya tentang halal haram makanan.

Poin kritis lain yang harus diperhatikan adalah semangat berdakwah sebagai wujud dari perilaku beragama, harus dibarengi literasi agar tidak berakibat kontraproduktif. Alih-alih mengedukasi, malah membuat ricuh situasi. Ketidakhati-hatian dalam bersikap, pada akhirnya mempermalukan diri sendiri, selain juga menimbulkan friksi sosial yang harus kita tanggung akibat perkara kadaluarsa.

Penataan nalar beragama amat penting. Benda haram dalam ruang pikiran masyarakat sudah seperti ancaman ultra. Hukum haram padahal terkait dengan perilaku mukalaf. Artinya keharaman babi itu bersangkutan langsung dengan perbuatan seseorang yang dikenai pembebanan hukum. Sedangkan babi sendiri tak memberi pengaruh hukum apa-apa pada kita selagi kita tak mengonsumsinya.

Sikap permusuhan kosmis pada obyek-obyek yang disebut haram, najis, pada gilirannya bisa menimbulkan insiden nalar yang memalukan dan memilukan. Kasus Yahya Waloni di mana ia sengaja menabrak anjing hingga luka parah karena merasa pantas menabrak binatang yang dihukumi najis, adalah contoh gamblang sikap beragama yang salah konsep dan minus nalar. Perintah mengasihi pun tak dikecualikan bagi hewan-hewan yang ditetapkan najis atau haram oleh Islam. Dalam satu kisah populer, anjing bahkan bisa menjadi wasilah rahmat Allah bagi seorang pendosa karena ia memberi hewan itu minum.

Adapun terkait kebudayaan dan bisnis rendang babi ini patut untuk didiskusikan. Seorang yang membuka bisnis, ia terlibat dengan publik. Ia membuat keputusan-keputusan terkait sasaran konsumen, siapa yang akan dipekerjakan, serta bagaimana keputusan itu akan berdampak di masyarakat. Persinggungan semacam ini sebetulnya tak akan meledak sedemikian rupa jika tak diprovokasi narasi-narasi padat sentimen.

Bukankah Allah dalam banyak tempat menyindir orang-orang yang tak berpikir? Dengan kata lain, mengoperasikan nalar dalam beragama atau berperilaku secara umum adalah keniscayaan bagi umat Muslim. Akal budi membantu kita untuk melihat suatu perkara, memilah, hingga mengarahkan bagaimana agar kita arif dan jernih dalam berperilaku. Wallahu a’lam. []   

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.