Ganyang Rezim Apartheid Israel

KolomGanyang Rezim Apartheid Israel

Dalam salah satu unggahannya pada Maret 2019 silam, Benjamin Netanyahu, yang ketika itu menjabat sebagai Perdana Menteri Israel berkata, “Israel bukanlah negara bagi semua warganya, (melainkan) sebuah nation-state bagi bangsa Yahudi dan hanya untuk mereka”. Ucapan itu menerangkan arogansi rasial yang kemudian bergulir menjadi aturan hukum yang hanya ditujukan bagi keuntungan orang-orang Yahudi semata, sementara Palestina dibiarkan menderita.

Duka derita bangsa Palestina hingga detik ini merupakan dampak dari cengkeraman sistem politik apartheid Israel. Sekalipun apartheid diasosiasikan dengan tragedi politik rasialis di Afrika Selatan abad ke-20 silam, tapi perilaku Israel secara terbuka telah memenuhi kriteria kejahatan apartheid. Istilah apartheid berlaku secara universal, merujuk pada diskriminasi yang dilestarikan suatu ras terhadap kelompok lain, serta penindasan sistematis yang merupakan pelanggaran kemanusiaan. Setidaknya, dua organisasi HAM internasional Human Right Watch (HRW) dan Amnesty International (AI) telah menegaskan adanya praktik apartheid Israel atas bangsa Palestina. Terkandung spirit anti-imperialisme dalam ungkapan “ganyang” yang dipopulerkan Sukarno sekian dekade silam. Semangat penolakan itu patut dikobarkan dalam melawan apartheid Israel yang tak hanya menjajah, tapi juga menista kemanusiaan.

Rezim apartheid secara konseptual memberlakukan sistem untuk mengontrol ekonomi, sosial, politik, bahkan hampir seluruh hajat hidup warga negara berdasar supremasi kulit putih serta diskriminasi ras, dalam hal ini adalah orang kulit hitam yang kemudian ditindas. Arti kata apartheid sendiri ialah keterpisahan. Pemisahan berbagai hak warga berdasar pertimbangan ras. Politik segregatif itu membagi penduduk Afrika Selatan menjadi empat kategori, yakni ras kulit putih, berwarna (campuran), India, serta Afrika. Beda status beda pula hukum yang berlaku atas mereka. Orang putih dianggap paling beradab dan kepentingannya harus selalu diutamakan.

Menunjuk Israel sebagai penyelenggara politik apartheid sangatlah berdasar. Amnesty International misalnya yang melakukan investigasi mendalam dan panjang hingga menghasilkan publikasi setebal 280 halaman. AI mengidentifikasi bagaimana kondisi lapangan dengan mengacu pada terminologi hukum internasional mengenai kejahatan apartheid. Laporan berjudul Israel’s Apartheid Against Palestinians: Cruel System of Domination and Crime Against Humanity menemukan praktik apartheid dalam kebijakan Israel. Israel membuat garis tegas bahwa orang-orang Palestina adalah golongan ras non-Yahudi yang derajatnya dianggap lebih rendah.

Pada 1948 ketika Israel mendeklarasikan diri sebagai negara di atas tanah Palestina, sejak itu apartheid mulai bekerja. Pemukiman warga Palestina secara simultan dihancurkan, hingga memaksa jutaan orang Palestina menggelandang menjadi pengungsi tanpa bisa kembali ke rumah mereka. Setelah Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur diduduki Israel akibat perang 1967, diskriminasi Israel semakin kritis. Taktik apartheid Israel guna melanggengkan dominasi dan kontrol tercermin dalam kebijakan-kebijakannya, berupa perampasan pemukiman warga Palestina untuk membangun tempat tinggal bagi Yahudi diaspora, tembok apartheid (pemisah) sepanjang hampir 800 km, hingga aturan pos pemeriksaan (check point) ketat khusus untuk warga Palestina yang mengakibatkan terbatasnya mobilitas mereka.

Jika dikroscek, orang-orang kulit hitam di bawah sistem apartheid saat itu banyak ditempatkan di wilayah perbatasan utara hingga timur Afrika Selatan. Tempat tinggal mereka dibedakan berdasar stratifikasi ras yang dilembagakan. Diskriminasi juga merambah domain pendidikan, pernikahan, hak politik, juga mobilisasi. Mereka yang berkulit hitam tak boleh berada di luar areanya lebih dari 72 jam tanpa izin khusus dari Native Labour Officer. Jika melanggar, penjara sanksinya.

Baca Juga  Menjadi Muslim yang Gemar Bersedekah

Pilar diskriminatif lain yang digulirkan Israel antara lain adalah ketimpangan struktur serta status kebangsaan dengan warga Israel, kebijakan militer yang mengikat kejam, juga pelarangan atas partisipasi politik bahkan hak untuk protes damai. Itulah mengapa beragam penderitaan, pelanggaran HAM, dan kesusahan hidup jutaan orang Palestina dalam kehidupan sehari-hari terus berlangsung. Tak lain karena jaringan sistem diskriminasi rasial yang dijalankan Israel.

Jurus jitu Israel untuk menjalankan operasi pemisahan dan melancarkan tekanan pada warga Israel dilakukan melalui sistem kartu penduduk. Cukup dengan satu kartu, orang Yahudi bisa hidup terjamin dan memperoleh aneka fasilitas yang memadai. Sedangkan kartu penduduk bagi warga Palestina dibedakan berdasar area tinggal yang terbagi menjadi empat macam. Jenis kartu menentukan apa saja hak yang diperoleh, tindakan yang boleh dilakukan, hingga tempat yang bisa dikunjungi.

Penduduk Gaza bisa dibilang sebagai kelompok paling menderita. Mereka terisolasi dari berbagai penjuru. Warganya dilarang bepergian ke Tepi Barat ataupun Yerusalem meskipun memiliki keluarga di sana. Gaza bahkan digambarkan sebagai penjara terbuka terbesar di dunia karena blokade Israel dari semua lini, baik darat, laut, maupun udara sejak 2007. Hal ini menimbulkan multi krisis di tanah Gaza.

Jenis berikutnya adalah pemegang kartu hijau yang beralamat di Tepi Barat. Mereka tinggal di pemukiman sesuai ketentuan Israel yang di sekelilingnya adalah rumah-rumah mewah warga Israel yang sejatinya ilegal. Yang mengantongi kartu jenis ini boleh pergi ke Yerusalem Timur atau Gaza namun setelah mendapat izin dari pihak keamanan Israel.

Selanjutnya orang Palestina yang bermukim di Yerusalem Timur mendapat kartu biru. Mereka tak dianggap warga negara Israel sehingga tak punya hak dalam pemilu. Jika di antara mereka meninggalkan Yerusalem Timur dalam waktu lama, mereka otomatis tak diperbolehkan untuk kembali.

Macam terakhir adalah orang Palestina yang memegang kartu kewarganegaraan Israel. Hak istimewa mereka reltif lebih banyak ketimbang tiga jenis sebelumnya. Golongan ini boleh turut serta dalam pemilu. Tapi tetap saja berbeda dengan privilese kelompok Yahudi. Hak tinggal mereka terbatas di area tertentu. Berbagai layanan masyarakat pun juga terbatas.

Israel menolak dituduh sebagai pelaku apartheid. Namun penyangkalan itu tidak lebih jelas dari fakta ideologi apartheid dalam sistem politik mereka. Konvensi Internasional tentang Kejahatan Apartheid 1973 secara jelas menyatakan, kejahatan apartheid mencakup kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik yang serupa mengenai pemisahan dan diskriminasi rasial, seperti yang dilakukan di Afrika Selatan dengan tujuan membentuk dominasi satu kelompok rasial terhadap kelompok rasial yang lain dan menjajah mereka secara sistematis. Telak, beginilah adanya Israel.

Hari demi hari rezim Zionis itu semakin pongah dengan kekejiannya. Israel tampil secara lengkap membawa unsur-unsur apartheid sekaligus kolonialisme. Sudah tak terhitung berapa banyak kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan, berapa banyak perjanjian internasional yang diremehkan. Meminjam istilah Bung Karno, rezim apartheid Israel sangat layak dikikis habis, diganyang bersama untuk mewujudkan supremasi kemanusiaan, bukan rasial. Kemerdekaan Palestina harus diupayakan oleh koalisi global, satu suara mengecam penjajahan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.