Khilafatul Muslimin, Sebuah Replikasi HTI

KolomKhilafatul Muslimin, Sebuah Replikasi HTI

Suatu kebetulan, isu khilafah kembali menghangat menjelang hari kelahiran Pancasila yang merupakan kesepakatan ideologis NKRI. Pada Minggu (29/05/2022), arak-arak konvoi motor membawa atribut bertuliskan Khilafatul Muslimin (KM) berlangsung di Cawang, Jakarta Timur. Beragam poster yang dipasang mengampanyekan narasi-narasi penegakan khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah. Kejadian ini mengasosiasikan ingatan kita pada ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang juga mengusung ide serupa dan telah dinyatakan terlarang karena misinya ingin mengganti ideologi bangsa. Keserupaan tersebut menjadi argumen utama mengapa KM tak ubahnya duplikasi HTI yang penting diwaspadai.

Meskipun KM mengklaim dirinya berbeda dengan HTI, tetapi postur pemikiran keduanya sangat mirip dan dekat. Kondisi umat Islam yang terpuruk, jauh dari syariat Islam, menjadi anak bawang peradaban, serta hegemoni Barat dalam segi ekonomi, politik, sosial budaya yang tak terbendung merupakan latar belakang mengapa KM didirikan. Penegakan kembali khilafah dengan menerapkan syariat Islam secara total dianggap sebagai satu-satunya cara agar umat Islam bangkit dan keluar dari situasi tersebut. Pengalaman kejayaan Islam di masa lalu menjadi acuan tunggal. Khilafah dinilai sebagai solusi sapu jagat yang bisa menuntaskan semua problematika umat. Wajib hukumnya didirikan karena telah dimaktub dalam al-Quran dan sunnah. Menurut mereka, kadar fardhunya seperti halnya shalat lima waktu.

Kerangka paham HTI dan KM serupa. Keduanya menetapkan berkhilafah sebagai kewajiban asasi seorang Muslim. Tanpa khilafah islamiyah, umat Islam akan hidup dalam keterpurukan serta kehinaan. Kekhilafahan Islam bagi KM merupakan naungan untuk memfasilitasi penerapan syariat Islam yang dikepalai seorang khalifah terpercaya dalam memimpin umat Muslim di penjuru dunia. Dengan kata lain, cita-cita KM ialah mewujudkan persatuan Muslim sedunia di bawah mandat khilafah seperti ketika masa Khulafaurrasyidin. Tipologi gerakan transnasional laiknya HTI.

Keyakinan akan kembalinya khilafah islamiyah tak lepas dari narasi teologis-normatif yang dijadikan justifikasi oleh KM. Antara lain sebuah hadis riwayat Imam Ahmad yang menceritakan tentang khutbah Nabi mengenai periodisasi pemerintahan Islam yang diakhiri dengan janji kembali tegaknya khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah. Namun setelah diteliti, hadis itu dinyatakan bermasalah. HTI pun mengajukan hadis tesebut di samping setandan dalil lain–yang kerap disimplifikasi–sebagai legitimasi kewajiban mendirikan khilafah.

KM mengklaim bahwa mereka tidak hendak merebut kekuasaan negara layaknya HTI yang ingin mengambil alih pemerintahan. Pernyataan itu layak diragukan. Baik KM maupun HTI sama-sama berbicara tentang sistem kepemimpinan, hukum Islam atau syariat, dan keduanya berkarakter ideologis. Maka terlalu naif rasanya jika menilai KM tak berpotensi mengintervensi sistem dan ideologi negara yang disepakati saat ini. Penangkapan NAS sebagai tersangka teroris di Bekasi yang mana atribut Khilafatul Muslimin ditemukan di kediamannya adalah sinyal tegas bahwa KM menyimpan ancaman, sangat rentan bergeser menjadi gerakan teror. Apalagi peneliti terorisme dari Singapura, Rohan Gunaratna, menyatakan KM telah melakukan baiat pada ISIS kala kelompok teror ini jaya di tahun 2015.

Baca Juga  Hadis Tasyabbuh Bukan Untuk Klaim Murtad

Kita pun tak bisa mengesampingkan profil Abdul Qadir Hasan Baraja, aktor utama pendiri KM yang merupakan mantan tokoh Negara Islam Indonesia (NII). Dua kali ia dipenjara karena keterlibatannya dalam aksi terorisme pada tahun 1979 dan 1985. Tujuan NII jelas ingin mendirikan negara Islam di Tanah Air yang saat itu mendapat reaksi keras dari masyarakat. Konsep Khilafatul Muslimin konon muncul dari proses perenungannya saat menjadi tahanan politik akibat keterlibatannya dalam gerakan NII. Artinya, secara ideologis cita-cita Abdul Qadir Baraja tak hilang, hanya dibungkus secara berbeda. KM pun berdiri pada 18 Juli 1997. Mimpi menerapkan syariat Islam bergeser dari cakupan lokal (NII) menuju konteks global (KM) dengan asumsi bahwa Islam adalah ajaran universal.

Dari rangkaian potret di atas, bisa dikatakan, KM adalah replikasi HTI sekaligus perpanjangan tangan dari NII. Semuanya bertemu dalam keinginan mendirikan negara Islam dengan terapan syariat Islam sebagai sumber hukumnya. Namun pendekatan yang dipakai untuk cita-cita penerapan syariat Islam di tangan KM relatif lebih lunak. Tidak dengan aktivitas kekerasan atau pendekatan militeristik seperti NII. Strategi yang dipakai lebih menekankan pada pembangunan kesadaran serta penguatan pemahaman akan pentingnya khilafah bagi kalangan Muslim. Keislaman seseorang dianggap tak sempurna sampai ia masuk dalam barisan khilafah.

Jika dilihat dari motif pembentukannya, gerakan KM termasuk dalam kategori teori deprivasi relatif (relative deprivation theory), sebab pendirinya merasakan kekecewaan atas situasi kaum Muslim yang berjarak jauh dengan syariat Islam, tidak seperti idealitas umat Muslim ketika hidup di bawah payung khilafah islamiyah. Menurut teori milik Stouffer ini, seseorang merasa kecewa karena adanya kesenjangan antara harapan dan realita.

KM terlihat sebagai gerakan sosial yang berupaya mencari kesejahteraan psikologis dengan mendirikan khilafah selaku konsep yang diyakini bisa menjadi penawar ketidakpuasannya pada realitas. Demikian halnya HTI, ormas ini juga diilhami ide besar tentang Islam tertindas, terbelakang, dan dominasi Barat sebagai bagian dari motif penegakan khilafah. Saya sepakat dengan argumen tentang kondisi umat Islam yang lemah serta hegemoni Barat dalam banyak sektor kehidupan. Itu memanglah fakta. Namun, tawaran khilafah sebagai solusi bukan pilihan yang tepat dan problematis.

Genealogi Khilafatul Muslimin berasal dari darah kelompok ideologis pemberontak (NII) yang memecah bangsa ini. Ide khilafah yang diusung KM pun inheren dengan kelompok lain yang berpaham keras (HTI). Dua hal tersebut merupakan alasan kuat untuk memasang radar waspada pada gerakan KM, sekalipun mereka mengklaim tidak akan merecoki Pancasila dan sistem pemerintahan bangsa kita. Sulit membayangkan gerakan ideologis dengan misi mengubah tata hukum secara total tapi tidak merangsek sistem keyakinan yang telah mapan. Ingatan masyarakat mesti terus dijaga, bahwa Pancasila dan NKRI adalah kesimpulan akhir bangsa ini. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.