Pencerahan Spiritual Ibu Kartini

KhazanahHikmahPencerahan Spiritual Ibu Kartini

Pembelajaran agama yang kontekstual sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern. Agama akan tereduksi jika hanya diajarkan secara doktriner. Setiap Muslim tentu ingin memahami agama, bahkan memerlukan pembelajaran agama yang interaktif, dialogis dan argumentatif. Kita tidak boleh membiarkan diri berada dalam keawaman atau ketidakpahaman terhadap makna praktik keberagamaan yang selama ini kita jalankan. Kebutaan dalam memahami hubungan agama dengan kehidupan sosial dan budaya akan menyiksa hati, itulah masalah yang jauh-jauh hari telah dirasakan oleh R.A Kartini.

Kartini pernah mengungkapkan kritiknya terhadap kebijakan beragama yang anti-dialog dan tertutup. Hal ini disampaikannya melalui suratnya kepada Stella Zihandelaar, “Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Alquran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab” Tulisnya pada 6 November 1899.

Raden Ajeng Kartini merupakan salah satu intelektual modern awal di Indonesia. Ia adalah wanita energik dan kompeten yang abadi sebagai penulis, pemikir, dan pendidik. Kartini lahir pada 21 April 1879, di kota Mayong. Melalui kegiatannya bertukar-pikiran melalui suratnya, terlibat secara proaktif dengan ide-ide kontemporer tentang kemanusiaan. Dalam rasa keadilan, ia mengkritik dan mengembangkan hak, hukum, dan norma yang ada dalam lingkungan budayanya. 

Ibu Kartini memang memiliki kehidupan batin yang empatik. Dalam hal keberagamaan, ia sangat menyayangkan keterbatasan akses orang Islam di zamannya pada teks agama, terutama al-Qur’an. Ia sendiri merasakan kekesalan yang luar biasa karena tidak memperoleh untuk memahami ayat al-Quran. Dalam surat yang sama yang ditulisnya kepada Stella Zihandelaar, ia mengatakan, “Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?” 

Kartini menyadari betul tentang pentingnya pemahaman agama melalui gerakan literasi. Ia tidak dapat menerima begitu saja kenyataan bahwa cahaya agama terputus dari kehidupan sosial-budaya dirinya, karena tidak dapat dibaca dan dipahami dengan bahasa lokal. Gerakan literasi sesungguhnya merupakan gerakan sadar pikir, seperti yang ditulis Dr. Sutejo dalam Literasi Itu Jendela Peradaban, yaitu gerakan berpikir benar sehingga memijarkan kemampuan berbahasa, bertindak, dan berkeputusan benar. Literasi agama ditempuh melalui pemikiran kritis terhadap hubungan agama fenomena sosial-budaya, yang pada akhirnya akan membawa kita pada kedewasaan pemahaman dan memperkaya spiritualitas. 

Pencerahan dari literasi agama dirasakan Kartini setelah mengikuti pengajian KH. Soleh darat di rumah pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat, yang menjabat sebagai Bupati Demak. Sebelumnya Kartini sudah pernah mencari penerangan agama dari Snouck Hurgronje, yang pada waktu itu menjabat sebagai penasehat Belanda di bidang keislaman. Namun Snouck tidak memuaskan rasa ingin tahu Kartini, bahkan ia bahkan meragukan argumentasi keagamaan yang mengabaikan kondisi tertindas perempuan Jawa. Ia pun yakin bahwa Snouck hanya pura-pura Islam. 

Baca Juga  Mengurai Benang Kusut Khilafah

Berbeda ketika Kartini ikut mengaji pada pengajian Mbah Sholeh Darat. Ia sangat terpesona dan merasa tercerahkan oleh Tafsir al-Quran yang diterangkan Kiai Soleh Darat, yang pada waktu itu menjelaskan makna surat al-Fatihah. Kartini berkata, “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami”

Dalam kesempatan pertemuannya dengan Mbah Sholeh darat, Kiai ternama dari Semarang, Kartini juga menyampaikan pandangan kritisnya tentang pentingnya penerjemahan dan penjelasan al-Quran ke dalam bahasa masyarakat. “Aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” ucapnya pada KH. Soleh Darat. Ungkapan hati Kartini itu mewakili kesadaran sang Kiai sendiri tentang kebutuhan masyarakat Muslim untuk memahami ajarannya.

Akhirnya, Kiai Sholeh Darat semakin mantap dan yakin untuk menerjemahkan al-Quran ke dalam Bahasa Jawa agar kitab suci tersebut dapat dipahami secara luas oleh masyarakat. Hal itu bukan tanpa resiko, sebab Belanda tidak mengizinkan penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Untuk menyamarkan penerjemahan tersebut, Mbah Sholeh darat menulis naskah tersebut dengan aksara “Pegon”, yaitu aksara Arab yang berbahasa Jawa. Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an tersebut akhirnya diberi nama Kitab Faidhur Rohman. Kartini sungguh terinspirasi oleh kitab tafsir tersebut yang membantunya dalam perenungan spiritual.

Dari sini, terlihat bahwa Kartini melangkah dari keraguan menuju cahaya keyakinan dengan kesadaran literasi agama yang tinggi. Pada awalnya ia sangat kritis terhadap minimnya literasi agama masyarakat, termasuk dirinya sendiri, karena tidak adanya terjemahan al-Quran yang dapat membuat orang mengerti arti ayat-ayat yang dibacanya. Ia pun mulai mencari tahu dan memperoleh pencerahan keagamaan melalui proses berdialog, bertanya, membaca, dan menulis. Kartini mengabarkan perubahan spiritualitasnya kepada temannya melalui surat-surat. Lebih dari itu, ia juga mendorong penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa lokal yang dapat memperkaya dan mempermudah literasi agama masyarakat Muslim. 

Melalui surat-suratnya di tahun-tahun berikutnya, tergambar bahwa Kartini telah mengalami pendewasaan pemahaman keagamaan dan transformasi spiritual. Kepada Ny. Van Kol, Kartini menulis “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai” Tulisnya pada  21 Juni 1902

Bahkan dalam suratnya yang lain, ungkapan Kartini menggambarkan bahwa ia telah mencapai kesadaran spiritualitas yang tinggi, ia membanggakan peran dan status sebagai  hamba Allah. Dalam suratnya untuk Ny Abendanon 1 Agustus 1903, Kartini menuliskan “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.”

Singkatnya, Raden Ajeng Kartini merupakan teladan dalam mengembangkan diri mencapai pencerahan agama dan spiritual. Dalam surat-surat Kartini, kita melihat diri yang sedang dibentuk menjadi pribadi yang unggul, diri yang berkemauan keras dan tegas, yang menundukkan dirinya kepada Allah untuk menjadi lebih kuat.

Referensi: 

Jean Steward Taylor, Raden Ajeng Kartini

Nur Said, Politik Etis Kepahlawanan Kartini

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.