Fakhruddin Faiz: Indikasi Kehampaan Hidup

BeritaFakhruddin Faiz: Indikasi Kehampaan Hidup

Manusia itu memang memilki sifat yang mudah bosan. Ini adakalanya bersifat positif dalam artian terus berupaya membangun kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya atau berinovasi. Namun bisa juga berdampak buruk, yakni kebosanan yang kemudian memunculkan perasaan kehampaan sehingga merasa hidupnya tidak bermakna.

Menurut Fakhruddin Faiz dalam Ngaji Filsafat, perasaan hidup tanpa makna itu kondisi negatif yang disebut patalogis. Ada tiga indikasi yang menyebabkan seseornag menjadi hidupnya terasa hampa. Pertama, seseorang memiliki gangguan neurosis noogenik. Tentu kita pernah bertemu dengan orang yang hidupnya terus merasa bosan, putus asa, mengeluh terus, dan susah berinisiatif. Tidak semangat dan menganggap hidupnya itu tiada artinya.

Jadi permasalahan orang seperti ini karena orang tersebut memiliki gejala patologi. Saran dari penulis buku Ali Sina, Faith Freedom dan Pemikiran Anti Islam dalam Filsafat Islam: Trajectory, Pemikiran dan Interpretasi (2015), saat bertemu orang demikian, jika mampu kita bisa melakukan semacam logoterapi. “Pelan-pelan dituntun untuk menemukan makna hidup, membantu menemukan makna penting dari hidupnya. Mungkin dari kreatifitas, pengalaman, kebebasan sikapnya, kemandirian, dan ciri khas individual, atau orientasi pandangannya ke depan (Self Transcendence),” ungkapnya.

Dikhawatirkan orang yang memiliki gejala seperti ini, lama-lama jadi tidak ingin hidup lagi, karena tidak menemukan makna. Itu sebabnya, harus didampingi atau saat sudah parah alternatifnya dapat diantarkan pada psikiater. Padahal, dalam agama saja putus asa itu dilarang. “Kalau dalam agama, bahkan putus asa itu dikategorikan kufur,” jelasnya.

Kedua, karakter totaliter yang senantiasa memaksakan kehendaknya, tujuan, kepentingannya pada orang lain. Tidak Bisa diberi masukan, kalaupun dikritik emosinya mudah tersulut, karena menilai dirinya yang paling benar. Ini masih dalam karakter patologis totaliter. Orang yang memiliki gejala ini akan merasa hampa, saat yang di sekitarnya tidak selaras dengan apa yang diekspektasikan.

Baca Juga  Seni Bersyukur

Menurut dosen Ushuluddin dan Filsafat Islam UIN Yogyakarta ini, perlu adanya muhasabah diri. “. Jangan-jangan kita seperti ini memaksakan makna hidup kita agar diakui dan diterima oleh orang lain. Padahal setiap individu, seperti pandangan Frankl tadi manusia itu sosok yang otentik, setiap orang itu punya makna hidup sendiri-sendiri. Itulah mengapa bahkan al-Quran mengatakan, bahwa manusia itu fitrahnya beda-beda. Allah yang menjadikan syir’atan wa minhajan. Setiap orang punya jalan, cara hidup sendiri sesuai maknanya masing-masing.  Maka memaksakan itu sebenarnya menabrak sunnatullah,” ujarnya.

Ketiga, ada karakter konformis yang kebalikan dari totaliter. Fakhruddin Faiz mengatakan jika sebelumnya ia pernah membahas people pleasure. Orang yang tunduk dan mengikuti apa saja dalam lingkungannya. Manusia yang memiliki karakter ini pula mengindikasikan mudahnya merasa kehampaan dalam hidup. Sebab ia terlalu mengabaikan pribadinya sendiri. Tidak peduli pada aspirasi, kepentingan, pemikiran, dan terkesan selalu mengorbankan dirinya sendiri. “Karakter konformis itu membuatnya justru tidak punya jati diri atau tidak punya makna hidup, karena selalu menafikan tentang dirinya dan hanya ada tentang orang lain,” ungkapnya.

Oleh karena itu, perlu di telisik dalam kepribadian kita agar ketiga karakter tadi terhindar dari perasaan kehampaan hidup. Dalam hidup, kita harus punya makna, sebab di situlah eksistensi kita sebagai manusia.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.