Mengatasi Kemiskinan dengan Terapan Nilai Sufisme

KhazanahHikmahMengatasi Kemiskinan dengan Terapan Nilai Sufisme

Hidup di bawah garis kemiskinan adalah rasa kehidupan yang sempit. Berkait erat dengan ketidakleluasaan mengakses beragam hal karena keterbatasan kondisi. Tawaran menerapkan nilai sufisme dalam hal ini bukan berupa kiat bagaimana agar seketika menjadi kaya. Melainkan mengenalkan nilai-nilai sufisme yang secara psikologis akan membantu orang miskin untuk bebas dari himpitan kemiskinan. Atau setidaknya memberikan teknik sehat guna mengatasi persoalan hidupnya.

Selama ini, ada yang menuding bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan umat Islam adalah cacat psikis yang dialami umat Muslim. Sikap seperti pasrah pada nasib, bodoh akan hakikat agama, menganggap dunia adalah neraka orang Mukmin dan surga bagi orang kafir merupakan bentuk-bentuk kerusakan psikologis tersebut. Kemudian karakter-karakter tadi disimplifikasi sebagai sufisme itu sendiri. Selanjutnya anggapan membesar bahwa sufisme adalah biang keladi keterbelakangan umat Muslim. Kesalahpahaman itu pun berlanjut lama.

Sufisme merupakan mistisisme yang secara epistemologi merupakan usaha mencapai pengetahuan melalui metodologi irasional. Sufisme berupaya mencari kebahagiaan di balik yang material. Dari sinilah, irasionalitas dalam sufisme yang dianggap merapuhkan ilmu pengetahuan. Praktik ritual dalam tarekat sufi juga pada gilirannya dinilai menutup mata umat atas persoalan konkret di tengah masyarakat.

Sejarah memperlihatkan, bahwa sufisme justru berkembang subur di periode keunggulan Islam. Pada saat teks-teks Yunani diterjemahkan, manakala kampus-kampus Islam tumbuh dengan baik, ketika itu pula tokoh-tokoh besar sufi terbit dan dikenal luas, di antaranya Abu Yazid al-Busthami, Dzun Nun al-Mishri, Junaid al-Baghdadi, al-Hallaj, al-Muhasibi, dan sebagainya. Komunitas kaya mulai bermunculan, hingga pidato tentang nilai-nilai sufisme mulai berkumandang saat dunia Islam mulai dialiri kekayaan, umat Muslim berada di tengah kemewahan.

Kehidupan yang kemudian didominasi pemandangan material itu membuat spiritualitas umat mengering. Bisa dikatakan di sini, sufisme lahir akibat dari kekayaan, bukannya disebabkan oleh kemiskinan. Orang-orang yang makmur secara finansial pada titik tertentu cenderung menyukai kehidupan mistik. Di Amerika misalnya, mistisisme telah merambah ke kalangan ilmiah. Kadang kala kelompok ilmuan melakukan tukar pikiran dengan golongan mistik. Dalam karyanya Islam Alternatif, Jalaluddin Rakhmat menyebutkan satu buku yang sangat bagus menggambarkan kecenderungan mistisisme di Amerika, buku itu berjudul The Aquarian Conspiracy.

Sufisme tak bisa dihakimi begitu saja sebagai biang kerok kemunduran Islam yang salah satu imbasnya adalah kerapuhan finansial umatnya. Penggalian sufisme secara seksama justru memperlihatkan  nilai-nilai dinamis, sejalan dengan ajaran Islam, dan dipandang bisa membantu membebaskan umat Muslim khususnya dari tekanan kemiskinan.

Di antara yang bisa diterapkan dari sufisme dalam hal ini adalah sikap zuhud. Sebelum istilah sufisme populer, bentuk paling awal dari laku sufi sejatinya ialah zuhud. Mereka yang mengambil jalan sufi ketika itu pun disebut sebagai zahid (orang yang zuhud). Zuhud bukan laku hidup yang menolak masalah-masalah duniawi. Namun, perilaku sederhana berdasar motif keagamaan. Dalam kitab Madarij al-Salikin, Imam Ahmad bin Hanbal menerangkan tiga macam zuhud berdasarkan tingkatannya. Pertama zuhudnya orang awam, yakni meniggalkan segala yang haram. Kedua, meninggalkan hal-hal yang berlebihan dalam persoalan yang halal (zuhud orang khawwash). Dan ketiga zuhudnya orang ‘arifin, mereka meninggalkan segala sesuatu yang bisa memalingkan diri dari Allah.

Baca Juga  Ketika Kiai Kholil Bangkalan Dipenjara Belanda

Penjelasan Imam Ahmad itu bisa menurunkan nilai-nilai kondusif dalam usaha keluar dari kemiskinan. Meniggalkan perkara haram akan mendorong seseorang selektif dan bekerja lebih keras. Menjauhi cara-cara curang yang relatif mudah, seperti suap, korupsi, dan sebagainya, menghindari tindakan yang merugikan orang lain dan hal-hal yang mengundang murka Allah. Orang miskin akan memiliki motivasi kuat saat tahu bahwa kerja keras adalah penentu keberhasilan seseorang.

Menjauhkan diri dari sikap berlebihan meskipun halal, memperlihatkan perilaku sederhana, hidup hemat, menghindari kemewahan, tidak berambisi menjadikan harta sebagai penghias status. Zuhud mengarahkan pelakunya untuk menjadikan asetnya sebagai kepemilikan produktif yang bernilai sosial.

Melalui penjelasan Jalaluddin Rakhmat dalam Islam Alternatif, didapati bahwa tesis Max Weber mengenai etika Protestan yang direplikasi di sejumlah agama dan tempat menunjukkan keterkaitan antara perilaku zuhud dengan keadaan ekonomi pelakunya. Etika Protestan sendiri adalah konsep etika kerja dalam sosiologi, teologi, serta ekonomi yang menekankan nilai-nilai kedisiplinan, hemat, dan kerja keras.

Lebih lanjut, Pieres mendapati bahwa orang-orang Sikh di India bisa mengambil alih posisi ekonomi yang menguntungkan, sebab dalam Sikh ditekankan ajaran kesederhanaan dan kerja keras. Di lain tempat, kelompok Jain di India dan kaum Quaker di Amerika menerapkan nilai-nilai kejujuran, zuhud, serta berusaha secara halal. Sebagaimana ditemukan oleh Nevaskar, dua kelompok ini memang berhasil secara ekonomi.

Selain korelasi konkret antara penerapan perilaku zuhud dengan kemampuan finansial yang baik, seperti yang terlihat dari penelitian di atas, sesungguhnya sufisme sendiri mengajarkan pembersihan hati dan bagaimana mengendalikannya. Sufisme menyasar sisi intrinsik kita agar belajar merasa cukup dengan yang ada di tangan. Artinya, meski secara lahiriah kita miskin, apabila hati kita lapang menerima kita tetap akan merasa kaya, merasa cukup dengan yang ada.

Pandang dunia secara sederhana, tanamkan bahwa ia adalah sarana yang sementara tapi tetap penting. Zuhud akan membebaskan jiwa dari ketergantungan duniawi. Menuntun sikap manusia menjadi lebih tertata dan berdampak positif dalam banyak aspek, termasuk perbaikan finansial. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.