Kebebasan Beragama dalam Gagasan Spinoza

KhazanahKebebasan Beragama dalam Gagasan Spinoza

Agama adalah institusi yang memfasilitasi manusia untuk terkoneksi dengan Yang Sakral. Ia bertempat di area privat karena terkait erat dengan keyakinan seseorang. Aktualisasi keyakinan itulah yang kemudian disebut sebagai sikap beragama yang realitasnya demikian berwarna, suatu konsekuensi logis dari ragam penafsiran manusia. Ihwal beragama ini sayangnya masih lekat dengan persoalan klaim kebenaran tunggal yang bergerak militan di masyarakat. Akibatnya, narasi agung kebebasan beragama kerap diciderai penindasan serta diskriminasi, atas dukungan sentimen mayoritas-minoritas. Peristiwa kekerasan atas Ahmadiyah, Syiah, penganut aliran kepercayaan adalah contoh yang akrab di telinga kita.

Filsuf abad modern dengan nama utuh Baruch de Spinoza adalah pemikir yang menaruh perhatian cukup besar pada pentingnya kebebasan beragama. Konsep turunan yang menginduk dari gagasan umumnya tentang manusia yang bebas. Bagi Spinoza, manusia bebas ialah orang yang hidup atas tuntunan akal budi. Akal budi membebaskannya dari keterbelengguan, mengontrol diri dari nafsu buta dan keinginan liar. Dengan akal budi, manusia mampu mempertimbangkan antara baik dan buruk serta mengambil pilihan yang maslahat baginya, tak terkecuali pilihan bebas meyakini agama.

Kebebasan beragama merupakan hak kodrati manusia. Yang ditafsirkan lebih lanjut oleh Spinoza, bahwa tak ada seorang pun dapat memaksa orang lain untuk memeluk atau tak memeluk agama tertentu. Tidak pribadi, komunitas, tidak pula negara berhak mengintervensi keyakinan seseorang. Dalam hal ini, negara justru berperan signifikan sebagai pelindung utama masyarakatnya untuk berkeyakinan atau tidak beragama tanpa kekhawatiran akan sikap diskriminatif.

Spinoza menentang tajam praktik monopoli kebenaran tunggal. Ia berperilaku murni dan adil atas keyakinannya. Sebagai seorang keturunan Yahudi, ia menolak anggapan bahwa Yahudi adalah umat pilihan Yahwe. Sebab itu, permusuhan kalangan agamawan Yahudi terhadapnya pun tak terelakkan. Pemikiran Spinoza dianggap meresahkan sehingga ia dikucilkan. Sejak dasar, Spinoza meyakini tak ada bangsa yang dianak emaskan Tuhan. Tidak ada pula agama yang berhak memonopoli kebenaran. Menurutnya, tiap individu bisa mencapai pengetahuan tentang Allah dengan kerja akal budi.

Realitas yang ia saksikan di negerinya dan perjalanan pemikiran Spinoza telah membentuk gagasan kebebasan itu. Kehidupan beragama di Belanda di masanya penuh dengan konflik sejumlah pihak. Dalam internal Gereja Reformasi Belanda sendiri terjadi perseteruan. Keresahan Spinoza atas keadaan, berbuah kehendak untuk mengurai hak alamiah manusia untuk berkeyakinan bebas. Menurutnya, perjuangan menjalankan cinta kasih dan keadilan adalah yang terpenting dalam agama.

Baca Juga  Ngaji Maraqi Al-‘Ubudiyah: Memelihara Persahabatan (Bagian 1)

Menggeluti kebebasan atas arahan akal budi, di ujung jalan bakal mengantarkan seseorang pada pengenalan akan Allah serta kebahagiaan. Mengenal Tuhan adalah keinginan primordial yang mengisi kedalaman seorang manusia. Manusia berakal budi bebas mengambil keyakinan tertentu. Melalui gagasan Spinoza ini, manusia bisa mengenal Tuhan secara intelektual (amor Dei intelectualis). Pendek kata, kebebasan beragama yang mengacu pada akal budi adalah lintasan menuju tujuan sejati, yakni kebahagiaan mengenal Tuhan.

Mengenal Allah secara intelektual dalam kaitannya dengan kebebasan serta kebahagiaan manusia menunjukkan setidaknya dua hal. Kebebasan itu bersifat aktif, menunjukkan usaha, dan penuh energi, ini pertama. Kedua, mencapai tahap mengenal, mencintai Tuhan, dan berbahagia itu didasarkan pada pemahaman, pengertian, serta kesanggupan melihat segala hal dari sisi yang jernih.

Keleluasaan beragama adalah hak dasar manusia yang al-Quran pun menjaminnya. Tak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam) (al-Baqarah: 256). Wawasan teologis ini perlu menjiwai tiap entitas manusia dalam berbagai formatnya, mulai dari individu, komunitas, hingga institusi negara dalam konteks berkeyakinan.

Penghayatan agama yang dibarengi nafsu menindas yang liyan, cenderung menempatkan agama sebagai tujuan, bukan sarana. Agama yang dipertuhankan, bukan Tuhan itu sendiri. Dengan akal budi, manusia akan mampu melakukan autokritik pada nilai-nilai religiositas yang dianutnya. Bukan untuk merusak apa yang dinilai baik, tapi untuk mempertajam penghayatan tingkah beragama.

Mereka yang mendaku kebenaran mutlak tidak lain adalah manusia yang terpenjara. Beragama merupakan pilihan bebas manusia sesuai tuntunan akal budinya. Akal budi menjadi penunjuk arah keyakinan yang terbaik bagi seseorang. Demikianlah mengapa Spinoza meluhurkan akal budi, karena dengannya manusia mampu membaca kebebasan yang terarah. Obrolan lintas keyakinan adalah medium untuk menapaki pengalaman religius satu sama lain. Dengan mengenal dan bercengkerama harapan besarnya tak ada lagi sentimen ataupun perilaku tuna etika pada mereka yang tak berkeyakinan sama. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.