Sepenggal Kesan atas Sang Muazin Bangsa, Buya Syafii Maarif

KhazanahSepenggal Kesan atas Sang Muazin Bangsa, Buya Syafii Maarif

Duka seketika menganga besar di hati saya, di hati kita sekalian setelah mendengar Buya Ahmad Syafi’i Ma’rif tutup usia Jumat pagi (27/05/2022). Buya Syafi’i adalah figur manusia unggul yang berislam dengan kesadaran utuh. Membahasakan religiositasnya dalam kepedulian merawat umat bangsa, keterbukaan berpikir, juga tonjolan moral kemanusiaan. Membuatnya tampil sebagai Muslim autentik dan menjadi magnet yang menarik perhatian orang-orang yang mulai bersentuhan dengannya.

Saya bukan murid akademik yang mulazamah duduk menyimak pengajaran Buya, bukan pula orang yang pernah bertemu langsung dengannya. Foto hitam putih Buya yang terpajang di tempat belajar saya, bersanding dengan foto para tokoh besar yang relatif lebih familiar, adalah mukadimah tanpa kata yang memahamkan saya bahwa ia adalah figur yang tak kalah istimewa dari gambar-gambar di kiri kanannya.

Persinggungan dengan Buya berlanjut manakala guru saya berulang kali menarik nama Buya Syafii Maarif dalam beragam pengungkapan kesan juga himbauan, agar kami menggali pemikiran dan perilaku moralnya. Pengulangan nama besar Ahmad Syafii Maarif itu yang membuat seolah ia dekat dan penting dikenal. Seperti yang saya katakan di atas, Buya seterusnya menjadi magnet yang menarik sekelilingnya untuk membuka wawasan tentang ia. Barangkali terkesan prematur untuk mengatakan Buya adalah sosok yang dekat, dengan intensitas saya menjamah pemikirannya yang tak bisa dibilang tinggi. Tapi demikianlah rasanya.

Bagi negeri ini, Buya adalah guru bangsa. Pemikiran dan sikapnya menceritakan kebijaksanaan-kebijaksaan yang layak dipercaya (digugu) dan diikuti (ditiru). Sosok aktual dari  khazanah Jawa, bahwa guru itu orang yang digugu lan ditiru. Buya dikenal sebagai satu dari tiga pendekar Chicago, yaitu para cendekiawan yang membawa gagasan pencerahan Islam, penuh ide-ide keterbukaan dengan kekhasan masing-masing. Pernyataan dan pemikiran Buya Syafii banyak berbicara tentang diskursus keislaman, kemanusiaan, serta keindonesiaan. Yang ia coba rangkai menjadi gagasan kohesif yang mencerahkan.

Sejumlah murid Buya menganggit buku sebagai upaya reflektif atas pemikirannya. Buku yang diberi judul Merawat Kewarasan Publik itu menunjukkan secara definitif siapa dan bagaimana Buya Syafi’i. Ia adalah penjaga bangsa yang terus berusaha merawat kewarasan nalar publik. Buku itu merupakan kondensasi dari mereka yang menyisir balok-balok intelektualisme dan etika hidup Ahmad Syafii Maarif.

Jika membuka ulang peristiwa al-Maidah ayat 51, di mana menyeret nama Ahok yang disangkakan oleh suara mayoritas sebagai “penista agama”, Buya bersikap sebaliknya. Dalam pandangannya, tak ada penistaan agama dari pernyataan sang Gubernur kala itu. Bukan karena mencari sensasi dengan bersuara minor dan berbeda, melainkan karena sikap kritisnya membaca peristiwa. Narasi penistaan agama lebih terasa sebagai komoditas politik untuk mengoyak nalar masyarakat demi kepentingan partisan.

Baca Juga  Menemui Nabi di Tengah Kaum Papa

Meskipun dihantam banyak pihak arus utama, Buya tetap lantang menyatakan sikapnya. Namun demikian, ketegasan itu tak menjadikannya hilang hormat pada proses hukum yang kemudian berlanjut. Yang saya lihat di sini adalah upaya Buya mendewasakan nalar sosial-keberagamaan masyarakat agar berpikir lebih detail dan tak tergesa-gesa, menjauh dari nada-nada provokatif yang gemanya memang demikian kuat dan nyaris tak terbendung.

Tak ayal, buku lain yang mencoba merekam riwayat intelektualisme dan kiprah Ahmad Syafii Maarif bernada serupa dengan diksi yang berbeda. Buku karangan Mun’im Sirry, Noorhaidi Hasan, Hilman Latief, serta beberapa penulis lain itu berjudul Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif. Seperti halnya perawat kewarasan publik, muazin bangsa secara sederhana mendeskripsikan seseorang yang tak peduli lelah untuk mengingatkan terus umat bangsa ini agar senantiasa berperilaku berdasarkan nilai-nilai moral luhur serta konsisten menjaga harmoni kebhinekaan.

Kualitas nasionalisme Buya tak diragukan. Partisipasi kebangsaannya juga nampak dari keanggotaannya dalam dewan pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), suatu badan yang bertugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Untuk seorang yang terjaga kesadarannya dan teruji nasionalismenya, langkah masuk Buya ke lingkaran kekuasaan ini jauh memperlihatkan komitmen kebangsaan dan nasionalisme yang jujur. Bukan sikap oportunis. Posisi dengan daya jangkau luas itu dimanfaatkannya untuk lebih menyeluruh mendidik moral luhur pada masyarakat.

Kita akan merasakan energi cinta yang amat besar dari Buya Syafii pada umat dan bangsa ini saat mendengar perkataan yang kerap ia sampaikan, bahwa “Indonesia harus tetap bertahan hingga satu hari sebelum kiamat”. Buya menitipkan kelangsungan bangsa ini. Berpesan agar para generasinya betul-betul mengelola. Sosok yang selalu berusaha bersikap selaras dan menghindari pecah kongsi antara norma, pemikiran, serta perilakunya itu telah purna tugas dari dunia. Di hari baik ini, Allah berkehendak memanggil kembali hambanya itu. Adalah tugas kita untuk mengembangkan wawasan kebaikannya dalam kehidupan berbangsa juga bernegara. Selamat jalan, Buya. Semoga jasa salehmu menjadi pemberat mizan kebaikan di haribaan Tuhan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.