Bias Gender Penafsiran Ratu Saba’

KolomBias Gender Penafsiran Ratu Saba'

Kepemimpinan perempuan dalam realitas modern, sudah tidak diperdebatkan lagi kebolehannya. Perempuan, sebagaimana laki-laki, diakui haknya untuk menjadi pemimpin, bahkan hingga tingkat tertinggi seperti kepala negara atau menteri sekalipun. Kita pernah dipimpin oleh seorang presiden perempuan, beberapa kedudukan menteri pun dijabat oleh perempuan sepanjang sejarah negeri ini. Saat ini, satu-satunya keyakinanyang membatasi kepemimpinan perempuan, hanya bersumber dari ajaran agama yang bercorak konservatif.

Mayoritas masyarakat Muslim masih menganut penafsiran dan hukum fikih yang mengeliminasi perempuan dari jabatan kepemimpinan yang tinggi dan strategis. Misalnya saja kelompok-kelompok islamis, mereka memberikan doktrin bahwa wanita tidak berhak memegang posisi khalifah, wali, hakim ketua, hakim di mahkamah Mazhalim, juru jihad, ataupun posisi lainnya yang bersifat memerintah.

Sebenarnya, ajaran al-Quran tidak pernah menyiratkan bahwa posisi penguasa tidak pantas bagi seorang wanita. Sebaliknya, al-Quran mengapresiasi praktik politik maupun keagamaan wanita. Hal ini diwakili oleh catatan tentang Ratu Saba’ dalam al-Quran. Sayangnya, upaya melemahkan hak kepemimpinan perempuan membudaya di tengah masyarakat Muslim. Hal tersebut bahkan juga menimpa tokoh Ratu dari negeri Saba yang jelas-jelas digambarkan sebagai pemimpin sebuah negeri oleh al-Quran.

Tudingan bahwa penafsiran agama untuk kepentingan dan kemajuan perempuan, selama ini sering dilakukan seminim-minimnya, mau tidak mau harus diakui memang agak terbukti. Figur wanita yang memiliki jabatan otoritas tinggi dalam al-Quran pun tidak luput dari budaya korupsi makna dari teks-teks yang berhubungan dengan kepentingan perempuan, sehingga pada akhirnya ditemukan beberapa penafsiran yang berupaya menjauhkan perempuan dari hak-hak kekuasaan, bagaikan menjatuhkan Ratu Saba’ dari tahtanya.

Misalnya, sifat dan pentingnya makna ‘tahta ratu’ dalam penafsiran kisahnya, seringkali terkesan dikurang-kurangi urgensinya, bahkan dihilangkan. Tahta Ratu Saba’, dalam al-Quran, digambarkan dengan sifat â€˜Adhim (perkasa) (QS. An-Naml: 23). Kata ini nuansa artinya sangat besar dan jelas untuk diungkapkan sebagai sebuah prestasi gemilang dan bukti potensi wanita yang sama dengan laki-laki dalam menjalankan kepemimpinan, bagaimana mungkin menjadi tidak ada maknanya? Pemikir klasik selalu menemukan cara untuk mengurangi kehebatan wanita yang bertahta di atas singgasana, serta membelokannya dari mendukung menjadi menyerang hak kepemimpinan perempuan.

Dalam buku yang The Forgotten Queen of Islam, Fatima Mernissi mengambil contoh penafsiran ath-Thabari yang menandaskan bahwa kata â€˜adzim (perkasa) itu bukan tentang ukuran kehebatan tahta atau kepentingan status Ratu Saba, melainkan ‘bahaya’ yang diwakilinya. Satu-satunya yang tidak diabaikan hanyalah aspek materialnya, yakni singgasananya itu dari emas, mutiara, dan batu mulia. Penafsiran semacam ini jelas miring, kebesaran tahta wanita yang mendorong untuk dipandang sebagai hal positif, dibalikkan menjadi kebesaran ‘bahaya’ wanita.

Banyak pemikir Islam laki-laki sepanjang sejarah yang nampak tidak tahan dengan perempuan yang berada di atas tahta. Sampai-sampai, status Ratu Saba’ dalam perkawinan juga dirasa perlu untuk diperdebatkan. Padahal, informasi ini tidaklah penting dan al-Quran sendiri tidak menyinggungnya sama sekali. Pembahasan tentang apakah Ratu Saba’ masih perawan saat bertemu dengan Raja Sulaiman? Apakah dia pernah menikah sebelumnya? Apakah dia benar-benar menikah dengan Sulaiman? tidak dianggap penting oleh al-Quran sehingga tidak disebutkan. Herannya, sebagian penafsiran sering merasa perlu mempersoalkannya.

Seorang sejarawan klasik, Ibn Tahir Tayfur, dalam Kitab Balaghat an-nisa’, menikahkan Ratu Saba’ dengan sepupunya, Ibn Zara, sebelum akhirnya bertemu sulaiman. Sedangkan Umar Kahala, penulis kitab biografi modern A’lam al-Nisa’ fi ‘Alamay al-‘Arabi wa al-Islami, memberikan laporan bahwa Ratu Saba’ yang bermoral dan suci, sama sekali tidak tertarik pada pria, sehingga dia tetap perawan sampai bertemu dengan Sulaiman dan menikah dengannya. Berlawanan dengan itu, Muhammad al-Qannuji malah mengecam siapa saja yang berani berpikir bahwa Sulaiman menikahi Balqis, baginya menyatakan bahwa Sulaiman menikah dengan Balqis adalah pernyataan yang sangat tercela. Semua penjelasan ini tidak penting bagi pemanfaatan nilai pendidikan dari kisah Qurani.

Baca Juga  Berantas Tuntas Radikalisme

Seorang wanita pada puncak kekuasaan, dianggap sama sekali tidak sesuai dengan profil seorang wanita shalihah di zaman kita saat ini, seolah-olah legenda kepemimpinan Ratu Saba’ yang bagian pentingnya dikutip al-Quran, dapat menimbulkan masalah apabila ditafsirkan sewajarnya. Beberapa dari mereka bahkan menggunakan cara yang tidak rasional untuk menjelaskan politisi wanita satu ini. Salah satunya Mas’udi, menabur keraguan tentang asal-usul kemanusiaan Ratu Saba’.

Sebagaimana dicatat Mernissi, sejarawan dari abad ke-10 itu mengungkapkan bahwa Ratu Saba’ memiliki ayah manusia dan ibu yang berasal dari jin, dalam kitabnya yang berjudul Muruj al-Dzahab. Tahta dan seluruh rakyat di kakinya menunjukan bahwa Ratu Saba’ tidak mungkin sepenuhnya manusia. Mitos-mitos kelahiran ratu yang dikelilingi oleh keadaan supernatural ini, ditransmisikan oleh para perawi dan diterima begitu saja.

Kenyataannya, tidak ada teks al-Quran yang mengarahkan kita pada kesimpulan aneh seperti itu. Namun demikian, para teolog dan sejarawan mengambil kesimpulan sendiri. Tidak ada yang meragukan kecerdasan dan kepakaran para pemikir dan sejarawan Islam tersebut. Namun, beberapa dari mereka memiliki rintangan yang besar dan alur berpikir yang berliku-liku saat membahas kepemimpinan dan kekuasaan wanita. Sangat disayangkan, apabila kita mewarisi buah pemikiran yang membatasi kesempatan perempuan bukan karena kurangnya prestasi, kemampuan, atau keahlian, melainkan hanya karena ia seorang yang berjenis perempuan. Hal demikian merupakan bentuk diskriminasi jender.

Al-Quran mendokumentasikan sejarah moral. Dinarasikan dengan sifat historis atau metaforis, maupun literal atau alegoris, nilai-nilai moral al-Quran bersifat transendental, sehingga lokasi seorang ratu pada suatu rentang sejarah tidak membatasi dampak praktisnya atau kevalidan maknanya. Menurut Amina Wadud, jangka waktu al-Quran tidak terbatas pada dunia saat ini, tidak terbatas pada fakta dan peristiwa yang dapat diamati, sehingga al-Quran tidak hanya mencakup informasi tentang peristiwa aktual yang terjadi, tetapi juga tentang maksud di balik peristiwa tersebut dan tentang efek psikologisnya.

Maka dari itu, menghancurkan kekuatan legendaris Ratu Saba’, secara simbolik mengejawantahkan peminggiran perempuan dari hak-hak kekusaan dan kepemimpinan, sebagaimana yang membudaya di tengah kita saat ini. Hikmah dari dipilihnya kisah Ratu ini dalam al-Quran sangat besar, apabila dikurangi signifikansinya, pada akhirnya akan menimbulkan ketimpangan yang tidak dapat diterima dunia modern saat ini.

Jadi, Ratu Saba’ tetap bertahan di dalam teks, menghadapi upaya para sejarawan untuk merendahkannya. Tugas kita ialah menafsirkannya secara adil dan positif menjadi teks yang hidup dan berdampak pada kehidupan kita. Upaya untuk mengurangi dan membatasi hak kepemimpinan perempuan menjadi tidak setara dengan laki-laki, sama saja motifnya dengan berusaha menggugat tahta Ratu Saba’ yang di dalam al-Quran. Singgasana Ratu Saba’ tidak lain merupakan simbol hak kepemimpinan wanita yang sangat jelas di dalam al-Quran.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.