Ibnu Hazm, Ulama Prolifik yang Telat Belajar

KhazanahHikmahIbnu Hazm, Ulama Prolifik yang Telat Belajar

Siapa sangka, di usia 26 tahun Ibnu Hazm baru serius mempelajari fikih. Ibnu Hazm bukan nama yang asing di pendengaran kita. Ia dinobatkan sebagai pendiri kedua mazhab Dzahiri karena kontribusi besarnya pada mazhab fikih yang diinisiasi oleh Dawud al-Dzahiri (200-270H) tersebut. Ulama Cordoba ini lahir pada akhir abad ke-4, tepatnya tahun 384 H. Dilahirkan dari keluarga terpandang, di mana ayahnya adalah seorang wazir di era pemerintahan Khalifah Hajib al-Manshur dan Hajib al-Muzhaffar dari dinasti Umayyah II. Kecintaan orang tuanya pada ilmu turut berperan dalam pencapaian besar Ibnu Hazm sebagai seorang ulama prolifik dengan karya tak kurang dari 400 judul buku.

Seringkali kita mengalami momentum sentimental yang menjadi titik balik dalam menekuni sesuatu. Demikian halnya dengan Ibnu Hazm. Ada kejadian tertentu yang menjadi motivasi kuat baginya untuk mendalami fikih. Suatu ketika ia mendengar kerabatnya meninggal dunia dan jenazahnya akan dishalatkan di masjid. Sesampainya di masjid ia langsung duduk bersimpuh menunggu pelaksanaan shalat jenazah. Sejurus kemudian ada seorang lelaki yang menegurnya dengan berkata, “Jangan duduk. Berdirilah, dan lakukan shalat tahiyatul masjid.”

Ia lalu bangkit dan melaksanakan shalat dua rekaat. Usai prosesi penguburan jenazah selesai, Ibnu Hazm kembali ke masjid dan shalat tahiyatul masjid lagi. Orang yang tadi menegur Ibnu Hazm kembali menegurnya ketika melihat apa yang dilakukan Ibnu Hazm dengan mengatakan, “Duduklah, sekarang adalah waktu terlarang untuk shalat”. Sebab waktu itu adalah selesai shalat ashar.

Ibnu Hazm merasa malu bukan kepalang. Rasa sedih juga menyusup dalam hatinya karena pengetahuan agamanya sangat minim. Padahal usianya sudah melewati seperempat abad. Namun demikian, peristiwa memalukan itu tampak menjadi pelecut semangat Ibnu Hazm untuk mempelajari fikih. Ia menyadari kealpaannya. Gurunya yang biasa mendidiknya pun langsung ia temui agar ia ditunjukkan kediaman seorang ahli fikih bernama Abdillah ibn Duhun. Al-Muwaththa’ Imam Malik menjadi kitab pertama yang Ibnu Hazm pelajari atas instruksi Abdillah ibn Duhun.

Laki-laki yang kini dikenal luas sebagai penyokong mazhab Dzahiri ini ternyata memulai belajar fikih di umur yang tergolong cukup terlambat, setidaknya jika dibandingkan dengan tren para ulama mazhab yang sejak kecil sudah bergelut di majelis-majelis ilmu, hafal al-Quran, atau bahkan menjadi mufti di usia belia. Namun, Ibnu Hazm mampu membuktikan bahwa umur hanya perkara angka, jika ada kemauan, kapanpun kita bisa melaju, menikmati proses belajar.

Keterlambatan tersebut, bukan berarti Ibnu Hazm adalah seseorang yang tak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Ibunya meninggal saat ia masih sangat kecil, sehingga masa pertumbuhannya lebih banyak dihabiskan bersama para inang pengasuh yang terdiri dari kaum perempuan terpelajar. Dari para wanita inilah Ibnu Hazm mendapatkan pendidikan awalnya. Mereka mengajarinya baca tulis, memahami al-Quran, serta syair-syair Arab.

Pendidikan Ibnu Hazm kemudian diserahkan kepada Abu ‘Ali al-Husain ibn ‘Ali al-Fasi, seorang ulama yang memberikan kesan mendalam bagi Ibnu Hazm. Di tangan al-Fasi, ia mulai belajar lebih luas dan intensif. Beragam majelis ilmu, baik agama maupun umum ia datangi. Di antaranya yaitu majelis Abu al-Qasim ‘Abd al-Rahman ibn Yazid al-Azdi. Di usia 16 tahun ia pertama kali mendengar kajian hadis dari Abu Amir ibn al-Jasur. Masih ada ulama-ulama lain yang memiliki andil dalam intelektualisme Ibn Hazm, mereka mengajarinya berbagai disiplin ilmu.

Baca Juga  Grand Syaikh al-Azhar Mesir Ulama Nomor Wahid di Dunia

Di samping keleluasaan serta dukungan penuh sang ayah dalam menuntut ilmu, kesuksesan Ibnu Hazm juga sangat dipengaruhi oleh ketekunan, kesungguhan, serta kecerdasan yang ia miliki. Namun, kualitas diri belum sepenuhnya terlihat jika belum diuji. Status sosial yang tinggi, karir politik, serta beragam ujian lain silih berganti menimpa Ibnu Hazm. Tapi itu tidak menyurutkan kemauannya dalam menuntut ilmu. Saat ia berusia 18 tahun, sang ayah jatuh dari jabatan dan wafat tak lama berselang. Istrinya pun menyusul wafat satu tahun kemudian. Situasi ini tentu sangat berat bagi Ibnu Hazm. Dan cobaan tersendiri bagi semangat belajarnya.

Ujian masih belum usai. Ibnu Hazm pernah menjadi buronan politik, dipenjara, juga diasingkan. Karena sikapnya yang berani dan menjadi oposisi terhadap pemerintah Bani Hammud yang telah menggulingkan Dinasti Umayyah II. Semenjak Dinasti Umayyah II tumbang dan kegagalannya dalam dunia politik, ia kembali memfokuskan diri untuk serius dalam dunia keilmuan. Pada akhirnya, ketekunan itu berhasil membawanya pada puncak keilmuan sekaligus mengukirkan diri dalam lembar sejarah intelektualisme Islam.

Perhatian yang kini tercurah hanya pada ilmu membuat Ibnu Hazm tak henti berkarya, dan melaju menjadi ulama prolifik yang memproduksi setidaknya 400 judul buku, sebagaimana dikabarkan oleh anaknya, Abu Rafi’ al-Fadhl. Bidang yang ia tulis pun sangat beragam. Dua karya monumentalnya ialah al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, kitab ushul fikih yang berisi delapan jilid, serta al-Muhalla, kitab dalam bidang fikih.

Beberapa karyanya yang lain di antaranya adalah al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal (Garis Pemisah antara Agama, Paham, dan Mazhab), al-Ijma’ (Ijmak), Risalah fi Fadhail Ahl al-Andalus (Risalah tentang Keistimewaan Orang Andalusia), Maratib al-‘Ulum wa Kaifiyah Thalabuha (Tingkatan-Tingkatan Ilmu dan Cara Menuntutnya), al-Taqrib lihadd al-Mantiq (Ilmu Logika), dan lain sebagainya.

Ibnu Hazm adalah hujah bahwa umur bukan halangan untuk belajar dan meraih kesuksesan. Telat belajar bukan berarti gagal. Ketekunan serta kesungguhan menjadi kata kunci keberhasilannya menjadi ulama yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu dan mencapai altar keilmuan yang tinggi. Tidak hanya kompeten dalam bidang fikih dan ushul fikih, Ibnu Hazm juga menguasai sejarah, filsafat, akidah, etika, dan lain-lain. Ulama yang memiliki ketekunan luar biasa, hidup bukan berdasarkan hitungan usia. Umur bagi mereka hanya deret angka. Belajar adalah jalan pencerahan yang tak kenal masa. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.