Berantas Predator Seksual Berkedok Ustadz

KolomBerantas Predator Seksual Berkedok Ustadz

Publik Tanah Air kembali digemparkan oleh berita tentang guru ngaji cabul. Kemarin, seorang guru ngaji diringkus di Tangerang karena telah menyodomi belasan muridnya dengan iming-iming ilmu kekebalan. Sebelumnya, ada juga guru ngaji mesum di Ngawi yang mencabuli tujuh santrinya.

Kasus-kasus kekerasan seksual pada anak dan kalangan pelajar terus terkuak di depan mata kita, dan membuat kita berpikir hukuman terberat apa yang pantas bagi pelaku. Namun, satu hal yang lebih penting lagi, yakni bergandengan tangan membangun strategi mitigatif dan pencegahan kekerasan seksual anak di lingkungan keagamaan. Kita semua sepakat untuk memastikan keselamatan mutlak anak-anak dan menghidupkan kembali peran lembaga-lembaga keagamaan dalam melindungi perempuan dan anak-anak.

Maraknya kekerasan seksual pada anak merupakan bencana nasional yang menargetkan kerusakan pada generasi penerus bangsa. Terkuaknya kasus keji Heri Wirawan, ustadz pedophil, beserta vonis mati yang menjeratnya beberapa waktu lalu, merupakan alarm nyaring darurat kekerasan seksual. Betapa gentingnya situasi kita dalam melawan pelecehan seksual yang terus mengancam anak-anak kita, bahkan di lingkungan keagamaannya yang kita anggap aman dan terhormat.

Berdasarkan data KemenPPPA, jumlah anak korban kekerasan seksual mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019, jumlah anak korban kekerasan seksual mencapai 6.454, kemudian meningkat menjadi 6.980 di tahun 2020. Selanjutnya dari tahun 2020 ke tahun 2021 meningkat lagi menjadi 8.730. Mirisnya lagi di antara besarnya angka kekerasan seksual pada anak itu, dilaporkan terjadi di lembaga pendidikan keagamaan, dan oknum pelaku yang terafiliasi dengan profesi keagamaan, seperti guru mengaji dan ustadz.

Kasus pencabulan yang dilakukan oleh oknum berkedok agama, sebenarnya mengekspos minimnya peran institusi keagamaan dalam mencegah dan menangani pelecehan seksual. Masalah ini terjadi di hampir semua agama besar. Para pemimpin atau pemegang otoritas agama perlu mengambil tindakan untuk memastikan bahwa predator seksual tidak menggunakan posisi yang terafiliasi keagamaan untuk melakukan pelecehan seksual.

Sejauh ini, berdasarkan kasus kekerasan seksual pada anak yang marak diberitakan, ada fenomena di mana pendidikan agama anak-anak, bergantung pada guru yang tidak terlatih, cacat rohani, emosional, dan frustasi secara seksual. Ada praktik mengajar yang bebas dilakukan tanpa ijazah atau izin dari lembaga-lembaga keagamaan. Tidak sedikit guru yang tidak dilengkapi bekal cukup untuk mengajarkan moralitas dan nilai-nilai Islam. Keadaan ini juga turut melatarbelakangi maraknya korban kekerasan seksual anak yang terjadi pada keluarga miskin di daerah-daerah terpinggirkan.

Baca Juga  Bahaya Takfir

Korban dari kalangan kecil sangat rentan terhadap ketidakadilan. Hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan sangat kesulitan dalam memperoleh pertanggungjawaban, sulit mencapai keadilan, dan tidak mampu memulihkan diri. Situasi inilah yang pada akhirnya menguntungkan pelaku. Dengan demikian, kekerasan seksual anak yang dilakukan oleh oknum berkedok agama, yang kerap memikat korban dari keluarga ekonomi lemah, meninggalkan efek merugikan yang berlipat ganda.

Fakta ini selaras dengan sebuah studi yang diterbitkan pada 2017, Religion in child sexual abuse forensic interviews. Ditemukan bahwa bahaya kekerasan seksual pada anak sering menargetkan anak-anak miskin dan rentan. Pelaku mendapatkan kepercayaan dari korban dengan memberikan perhatian dan imbalan, serta mengukuhkan posisinya sebagai pengasuh atau guru, sampai tiba saatnya mereka beraksi sebagai predator seksual. Para pelaku menggunakan agama untuk manipulasi dan eksploitasi, serta untuk menutupi kejahatannya.

Penyimpangan dan penyalahgunaan agama sudah tidak asing lagi. Pemimpin agama dan masyarakat harus menyadari dan mengakui meluasnya masalah ini hingga menodai institusi pendidikan agama yang selalu dianggap aman dan terlindungi. Pada dasarnya, lembaga keagamaan sangat setia dalam melayani masyarakat. Lembaga agama menyediakan sumber pendidikan yang terpercaya, terlebih lagi bagi keluarga berpenghasilan rendah. Pendidikan keagaman dianggap sebagai area suci, aman, dan penting. Sepanjang sejarah, lembaga pendidikan agama juga berperan dalam menghasilkan pemikir dan pemimpin besar di kemudian hari.

Untuk itulah, otoritas keagamaan harus mengambil tindakan tegas atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan yang terkait dengan kegiatan keagamaan masyarakat. Sudah saatnya pemerintah mengambil tindakan tegas untuk mengatur jaringan pendidikan agama, ustadz, guru ngaji, dan memperluas dukungannya kepada para penyintas dan keluarga korban kekerasan seksual. Institusi, Lembaga, dan Ormas Keagamaan harus bergandengan tangan dengan Lembaga HAM, lembaga perlindungan anak dan perempuan, untuk memberantas predator seksual berkedok ustadz, demi memelihara kesucian dan keamanan lingkungan keagamaan.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.