Fakta Lain Piagam Madinah

Dunia IslamFakta Lain Piagam Madinah

Piagam Madinah disebut-sebut sebagai konstitusi paling modern pertama dalam sejarah. Fakta ini yang sudah diketahui publik melalui pelbagai riset yang dikemukakan sejarawan. Namun, ada fakta lain yang jarang diketahui bagaimana naskah lengkap Piagam Madinah bisa sampai kepada tangan kita. Boleh jadi orang-orang mengira, kalau sumbernya dari para ahli hadis, karena para Muhaddits memang mencatat tentang banyak seluk-beluk kehidupan Rasulullah SAW. Sayangnya, dugaan itu kurang tepat. Para Muhaddits tidak memiliki naskah lengkap tersebut. Lantas siapakah aktor-aktor tersembunyi yang menyebarluaskan naskah lengkap Piagam Madinah?

Para ahli hadis sendiri merasa tidak cukup layak menggali pendalaman atas Piagam Madinah secara komprehensif. Mereka hanya menerima teks potongan, tidak memiliki naskahnya secara lengkap. Sebab berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan, bahwa Abu Juhaifah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib r.a, Apakah ada wahyu selain dalam Kitab Allah? Jawab Ali: Saya tidak mengetahui kecuali faham yang diberikan Allah dalam al-Quran dan apa yang ada dalam shahifah ini (Piagam Madinah). Apa yang ada dalam shahifah itu? Jawab Ali: tentang diat. Etbusan tawanan, dan seorang Muslim yang tidak dibunuh lantaran membunuh orang kafir.

Dari jalur sanad lain, Imam Bukhari meriwayatkan hadis yang menjelaskan Imam Ali pernah berpidato yang isinya berupa penjelasan. Tidak ada kitab yang kita baca selain Kitab Allah dan Shahifah ini. Dalam shahifah ini ada ketentuan pelukan dan haramnya kota Madinah dari ‘A’ir (nama suatu tempat) sampai ke tempat itu (pada hadis lain disebutkan sampai ke Saur, tempat sebelah Utara Bukit Uhud). Siapa yang melanggar atau melindungi pelanggar akan terkena laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia. Selengkapnya hadis ini dapat dilihat dalam Shahih Bukhari, juz 4, halaman 84.

Kurang lebih hadis dalam riwayat lain tidak ada yang menarasikan secara utuh Piagam Madinah. Itu sebabnya, naskah lengkap tersebut tidak ditemukan dari para Muhaddis., melainkan dari sumber Shirah Nabawiyah karya Muhammad bin Ishaq. Akrab disebut Ibnu Ishaq. Sebenarnya pada masa sahabat, pembuatan sejarah Nabi itu telah ada. Generasi awal ditulis oleh Urwah bin Zubair bin Awwam (w. 92 H), usai itu dilanjutkan Utsman bin Affan. Kemudian memasuki abad ke-dua hijriyah, penulis Shirah Nabawiyah mulai masif dan yang paling populer di antara penulis yang lain, yakni Ibnu Ishaq yang lahir pada 85 H.

Namun, bagaimana bisa Ibnu Ishaq mendapatkan naskah tersebut sementara ia terlahir dengan rentan dua abad dari masa Rasulullah dan para Sahabat? Lantas penyusun Kitab Shahih, Sunan, dan Musnad hanya menerima ringkasannya saja? Ini fakta lain yang tersembunyi dari sejarah.

Usut punya usut. Dalam buku Sejarah Otentik Politik Nabi Muhammad SAW: Dari Dakwah Mekkah Hingga Piagam Madinah karya Husain Mu’nis (2019), lembaran-lembaran Piagam Madinah diwariskan kepada anak Ali ibn Abi Thalib, al-Hasan, kemudian diwariskan kepada cucunya al-Hasan ibn al-Hasan dan diwariskan lagi kepada Abdullah. Imam Ja’far al-Shadiq menyalin sendiri salinan dokumen tersebut, akan tetapi kita tidak tahu apakah salinan itu yang sampai pada Ibnu Ishaq dalam Sirah-nya. Sedangkan Ibnu Hisyam, penulis Shirah Nabawiyah dari abad ke 3 H meriwayatkan dari salinan dokumen Abdullah ibn al-Hasan ibn al-Hasan ibn Ali ibn Thalib.

Baca Juga  Mekkah Tanpa Ka’bah

Ali bin Abi Thalib yang mendokumentasikan hasil musyawarah terkait Piagam Madinah menyimpan lembaran-lembaran pada sarung pedangnya. Pada masa itu, menyimpan dokumen penting di sarung pedang menjadi tradisi di kalangan masyarakat Arab. Menyimpan di sarung pedang atau di saku kulit yang tergantung pada pedang.

Shirah Nabawiyah yang ditulis oleh Ibnu Ishaq sudah tidak bisa lagi ditemukan, tetapi milik Ibnu Hisyam masih ada hingga kini. Berkat Ibnu Hisyam yang menyertakan banyak referensi dalam Shirah-nya, nama Ibnu Ishaq kembali dikenal masyarakat sebagai sejarawan yang memiliki kualitas kitab periwayatan yang cukup kuat.

Tentu ada perbedaan antara Shirah Nabawiyah yang ditulis kedua sejarawan tersebut. Dari beberapa versi, disebutkan jika Ibnu Hisyam tidak mengubah apapun dalam kitab Shira-nya, selain menambahkan kritik atas periwayatan yang ditemukannya dan lebih sistematis. Ada juga yang mengatakan, Ibnu Hisyam dalam Shirah Nabawiyah telah melalui banyak proses editing, menghapus periwayatan yang tidak terkait sejarah, dan sebagainya.

Terlepas dari apa yang terkait dalam kitab Shirah Nabawiyah, kedua sejarawan tersebut melalui karyanya telah berjasa besar dengan mengenalkan naskah Piagam Madinah lebih komprehensif yang telah terlewatkan oleh para Muhaddis. Selama ini tanpa kita sadari peran ahlul bait sering diabaikan keberadaannya sebagai orang yang mewariskan banyak hal berharga yang dimiliki Rasulullah SAW.

Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq merupakan orang memiliki kecintaan terhadap keluarga dan keturunan Nabi, wajar jika mereka menemukan mutiara saat menelusuri kedalaman lautan. Piagam Madinah yang terdiri atas 47 pasal ini sangat penting untuk fondasi politik umat yang mengutamakan kemaslahatan dengan asas kebangsaan, bukan agama. Pandangan Watt dalam buku Madinah karya Zuhairi Misrawi (2018), ia memberikan eksplorasi, bahwa peran Nabi SAW untuk mengganti pertalian darah yang selama ini menciptakan friksi di antara orang Arab.

Dengan demikian fakta tersembunyi dalam sejarah bahwa keterlibatan Ahlul Bait terhadap penjagaan Piagam Madinah telah terungkap. Mungkin jika kita dapat melihat lebih jeli dari sekadar fakta sejarah yang ada dipermukaan tanpa membatasi sekat-sekat, boleh jadi kita akan menemukan lebih banyak lagi mutiara-mutiara Islam.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.