Filosofi Zakat KH. Masdar F. Mas’udi

KhazanahFilosofi Zakat KH. Masdar F. Mas’udi

Membayar Zakat adalah kewajiban setiap Muslim. Zakat bukan hanya ibadah kepada Allah, tetapi juga merupakan tanggung jawab sosial untuk menjaga perdamaian dan keadilan. Di Indonesia, pemahaman tentang zakat mulai berubah secara signifikan dan mendalam sejak akhir 1970-an, terutama dalam konteks gelombang ‘gerakan pembaharuan Islam’, dan juga  sebagai respons terhadap perubahan ekonomi politik. Pemahaman tentang zakat diwarnai dengan pemikiran baru dan kritis. Salah satunya pemikiran progresif Kiai Masdar F. Ma’udi yang menghidupkan kembali isu relevansi sosial dari tradisi zakat. 

Kiai Masdar adalah figur publik utama pada 1990-an dan 2000-an. Berbeda dengan pemikir progresif zakat nasional lainnya, Amien Rais, yang lebih dulu muncul dengan kepakaran di bidang ilmu sosial dan politik untuk menetaskan apa yang hari ini kita kenal dengan ‘Zakat Profesi’, Kiai Masdar hadir dengan kepakaran dalam ilmu-ilmu Islam Klasik. Ia memberikan landasan baru bagi kebijakan pemerintah dan tanggung jawab pribadi umat Islam Indonesia, untuk pencapaian keadilan ekonomi melalui spirit zakat. Di masa mudanya, Kiai Masdar aktif terlibat dengan LSM berbasis agama yang mengadvokasi pluralisme, hak asasi manusia dan demokrasi.

Dalam penafsirannya tentang zakat, Kiai Masdar menekankan kesamaan mendasar antara zakat dan pajak negara, dengan terbitnya karya monumental berjudul Agama Keadilan : Risalah Zakat (pajak) dalam Islam (1991). Dia mencatat bahwa dalam sejarah, Nabi Muhammad dan empat khalifah mempraktikkan zakat sebagai administrasi negara dalam bentuk perpajakan. Hanya saja, dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, keuangan negara Muslim tidak lagi terintegrasi dari zakat. Pemisahan ini, bagi Kiai Masdar, amat disayangkan. Sebab berkurangnya peran zakat dalam pemerintahan telah membawa ketidakadilan ekonomi dan meningkatkan korupsi dana publik. 

Menurut Kiai Masdar, situasi seperti itu harus dan bisa diperbaiki, jika Muslim Indonesia kontemporer mulai menganggap pajak yang dibayarkan kepada negara sebagai zakat.  Spirit zakat akan membawa perubahan besar dalam budaya politik negara, menjadikan pemerintah lebih bertanggung jawab, transparan, dan akuntabel dalam pemanfaatan dana publik.  Pandangan baru ini jelas menuai kontroversi. Muncul pula kesalahpahaman dan tuduhan bahwa Kiai Masdar ingin menghapuskan zakat dan menggantinya dengan pajak negara. 

Namun anggapan itu tidak benar. Kiai Masdar berulang kali menegaskan bahwa ia tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa ‘zakat sama dengan pajak’, sebagaimana yang ditulisnya dalam artikel Zakat: Spirit Etik Untuk Pajak, yang dihimpun dalam buku Kiai Masdar: Membumikan Agama Keadilan (2020). Bersama beberapa artikelnya tentang Zakat dalam buku ini, ia menerangkan aakat sebagai konsep spiritual dan moral, sementara pajak adalah konsep material dan kelembagaan. Zakat pada dasarnya adalah ajaran kerohanian untuk pajak yang wajib diimplementasikan setiap Muslim. 

Apa yang sebenarnya ditekankan Kiai Masdar dalam pemikiran progresifnya tentang Zakat adalah nilai-nilai etis zakat yang perlu diadopsi kedalam kegiatan perpajakan kita. Seperti fungsi retribusi harta untuk mengangkat kaum lemah, mencegah ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat, dan mewujudkan keadilan sosial. Untuk itulah ia juga juga melakukan kritik tajam tentang berlanjutnya kemiskinan rakyat karena bagian paling besar dari dana pajak dalam APBN diperuntukan untuk melayani kepentingan kelas menengah atas. Persoalan pokok isu retribusi dan pemerataan jelas ada di pihak pengelola dana, dalam hal ini, lembaga negara. 

Dalam sebuah bukunya yang mengulas perdebatan tentang kesetaraan zakat dan pajak, yang berjudul, Pajak itu Zakat: Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat (2005, h. 157), Kiai Masdar secara khusus berpendapat bahwa hak untuk memungut pajak yang dimiliki negara secara eksklusif, sesuai dengan konsep Zakat. Keselarasan ini memungkinkan spirit zakat untuk pemerataan retribusi harta dan mengurangi ketimpangan ekonomi merasuk dalam pengelolaan pajak. Ia menulis, “tugas utama negara, sebagai pelaksana ketetapan Allah, adalah untuk memberantas kelaparan yang lapar, dan menjadikan mereka yang merasa tidak aman, menjadi aman.” 

Baca Juga  Stop Obsesi Menghapus Keragaman Keyakinan

Meskipun kurang disadari, meresapkan spirit zakat dalam aktivitas pembayaran pajak masyarakat Muslim amat penting. Hal ini berkaitan langsung dengan keyakinan bahwa yang berhak memungut pajak sebagai sedekah wajib hanyalah Allah (QS. At-Taubah: 105) Oleh sebab itu, setiap muslim yang membayar pajak, mestinya meyakini bahwa pajak tersebut dibayarkan karena Allah untuk keadilan dan kemaslahatan bersama. Jadi, bukan ingin menggantian zakat dengan pajak, melainkan “Meniatkan pembayaran pajaknya sebagai zakat, sedekah wajib karena Allah” tulis sang Kiai (Kiai Masdar: Membumikan Agama Keadilan, h. 431). 

Sedangkan dari sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau pemerintah adalah sebagai amil atau pengelola dana, yang harus melayani kepentingan segenap rakyat. Apa saja yang dipungut oleh negara atau pemerintah (pajak) adalah milik Allah yang harus didayagunakan untuk kemaslahatan rakyat. Pada dasarnya, gagasan zakat bukan sesuatu yang asing dalam struktur pemikiran kenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Ajaraan zakat pada tataran filosofis adalah ajaran keadilan, dan pada tataran kelembagaan adalah ajaran kenegaraan. 

Dengan demikian, pajak tidak lagi dipahami sebagai kewajiban sekuler yang tidak bernilai spiritual-ukhrawi, akan tetapi sebagai sedekah karena Allah yang diamanatkan, bukan diberikan, kepada negara. Bagi Kiai Masdar, spirit zakat dalam pajak akan mengakhiri  dikotomi agama dan negara. Keduanya akan terintegrasi, agama sebagai komitmen nurani setiap hamba Allah untuk menegakkan keadilan adalah ruhnya, sedangkan negara sebagai instrumen untuk mewujudkan komitmen itu  adalah badannya. Ia menekankan, “Roh dan badan memang berbeda, tetapi tidak untuk dipisahkan, melainkan dipersatukan”

Kiai Masdar tidak menganjurkan formalisasi zakat. Melainkan menjadikan zakat sebagai acuan etik dan kerohanian sistem perpajakan yang telah ada. Ia menuliskan “Urusan kita adalah bagaimana menjiwai semua yang sekuler duniawi itu dengan pesan ilahiyat yang sakral dan transendental. yakni keadilan dan kerahmatan semesta. tatanan kelembagaan atau badannya memang sekuler-duniawi,  tapi dilihat dari tujuan dan roh yang membimbingnya adalah sakral-dan ilahi.” (Kiai Masdar, h.469)

Selain itu, zakat merupakan basis material bagi kontrol kekuasaan menyeluruh terhadap Negara atau pemerintah. Bagaimana tidak, ajaran zakat menggugah masyarakat untuk melakukan kontrol keras terhadap kekuasaan, terutama dalam penggunaan uang rakyat dari pemungutan pajak, sebab masyarakat harus turut memastikan zakatnya tersampaikan secara utuh kepada yang berhak. Hal  ini jelas merupakan energi kerohanian yang mensucikan masyarakat. Zakat sendiri, secara harfiah, pun berarti ‘suci dan mensucikan’ (Kiai Masdar, h. 466)

Singkatnya, Kiai Masdar berusaha menghidupkan kembali diskursus fikih zakat yang terlanjur mendogma di tengah masyarakat. Ia adalah sosok yang memiliki  keberanian moral dan intelektual untuk melakukan transformasi sosial untuk menghidupkan kembali relevansi zakat dan keadilan ekonomi. Dalam pemikiran Kiai Masdar, tujuan akhir dari syariah adalah keadilan. Maka dari itu, ijtihad amat diperlukan agar keadilan yang diilhami Tuhan dapat diterapkan pada berbagai konteks dan keadaan sosial-ekonomi yang dihadapi umat Islam. Dalam kaitan ini, menjadi sangat penting dalam pemikiran ini. 

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.