Mandat Sosial Zakat

KhazanahHikmahMandat Sosial Zakat

Kaya miskin adalah ihwal terbuka dalam realitas sosial kita. Satu pihak bisa makan, berbelanja, atau memenuhi gaya hidup dengan mudah. Di pihak lain, ada orang yang belum tentu dalam satu hari bisa mengisi perutnya. Hamba-hamba Allah diberi karunia rizki yang berbeda bukan berarti Allah tidak adil. Baik kaya maupun miskin masing-masing adalah soal ujian. Bagi yang papa dicoba untuk sabar, sedangkan orang-orang kaya dituntut untuk berempati pada derita kaum duafa. Kewajiban zakat adalah mekanisme Islam agar warga yang mampu mau tergerak meringankan kesengsaraan mereka yang malang.

Angka kemiskinan yang sudah tinggi, kian melonjak setelah pandemi melanda. Banyak dari masyarakat kita yang kehilangan mata pencaharian. Jarak kesenjangan antara si miskin dan si kaya juga tambah menganga. Para pemilik kekayaan tidak saja harus berbagi harta dengan fakir miskin. Mereka harus pula turut berempati pada derita golongan lemah ini secara simultan. Di sini titik ujian si kaya, kerelaan melepaskan sebagian hartanya, yang disangka milik dia sepenuhnya, padahal ada bagian orang lemah di dalamnya.

Agaknya mental berat berbagi merupakan watak kuat yang menguasai seorang manusia. Bisa dicermati dari firman Allah yang berbunyi, Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rizkinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah. (QS. Al-Nahl: 71).

Menahan harta untuk dimiliki sendiri adalah perilaku kufur nikmat. Di akhir ayat tadi, Allah menyinggung bahwa segala yang kita miliki merupakan nikmat Allah. Syukuri karunia itu dengan berbagi, mendistribusikannya untuk menolong orang lain, bukan malah memonopili kekayaan dan sumber rezeki untuk kesenangan sendiri dan menutup mata dari yang hidup sulit.

Zakat di bulan puasa ialah penyempurna Ramadhan. Zakat sendiri merupakan konfigurasi ibadah sosial yang dicantumkan dalam lima kewajiban asasi umat Islam, rukun Islam. Artinya, memperhatikan kondisi sesama manusia adalah perkara yang sama pentingnya dengan bertauhid serta komunikasi vertikal seorang hamba dengan Allah. Justru, sikap kemanusiaan kita adalah tolok ukur kualitas keberagamaan seseorang. Pernyataan cinta pada Tuhan dengan demikian hanya dapat diungkapkan melalui laku cinta pada sesama makhluk-Nya.

Menolong manusia berarti menolong Tuhan. Kisah Nabi Musa sebagaimana dituturkan Jalaluddin Rakhmat dalam Madrasah Ruhaniah, adalah gambaran dari hubungan kausalitas antara pertolongan manusia dengan Tuhan tadi. Dikisahkan kaum Bani Israil menghampiri Nabi Musa agar menyampaikan kepada Tuhan, bahwa mereka ingin mengundang Tuhan dalam jamuan makan. Musa tegas menolaknya sembari menjelaskan, Tuhan tak butuh apapun, termasuk makan.

Baca Juga  Sambutan Istimewa Allah pada yang Mendekati-Nya

Kemudian saat Musa naik ke Bukit Sinai, Allah bertanya mengapa undangan hamba-Nya tak disampaikan pada-Nya. Singkat cerita, akhirnya digelarlah jamuan makan dan Allah janji akan datang saat Jumat petang. Pada sore hari yang dijanjikan, datang tiba-tiba seorang tu renta yang kelelahan akibat perjalanan. Ia meminta makan kepada Musa tapi tak kunjung diberi. Tak ada dari panitia perjamuan itu yang peduli dan mau memberinya makan sebelum Tuhan datang.

Hari makin gelap. Musa mulai dikecam karena dinilai membohongi mereka. Ia pun kembali menaiki Sinai, mempertanyakan janji yang menurutnya dilanggar Tuhan hingga ia dikecam oleh kaum Bani Israil. Sejatinya Tuhan telah datang, bahkan secara langsung menemui Musa, meminta makan kepadanya. Kata Tuhan, “Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku.”

Allah tak butuh ibadah atau pujian kita. Sebab itu, manusia dijadikan-Nya wakil untuk menerima perkhidmatan-perkhidmatan dari sesamanya. Itulah mengapa persembahan terbaik adalah pelayanan tulus kepada manusia. Rahmat dan kasih sayang-Nya tak berbatas. Bahkan, cinta tanpa syarat yang ada dalam fitrah hati kita adalah seperseratus  dari rahmat Allah yang diturunkan ke bumi. Penghadiran sosok duafa dalam perjamuan menyambut Tuhan tadi juga menunjukkan betapa Dzat Allah sungguh tak mampu kita jangkau.

Zakat melatih rasa kemanusiaan kita, membersihkan diri dari sifat tamak dan bakhil untuk mengencangkan simpul spiritualitas seorang hamba. Dengan memberi, kita sedang memasukkan kebahagiaan ke dalam hati mereka yang kita bantu. Kebahagiaan yang kita persembahkan untuk orang lain akan menjadi teman penghibur, penenang kita dari rasa takut di akhirat nanti.

Zakat secara lebih lanjut meminta umat Islam untuk mempertahankan kepedulian pada sesama, tetap mau meringankan kesulitan masyarakat dalam skala yang lebih luas untuk mewujudkan perbaikan sosial. Memberi itu menerima lebih. Apapun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri (QS. Al-Baqarah: 272). Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.