Lebaran Bersama Nabi

KhazanahLebaran Bersama Nabi

Hari raya lebaran sudah di ambang pintu. Kebahagiaan menjalar dalam nadi umat Islam menuju momentum tahunan ini. Rasa hati tersebut terekspresikan dalam berbagai persiapan yang mentradisi di masyarakat Muslim Tanah Air khususnya. Mereka membeli busana baru, menyiapkan aneka kue untuk disuguhkan kepada tamu, saling berbagi, dan beragam tanda bahagia lainnya. Potret ini adalah sejumlah perkembangan dari tradisi baik yang ada sejak Islam awal di masa Nabi SAW. Meskipun telah berjarak ribuan tahun dengan era kehidupan Rasulullah, kita tetap mungkin merayakan lebaran bersama beliau dengan membina suasana yang dekat dengan Nabi.

Idul Fitri pertama kali disyariatkan pada tahun dua hijriah. Hari kemenangan yang menjadi slogan hari raya Idul Fitri menandakan pencapaian seorang Muslim dalam ibadah puasa serta kemenangan dalam perang Badar. Seperti yang kita tahu, perang Badar berlangsung di bulan Ramadhan tahun 2H. Narasi antara kedua peristiwa ini menjadi relasi yang tak terpisahkan dalam memaknai kemenangan di hari nan fitri. Selain itu, perayaan hari raya Idul Fitri dalam Islam adalah hasil dari akomodasi budaya. Masyarakat Arab jahiliah memilki dua hari raya bernama Nairus dan Mahrajan yang diisi dengan pesta pora dan aktivitas maksiat. Allah pun membatalkan dua hari raya itu dan menggantinya dengan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha yang bermuatan kebaikan-kebaikan.

Melalui sunnah-sunnah Nabi yang dihidupkan, Idul Fitri akan membawa kita pada bening nuansa kenabian. Nabi merayakan hari raya dengan penuh puja-puji untuk Allah. Kita ditekankan untuk memperbanyak membaca takbir, mengakui keagungan kuasa-Nya. Rasa syukur terkumpul begitu besar apabila membayangkan suasana kebatinan Nabi dan para pejuang Badar. Dengan jumlah yang jauh lebih sedikit dari pasukan lawan sekaligus dalam kondisi puasa, tapi Rasulullah dan prajuritnya tetap dikarunia kemenangan atas musuh. Sebab itu, hari raya benar-benar menjadi momentum kebahagiaan dan rasa syukur. Kita pun harus demikian adanya.

Embrio dari ungkapan minal ‘aidin wal faizin yang jamak diucapkan ketika Idul Fitri itu pun muncul karena kemenangan di perang Badar. Versi lengkapnya yaitu Allahummaj ’alna minal ‘aidin wal faizin (Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang kembali dan mendapatkan kemenangan). Dengan membaca doa ini atau mendoakannya untuk orang lain, kita satu langkah mendekati cara-cara kenabian.

Berhias ketika lebaran telah menjadi kebiasaan Nabi dan kalangan sahabat. Nabi memakai pakaian terbaiknya ketika Idul Fitri tiba, menggunakan wewangian, yang pada prinsipnya adalah menampilkan diri dalam keadaan terbaik, sebagai ekspresi syukur atas karunia-Nya. Zaid bin Hasan bin Ali bercerita dari ayahnya, ia berkata, Kami diperintahkan Rasulullah pada hari ini untuk memakai pakaian yang ada dan memakai wewangian dengan apa yang ada (HR. al-Hakim).

Baca Juga  Ironi Tren 'Ngustadz'

Hal tersebut yang kemudian berkembang menjadi tradisi membeli baju baru menjelang hari raya. Yang perlu digaris bawahi adalah anjuran memperindah diri serta mengenakan pakaian terbaik. Jadi, baju baru bukan rukun lebaran, melainkan tradisi yang tak harus dikerjakan. Tidak perlu membebani diri untuk serba baru atau berkecil hati karena memakai koleksi pakaian lama, sebab esensi hari raya adalah rasa syukur yang menguatkan dan membersihkan hati.

Kebiasaan lain nabi saat hari raya adalah menempuh jalur yang berbeda ketika berangkat dan pulang dari shalat di hari raya. Hal ini diceritakan oleh Jabir dalam suatu hadis, Ketika shalat Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah SAW akan berangkat dengan rute yang berbeda dengan saat pulang (HR. Bukhari dan Muslim). Tujuannya adalah syiar suka cita dan rasa syukur, serta agar bisa bertemu lebih banyak orang untuk bertegur sapa, bersilaturahmi dengan mereka.

Adapun dalam shalat hari raya, Rasulullah biasanya membaca surat Qaf dan al-Qamar. Dituturkan oleh Waqid al-Laitsi, Rasulullah SAW biasa membaca pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha surat Qaf dan al-Qamar (HR. Muslim). Di antara kandungan surat Qaf adalah pentingnya menjaga lisan, sebab Allah Maha tahu.

Lebaran juga menjadi momentum berkunjung dan bertemu dengan keluarga, kerabat, teman, serta sanak famili. Ketika bertemu satu sama lain mereka saling berbagi, entah bingkisan, uang, dan lain sebagainya. Semua ingin memberikan yang terbaik bagi yang dikasihi. Maka hari raya adalah hari cinta, dan salah satu amalan sunnah terbesar adalah menunjukkan kasih sayang. Agar Nabi hadir di tengah-tengah kita, sunnah dan perintah beliau mesti dihidupkan. Menyemarakkan apa-apa yang disukai Rasulullah adalah cara menghadirkan kebersamaan dengan Nabi melalui ikatan spiritual cinta yang tulus kepadanya. Semoga kita dijadikan Allah sebagai insan yang bersih, suci. Selalu berproses menjadi orang-orang yang terus kembali pada-Nya, meraih kemenangan hakiki dengan menyemarakkan anjuran-anjuran Nabi. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.