Bertobat karena Membaca

KolomBertobat karena Membaca

Masyarakat peradaban terkenal dengan budaya membacanya. Tradisi intelektual ini yang membangun perubahan besar bagi dunia. Beberapa negara besar memiliki minat membaca dan tulis yang tinggi untuk mencapai peningkatan kualitas hidup. Sebagaimana kesadaran bisa membuat manusia bertaubat, maka membaca dapat membangunkan seseorang dari tidur panjang untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.

Membaca adalah wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW. Surat al-‘Alaq ayat 1 sampai 5 menjadi bukti peringatan dasar, bagaimana manusia mengetahui sesuatu untuk apa ia diciptakan melalui membaca. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Ada banyak jawaban mengapa manusia diciptakan, kendati dalam firman Allah SWT disebutkan, Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (QS. Al-Dzariyat: 56). Cara manusia beribadah tidak cukup diartikan dengan shalat atau ibadah ritual saja, melainkan segala aspek kehidupan dapat bernilai ibadah jika itu diniatkan untuk kemaslahatan.

Kemaslahatan di sini tak lepas dari aspek peradaban yang mampu menopang manusia menjadi lebih baik. Membaca adalah kegiatan mentransfer data dari bahan bacaan menjadi informasi yang diolah menjadi pengetahuan yang dapat mengubah sikap atau tindakan yang kemudian diimplementasikan menjadi sebuah kebijakan.

Oleh karena itu, peribahasa yang mengatakan “Buku adalah jendela dunia” bukan sebuah kalimat yang normatif. Buku adalah jendela/media, sedangkan membaca adalah mata untuk melihat dunia yang sesungguhnya. Semakin berkualitas buku yang dibaca, maka akan ada hal besar pula yang kelak dilakukan pembacanya.

Dalam masyarakat modern berlaku sebuah hukum alam, siapa yang berkuasa adalah yang paling menguasai informasi. Tak ayal, masyarakat kini berbondong-bondong mencari informasi melalui televisi, internet, media sosial, koran cetak, dan sebagainya. Berbagai propaganda dibuat untuk memengaruhi masyarakat dunia dengan berbagi informasi. Di sini dapat dilihat dengan membaca informasi sebuah perubahan akan terjadi secara nyata sesuai penguasa informasi.

Lebih lanjut, para founding fathers bangsa Indonesia sejatinya telah mewariskan tradisi budaya baca yang sangat baik. Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, dan lainnya adalah tokoh yang terpilih bukan saja, karena gerakan politiknya akan tetapi dari kualitas intelektualnya yang dihasilkan dari kegemarannya membaca buku. Namun, para kolonial dan orientalis menuliskan sejarah jika para nenek moyang kita ada orang yang bodoh. Padahal, sejak abad ke-5 Nusantara telah mengenal budaya aksara melalui kitab para empu. Mental seperti ini yang yang dibentuk penjajah untuk mempermainkan masyarakat pribumi agar tidak ada kebangkitan melawan mereka.

Baca Juga  Puasa Mengasah Kedewasaan Spiritual

Dalam Buletin Perpustakaan UII, Budaya Baca untuk Kemajuan Suatu Bangsa (2020), Human Development Index (HDI) Indonesia masih berada di peringkat 112 dari 175 negara yang disurvei. Kenyataan tersebut memperlihatkan adanya persoalan yang kompleks bangsa Indonesia. Rendahnya kualitas hidup bangsa Indonesia salah satu penyebabnya karena pengetahuan masyarakat masih rendah. Pengetahuan masyarakat rendah karena budaya baca masyarakat rendah. Budaya baca masyarakat rendah karena standar hidupnya rendah. Ibarat lingkaran setan yang tidak akan pernah bisa bertemu pangkal ujungnya.

Sungguh pun membaca dapat membawa perubahan bagi pembacanya. Oleh karena itu, dikatakan dalam al-Quran, dzalikal kitabu laraiba fiih, Kitab (ini) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (Al-Baqarah: 2). Senada dengan kisah yang dialami pujangga gereja terkenal Agustinus (354-430), yang dikutip buku Belajar Jurnalistik Humanisme Harian Kompas karya Sindhunata, Agustinus mengakui sebagai pendosa yang berat. Semua hukum Allah, ia langar. Hatinya penuh kegelisahan dan mencari ketentraman tetapi tak ia temukan.

Pada hari yang penuh kegetiran, hatinya hancur berantakan terdengar suara, tak jelas apakah suara anak lelaki atau perempuan. Suara yang bernyanyi dan berkata berulang-ulang: Tolle, lege, tolle, lege (ambil dan bacalah, ambil dan bacalah). Agustinus langsung meraih Kitab Suci, di sana ia membaca teks banyak peringatan, tidak berpesta pora dalam kemabukan, jangan menuruti pencabulan hawa nafsu dan ia harus mengenakan pakaian Tuhannya sendiri. Seketika itu juga ia bertobat. Memang pertobatan itu rahmat dari Tuhan, tetapi jika tidak membaca tak terpikirkan dirinya akan bertobat, orang seperti Agustinus.  

Membaca sejatinya lebih massif membuat orang bertobat, bukan saja bertobat kepada Tuhan tetapi juga untuk tidak lagi menjadi orang yang dibodohi, terbawa arus, dan bertobat menjadi orang yang bermanfaat, tidak menyusahkan orang lain. Dengan begitu, orang yang bertobat karena membaca mengantarkan dirinya menjadi sosok yang utuh secara hati dan pikirannya. Tidak kering kerontang bagai gurun. Melalui bacaan, ia akan berupaya mewujudkan fantasi apa yang dibacanya menjadi nyata.

Ada banyak dimensi yang kita lihat sebab membaca. Dimensi ini yang kelak menuntun kita, tujuan mana yang tepat untuk ditempuh dengan kondisi yang dialami seseorang. Saat membaca, kita berupaya menempatkan diri sebagai aktor yang hebat. Tinggal bagaimana dengan kelanjutan kisah di kehidupan nyatanya, apakah tetap memilih menjadi aktor yang ciamik atau benalu dalam buku kehidupan manusia.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.